Pesantren Tempat Kaderisasi Ulama Bukan Lembaga Ekonomi


Oleh Nazwa Hasna Humaira
Pelajar dan Aktivis Dakwah

Pada bulan Juni lalu, Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) menyalurkan bantuan sebesar 3,3 miliar kepada salah satu pondok pesantren di Bandung. Bantuan ini dilaksanakan dengan simbolis dari Wakil Ketua Komisi VIII DPR Tubagus Ace Hasan Syadzily sebagai realisasi dari program ekonomi kemandirian umat sekaligus menghindarkan masyarakat dari jeratan bank Emok. (Dikutip dari Inewsjabar.id, Senin/19/06/2023)

Sepintas bantuan tersebut sangatlah menggiurkan yang tentu akan mendatangkan maslahat bagi pesantren serta para santrinya. Akan tetapi ada hal yang ditakutkan jika program kemandirian ekonomi dibebankan pada ponpes yang notabene lembaga pendidikan Islam. Dengan menyibukkan ponpes juga santri dalam bidang ekonomi, lambat laun konsentrasi mengkaji ilmu agama akan terabaikan. Padahal tujuan berdirinya ponpes adalah untuk melahirkan generasi ulama. Tidak mungkin kaderisasi ini berjalan kalau ponpes jadi basis  ekonomi, karena meningkatkan ekonomi bangsa bukanlah tugas individu atau lembaga pendidikan melainkan negara. 

Negaralah yang berkewajiban memenuhi kebutuhan pokok masyarakat berikut menyejahterakannya dengan tersedianya lapangan kerja, mengelola aset-aset publik seperti tambang, kekayaan laut, hutan, pertanian dengan pengelolaan oleh negara bukan oleh pihak swasta/asing seperti saat ini. Ketidakmampuan negara mengelola SDA dalam negeri menyebabkan masyarakat sulit sejahtera sehingga muncul permasalahan baru dengan adanya bank keliling seperti bank Emok.

Menag Yaqut Cholil Qoumas mengungkapkan 3 alasan mengapa pesantren dijadikan sebuah wadah program ekonomi kemandirian umat: Pertama, dikarenakan pesantren sudah teruji sebagai pusat pendidikan yang bisa bertahan bertahun-tahun, dan pesantren juga memiliki SDM yang melimpah. Kedua, pesantren dan masyarakat sekitarnya memiliki sumber daya ekonomi yang bila dikelola dengan baik bisa menjadi potensi ekonomi yang berkelanjutan. Ketiga, pesantren memiliki jejaring yang luas, sehingga menjadi faktor potensial bagi pengembangan ekonomi umat. 

Itulah alasan dari pihak pemerintah yang secara tidak langsung menjadikan ponpes sebagai alat kapitalis meraup untung dengan menjauhkan umat dari pendidikan agama secara kaffah. Para santri yang seharusnya menjadi seorang ustaz atau pun ulama penerang umat dengan ilmu Islam, nyatanya  tercekoki oleh paham kapitalisme yang memandang urusan umat hanyalah sekadar materi. Bahkan akan terjadinya kerusakan pula pada pola sikap generasi bangsa karena telah termakan dengan pemikiran-pemikiran kapitalisme sekuler. Ilmu agama yang didapat dari sebuah institusi pesantren pun tak akan memiliki peran mencerdaskan umat dengan hukum Allah Swt. yang harus diterapkan secara totalitas.

Demikian sistem kapitalisme sekuler yang menyengaja membuat umat muslim berada dalam kondisi yang miris. Agama diasingkan dalam kehidupan, ilmu hanya sebatas bagaimana mencari materi bukan bagaimana meluruskan akidah masyarakat dari akidah sekuler.

Berbeda halnya dengan sistem Islam. Menuntut ilmu merupakan suatu kewajiban bagi setiap manusia, terutama ilmu agama. Umat akan senantiasa dibina dan dijaga agar tetap berada dalam lingkup aturan syari'at Islam. Dan negara akan mendukung bidang pendidikan agar mampu mencetak generasi-generasi yang berakhlak mulia.

"Mencari ilmu adalah kewajiban setiap muslim, dan siapa yang menanamkan ilmu kepada yang tidak layak seperti yang meletakkan kalung permata, mutiara, dan emas di sekitar leher hewan." (HR. Ibnu Majah)

Dalam Islam, menuntut ilmu bukan bertujuan untuk mendapatkan materi sebanyak-banyaknya tapi karena kewajiban yang dibebankan pada individu sebagaimana diperintahkan oleh Allah dan rasulNya. Dengan ilmu-ilmu inilah nanti individu masyarakat akan mampu menjalani kehidupan sesuai arahan syariat termasuk hukum mencari nafkah bagi laki-laki atau para suami. 

Umat akan mengurusi dirinya untuk terus mencari ilmu dan menjadikannya sebagai tameng kehidupan agar tak menyimpang dari aturan syari'at. Sementara itu seorang pemimpin dalam Islam akan bertugas menjaga kesejahteraan umat dalam hal ekonomi agar membuat masyarakat tak terlilit dengan praktik ribawi. Negara dalam sistem Islam memiliki solusi yang tepat dalam menanggulangi setiap permasalahan umat. Di antaranya memiliki pengelolaan sumber keuangan tersendiri yang mampu untuk mencangkup keperluan sehari-hari. Pertama, mengelola SDA dengan sebaik mungkin. Dengan tidak mengambil sedikit pun harta tersebut selain untuk kebutuhan umat. 

"Sesungguhnya kepemimpinan merupakan sebuah amanah, di mana kelak di hari kiamat akan mengakibatkan kerugian dan penyesalan. Kecuali mereka yang melaksanakannya dengan cara baik, serta dapat menjalankan amanahnya sebagai pemimpin." (Riwayat Muslim)

Kedua, adanya sumber pemasukan fa'i  (harta rampasan kaum muslim dari musuh tanpa adanya perang. Ketiga, ghanimah (harta rampasan dari peperangan). Keempat, kharaj (cukai tanah pertanian). Kelima, zakat (harta tertentu dari seseorang yang beragama Islam dan diberikan kepada golongan yang berhak menerimanya).

Tak hanya itu, bila negara Islam mengalami permasalahan kritis ekonomi berlebih akan ada dana yang mampu menutupi hal tersebut, yaitu adanya harta dharibah (pungutan yang dikenakan atas al-mal atau harta benda). Dharibah merupakan pungutan yang kenakan pada warga  muslim saat keuangan di baitul mal kosong sementara umat sangat membutuhkan.  Pungutan ini hanya bersifat sementara dan berlaku bagi para laki-laki agniya saja bukan seluruh warga negara. Jadi, dapat disimpulkan bahwa Islam merupakan agama yang membawa rahmat bagi seluruh alam. Apapun masalahnya, aturan Allahlah yang harus menjadi pegangan atas setiap kebijakan sehingga umat tidak dibebani hal-hal yang menjadi tanggung jawab negara dan rakyat tidak merasa kesulitan atau pun terlilit utang ribawi seperti banyak kasus saat ini.

Wallahu a'lam bi ash-Shawwab

Post a Comment

Previous Post Next Post