Pernikahan Beda Agama Dikabulkan, Bukti negara Abai Tuntunan Agama

 


Oleh: Yanti Darmayanti 

(Ummahat Peduli Umat)


Pengadilan negeri Jakarta Pusat membuat keputusan yang sangat kontroversial. Keputusan pengadilan tersebut bersebrangan dengan fatwa MUI soal nikah beda agama karena pengadilan tersebut membolehkan nikah beda agama. Pemohon adalah pria berinisial JEA yang beragama kristen yang berencana menikah dengan seorang wanita berinisial SW seorang muslimah.                               


Putusan yang mengabulkan keduanya menikah tertuang dalam surat keputusan nomor 155/pdt.p/2023/PN Jakarta Pusat. Pernikahan yang dilakukan antara perempuan muslimah menikah dengan laki-laki non muslim dan sebaliknya laki-laki muslim dengan perempuan non muslim dalam pandangan hukum islam hukumnya haram. 


Namun, faktanya di lapangan sangat problematis, baik di indonesia maupun di negara-negara lain. Sudah banyak terjadi praktik pernikahan beda agama di masyarakat. Padahal sudah sangat jelas, Islam melarang wanita muslimah pria pria non muslim, musyrikin maupun ahli kitab, sedangkan pria muslim masih diizinkan menikah dengan wanita non muslim asalkan dia dari ahli kitab. Hal ini berdasarkan surat Al-Maidah ayat 5:


"Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu.”


Dalam fiqih, orang musyrik adalah mereka yang menyembah tuhan selain Allah, sedangkan ahli kitab adalah sebutan bagi umat yahudi dan nasrani. Di indonesia sendiri pernikahan beda agama pun dilarang bahkan MUI dlm fatwanya yang di keluarkan juli 2005 yang ditandatangani oleh ketua MUI KH Ma'ruf Amin. Dalam fatwa tersebut disebutkan bahwa hukum pernikahan beda agama adalah haram dan tidak sah.        


Tetapi pada kenyataannya, beberapa pengadilan di Indonesia sudah mulai mengizinkan pernikahan beda agama berdasarkan UU Adminduk hingga alasan sosiologis, seperti di PN Jakpus, Surabaya, Yogyakarta, Tangerang hingga Jakarta Selatan.   


Hakim Bintang Al dari PN Jakpus menyatakan putusan itu sesuai pasal 35 huruf A UU 232006 tentang adminduk juga berdasarkan putusan MA nomor 1400k/Pdt/1986 yang mengabulkan permohonan kasasi tentang izin perkawinan beda agama dan pengadilan tersebut berpendapat bahwa perkawinan antaragama secara obyektif sosiologis adalah wajar dan sangat memungkinkan terjadi karena letak geografis Indonesia.    


Maka, sangatlah ironis bilamana perkawinan beda agama di indonesia tidak dapat diperbolehkan karena sudah diatur dalam undang-undang. Dikabulkannya pernikahan beda agama menunjukkan pelanggaran terhadap hukum agama. Peran negara tidak berfungsi dalam menjaga tegaknya hukum Allah dan melindungi rakyat untuk tetap dlm ketaatan kepada Allah Ta'ala. Atas nama hak asasi manusia upaya legalisasi pernikahan beda agama terus diupayakan dan disahkan. 


Padahal, yang demikian merupakan bentuk pencederaan terhadap syariat Islam. Kasus ini merupakan dampak dari penerapan sekularisme di negeri ini. Sebab, tidak bisa dipungkiri maraknya kristenisasi terjadi lewat pernikahan. Kalaupun bertahan dengan keyakinan masing-masing, toleransi beragama yang bermakna "mencampur adukan agama" akan sulit dihindari.                     


Pernikahan beda agama juga mencederai penjagaan harta, misalnya syariat menetapkan antara muslim dengan non muslim tidak saling mewarisi, begitu pun dengan penjagaan terhadap keturunan, syariat telah juga mengatur nasab dan perwalian anak.                       


Berbeda dengan negara lain, dalam islam negara keberadaannya berfungsi sebagi institusi penerapan islam kaffah. Para penguasanya akan benar-benar memastikan bahwa aturan yang ditetapkan sesuai dengan aturan islam. 


Begitupun para hakim akan memutuskan semua berlandaskan syariatnya. Dengan begitu, pernikahan beda agama tdk akan dikabulkan. Dari sini akan tercapai tujuan dari ditetapkannya syariat Islam. Negara sebagai pengurus urusan umat akan menjaga agama, jiwa, harta, keturunan, dan akal umatnya. Masyarakatnya pun akan berlomba lomba melakukan kebaikan. Sebab, tolak ukur perbuatannya adalah halal dan haram serta standar kebahagiannya adalah ridho Allah Ta'ala. 

Wallahu'alam a'lam bi shawab

Post a Comment

Previous Post Next Post