Belum lama ini, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat membuat keputusan yang berseberangan dengan fatwa MUI soal nikah beda agama. Pengadilan tersebut membolehkan nikah beda agama yang diminta oleh pemohon Jea yang beragama Kristen yang berencana menikah dengan SW seorang Muslimah.
Putusan yang mengabulkan keduanya menikah tertuang dalam nomor 155/Pdt.P/2023/PN.Jkt.Pst. Pernikahan dilakukan antara perempuan muslimah menikah dengan laki-laki non-Muslim dan sebaliknya laki-laki muslim menikah dengan perempuan non-muslim.
Dalam hukum Islam, pernikahan beda agama adalah dilarang, dan karena penduduk di indonesia sendiri mayoritasnya adalah muslim, maka hal ini pun banyak menuai kontradiksi. Salah satunya dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang sejak Juli 2005, sudah mengeluarkan fatwanya dan ditandatangani oleh ketua MUI, KH. Ma’ruf Amin, dimana menyebutkan bahwa hukum pernikahan beda agama di Indonesia adalah haram dan tidak sah. Namun, tidak sedikit jua kalangan yang menyetujui akan pernikahan beda agama. Faktanya, sudah banyak terjadi praktek-praktek pernikahan beda agama di masyarakat. Bahkan dari tahun 2005 saja, Conference On Religion and Peace (ICRP) mencatat sudah ada 1.425 pasangan beda agama menikah di Indonesia.
Tentunya saat ini pasti sudah semakin banyak jumlah pasangan beda agama yang menikah di Indonesia. Terlebih untuk Pengadilan di Indonesia, sudah ada beberapa yang mulai mengizinkan pernikahan beda agama berdasarkan UU Adminduk hingga alasan sosiologis. Pengadilan tersebut meliputi PN di Surabaya, PN di Yogyakarta, PN di Tangerang hingga PN di Jakarta Selatan, dan yang terbaru adalah PN Jakarta Pusat. Padahal, dikabulkannya pernikahan beda agama menunjukkan pelanggaran terhadap agama dan sikap abainya negara terhadap tuntunan agama.
Beginilah jika negara menganut aturan demokrasi-sekularisme yang melahirkan berbagai bentuk kebebasan (termasuk kebebasan beragama), maka status agama tidak lagi diperhatikan, khususnya agama Islam. Sebab sistem ini telah membentuk masyarakat tidak mampu berpikir jernih, yang hanya menstandarkan kebahagiaan bersandar pada materi dan hawa nafsu semata. Akibatnya, akidah menjadi rusak sehingga keturunan yang dihasilkan juga rusak (tidak terjaga akidahnya), bahkan dapat menyebabkan timbulnya perselisihan karena beda keyakinan dan pemahaman.
Selain itu, dari sisi hadirnya undang-undang Administrasi Kependudukan, maka dikhawatirkan akan dapat membuka peluang pencatatan pernikahan beda agama di kantor catatan sipil dengan syarat sudah ada penetapan di pengadilan.
Karena itu, permasalahan ini tidak akan terselesaikan dengan tuntas kecuali jika negara mengambil Islam sebagai ideologi untuk diterapkan dalam segala lini kehidupan. Sebab Islam datang bukan dari manusia, melainkan dari Sang Pencipta Sekaligus Sang Pengatur, yakni Allah SWT. Tentunya islam memiliki syariat yang sempurna, sehingga syariatnya tidak hanya sekedar mengatur urusan spritual belaka sebagaimana agama lain, melainkan islam juga harusnya menjadi pedoman untuk kehidupan ini.
Dalam pandangan Islam sendiri, terdapat larangan wanita Muslimah menikahi laki-laki nonmuslim ataupun musrikin. Sebagaimana firman Allah SWT. dalam Al-Qur’an Surah al-Baqarah ayat 221 yang artinya:
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat–Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.”
Selain ayat tersebut, masih ada ayat lain juga yang menunjukkan dalil pelarangan nikah beda agama. Tetapi cukuplah satu ayat di atas menjadi bukti bahwa memang benar terdapat larangan Allah di sana. Jadi, Apabila ada yang melanggar ayat tersebut, maka sudah tentu terdapat sanksi berat dan tegas yang akan diberikan oleh negara kepada pelanggar hukum Allah. Meskipun Sanksinya berat, akan tetapi ini tidak lain berfungsi sebagai pencegah dan penebus dosa-dosa sehingga dari sinilah nikah beda agama dapat teratasi. Selain itu, islam juga mewajibkan negara untuk mendidik umat dan menjaga tegaknya hukum Allah agar umat tetap dalam ketaatan kepada Allah SWT. dan menghantarkan pada terjaganya akidah. Namun aturan ini maupun aturan islam secara keseluruhan hanya mampu dijalankan oleh negara yang menerapkan sistem islam kaffah, yakni negara atau daulah Khilafah Islamiyyah, bukan negara yang aturannya berasal dari akal manusia yang terbatas, seperti negara saat ini, yakni negara demokrasi-kapitalis-sekularisme.
Wallahu A’lam bishshawab
Post a Comment