Nikah Beda Agama: Potret Moderasi Beragama


Oleh: Hasna Syarifah 

(Mahasiswa)


Belum lama ini, warga Indonesia dikejutkan dengan kabar pernikahan beda agama yang dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Permohonan ini diajukan oleh mempelai laki – laki dengan agama Kristen dan mempelai perempuan yang beragama Islam. Putusan yang mengabulkan keduanya menikah tertuang dalam nomor 155/Pdt.P/2023/PN.Jkt.Pst. Perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan adalah perkawinan yang dilakukan antar umat berbeda agama menurut pasal 35 huruf (a) UU 23/2006. Pernikahan beda agama ini bukanlah yang pertama terjadi di Indonesia. Sebelumnya telah disahkan pernikahan beda agama di wilayah Surabaya, Tangerang, Yogyakarta, dan Jakarta Selatan.


Pernikahan beda agama dengan dalih toleransi dan hak asasi manusia kian marak. Mereka meyakini bahwa perbedaan agama tidak menghalangi mereka untuk bersatu dalam ikatan pernikahan. Hal yang lebih mendasar dari keyakinan ini adalah pandangan pluralisme yaitu memandang semua agama sama baiknya.


Dalam Islam, sudah jelas bahwa pernikahan beda agama haram hukumnya. Sebagaimana dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 221:


"Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun ia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman.”


Pernikahan beda agama merupakan satu dari sekian banyak contoh bahwa agama telah dipisahkan di negeri ini. Contohnya saat ini sedang ramai dengan adanya pernikahan “sesama” jenis. Upaya pelegalan terhadap hal tersebut pun makin masif dilakukan.  


Sekularisme akan menciptakan liberalisme yakni sebuah paham kebebasan yang menyingkirkan fungsi agama sebagai pedoman hidup manusia. Individu-individunya merasa bebas melakukan apa pun sesuai keinginannya. Tidak peduli apakah sesuai dengan syariat atau tidak, selama merasa puas dan senang, dianggap sah-sah saja. 


Selain itu, sistem sekular ini melahirkan sosok muslim yang sekular-liberal pula. Misalnya, muslim, tetapi ikut peringatan Misa Natal di gereja, gemar mengucap “shalom”, dan lain-lain. Sosok-sosok ini dipuji sebagai orang yang toleran dan berpandangan inklusif (terbuka).  


Padahal, arus moderasi beragama ini merupakan salah satu rencana Barat untuk menjauhkan umat Islam dari Islam ideologis. Dengan adanya kondisi seperti ini seharusnya menyadarkan umat bahwa berislam kaffah membutuhkan sistem yang mendukung. Kita tidak bisa menjadi muslim kaffah, sedangkan kehidupan masyarakat dan negara demikian sekular.

Wallahu'alam bi shawab

Post a Comment

Previous Post Next Post