Pernikahan beda agama kembali menjadi perbincangan setelah Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat mengabulkan permohonan nikah beda agama yang diajukan oleh JEA pemuda beragama Kristen dengan wanita berinisial SW yang beragama Islam (Republika, 24/6/2023).
Sebelum PN Jakarta Pusat, beberapa pengadilan negeri lainnya juga telah mengabulkan permohonan pencatatan nikah beda agama, di antaranya adalah PN di Surabaya, PN Yogyakarta, PN Tangerang, dan PN Jakarta Selatan (detikcom, 25/6/2023).
Dikabulkannya pernikahan beda agama ini tentu saja menimbulkan perdebatan. Pasalnya, dalam Islam pernikahan antara wanita muslimah dengan laki-laki non muslim atau musyrikin adalah haram. Begitu juga pernikahan laki-laki muslim dengan wanita non muslim atau musyrik, selain ahli kitab juga dilarang. Selain itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwanya pada Juli 2005 yang ditandatangani oleh KH Ma'ruf Amin, Ketua MUI waktu itu, menyatakan bahwa hukum pernikahan beda agama di Indonesia adalah haram dan tidak sah.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al Baqarah ayat 221: "Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan musyrik hingga mereka beriman. Dan hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahi laki-laki musyrik hingga mereka beriman. Dan hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka menyeru ke neraka, sedangkan Allah menyeru ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran."
Adapun alasan yang dikemukakan oleh pihak yang mengabulkan permohonan nikah beda agama adalah alasan sosiologis yaitu keberagaman di masyarakat, karena Indonesia mengakui beberapa agama tidak hanya Islam. Alasan seperti ini memang bisa saja muncul karena Indonesia sendiri merupakan negara yang menganut sistem sekuler demokrasi. Artinya, dalam sistem sekuler demokrasi rakyat diberi kebebasan berkeyakinan, semua agama dianggap sama, maka wajar jika menikah beda agama pun akhirnya dilegalkan.
Lalu benarkah bahwa nikah beda agama yang katanya demi menjaga keberagaman ini membawa kebaikan atau keadilan? Bagaimana dengan dampak psikologis anak-anak yang orang tuanya beda agama?
Tak bisa dimungkiri bahwa jika dalam satu keluarga ada beda keyakinan pasti akan menimbulkan beberapa persoalan. Selain persoalan adaptasi kebiasaan dalam keluarga masing-masing, hal itu juga akan berpengaruh terhadap pembentukan nilai spiritual terhadap anak-anak. Ayah dan ibu akan cenderung memaksakan anak mereka untuk mengikuti agamanya masing-masing sehingga anak-anak akan mengalami kebingungan dalam menentukan keyakinannya.
Jika kita tilik lebih mendalam lagi, pernikahan beda agama ini selain memang haram di dalam Islam, sejatinya justru tidak adil bagi kedua pasangan tersebut. Kalaupun kedua pasangan bisa berdamai tanpa konflik dengan pernikahan beda agamanya, pasti ada hal lain yang dikorbankan yaitu keyakinan mereka sendiri. Mereka sudah pasti tidak akan bisa menjalankan prinsip-prinsip keyakinannya dengan kaffah karena ada banyak hal-hal mendasar yang tidak bisa dicampur adukkan satu sama lain. Yang terjadi kemudian akan tumbuh anak-anak yang labil, berpikiran liberal, mudah berganti agama, dan apatis dengan agama.
Maka, dikabulkannya permohonan nikah beda agama ini menjadi peringatan keras bagi kita, kaum muslimin khususnya, bahwa upaya liberalisasi agama demikian masif disuarakan. Bukan hanya aqidah umat yang terancam tapi nasib generasi ke dapan diambang kehancuran. Liberalisasi agama akan membuat anak-anak tidak menganggap penting keberadaan agama sebagai landasan dalam berperilaku. Mereka akan bertindak bebas sesuka hatinya tanpa peduli lagi apakah hal itu bertentangan dengan agama atau tidak. Inilah realitas yang terjadi dalam sistem sekuler. Ketika agama dipisahkan dari kehidupan, maka penjagaan aqidah umat oleh negara pun hilang.
Berbeda dengan Islam. Negara sangat ketat dalam melindungi aqidah umat. Dalam Islam, negara memberi ruang bagi umat beragama lain untuk melaksanakan ibadah dan pernikahan sesuai keyakinan mereka. Namun, negara tidak akan melegalkan pernikahan beda agama karena hal tersebut jelas akan merusak aturan dalam beragama itu sendiri. Sehingga kehidupan masyarakat akan berjalan damai dalam pengaturan syariat Islam meski tidak menutup kemungkinan ada perbedaan keyakinan.
Wallahu'alam bish shawab.
Post a Comment