(Pegiat Opini Muslimah Sultra)
Dilansir dari laman kumparan.com, Menkopolhukam Mahfud MD memastikan temuan pungli di rutan KPK mencapai Rp 4 miliar terus diproses secara hukum. Menurut Mahfud, temuan pungli di KPK sangat ironis. Tapi, urusan pungli memang tak mengenal lembaga mana pun, dan bisa terjadi di mana saja. Lebih lanjut, Mahfud menegaskan KPK adalah lembaga independen yang tak bisa diintervensi. Sebab itu ia menyerahkan sepenuhnya penyelidikan kasus ini kepada Dewas KPK. Sebelumnya, Dewan Pengawas (Dewas) KPK mengungkapkan temuan dugaan pungli tersebut. Dalam kurun waktu Desember 2021 hingga Maret 2022, nilainya mencapai Rp 4 miliar.
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengungkap dugaan pungli di Rutan Cabang Merah Putih yang berlokasi di kawasan Kuningan, Jaksel, diduga telah terjadi lama. Namun, baru saat ini terungkap. Diduga pungli tersebut terkait perbuatan suap, gratifikasi dan pemerasan kepada tahanan KPK untuk mendapatkan keringanan dan penggunaan alat komunikasi. KPK masih mendalami temuan tersebut dalam proses penyelidikan. Begitu juga Dewas KPK yang menindaklanjutinya dengan pengusutan etik.
Korupsi di Indonesia bukan hal baru terjadi, melainkan sudah banyak kasus korupsi yang telah terjadi. Komisi Pemberantasan Korupsi sudah dibentuk, tetapi kasus korupsi tidak kunjung mereda. Bahkan saat ini kasus korupsi terjadi pada KPK yang seharusnya melakukan pemberantasan, tetapi justru sebaliknya juga memiliki andil dalam kasus korupsi.
Sebuah Ironi Dalam Sistem Sekuler
Korupsi yang terjadi di Indonesia terus berulang, bahkan bisa terjadi pada orang yang sama. Koruptor yang hanya memandang dunia sebagai ladang untuk berfoya-foya, mencari uang untuk membuat hidupnya bahagia, akan melakukan segala cara untuk mendapatkan kesenangan yang sementara itu, tanpa peduli dengan nasib rakyat banyak yang akan terdzolimi.
Dalam sistem sekuler saat ini, negara tidak memberikan hukuman yang membuat jera para koruptor, sehingga orang lain tidak takut untuk melakukan hal buruk yang sama, karena merasa hukuman yang diterima dapat dilalui dengan tenang. Terlebih lagi dari kasus diatas dapat dilihat bahwa ternyata KPK dapat diberikan grativikasi untuk memudahkan urusan para korupsi didalam tahanan yang justru menimbulkan efek tidak percayanya masyarakat terhadap negara. Jika KPK saja dapat melakukan korupsi, lalu bagaimana korupsi bisa diberantas.
Dalam pencegahan tindak pidana korupsi, perlu dilakukan upaya secara menyeluruh pada seluruh aspek kehidupan manusia. Karena korupsi adalah salah satu perilaku tercela, dan haram hukumnya bila dilakukan. Sehingga seseorang yang melakukan korupsi terbukti tidak terlalu memikirkan kemurkaan Allah SWT, karena mereka berani merampas apa yang bukan milik mereka.
Islam melarang keras tindakan suap-menyuap, utamanya penguasa, pejabat dan para penegak hukum. Oleh sebab itu, Islam serta-merta merinci petunjuk pelaksanaan agar tindakan tidak terpuji tersebut dapat diberantas tuntas.
Kembali Kepada Islam
Kenyataan historis membuktikan bahwa sejak berdirinya Daulah Khilafah hingga runtuhnya pada 3 Maret 1924, pada dasarnya hukum Allah tetap dijalankan, meskipun pemberlakuannya tidak lagi merata di seluruh wilayah kekhilafahan menjelang keruntuhannya.
Penerapan hukum ini meminimalisasi kejahatan yang terjadi pada rentang waktu yang demikian panjang. Tercatat bahwa selama lebih 13 abad diterapkannya hukum Allah hanya sekitar dua ratus kasus yang terjadi.
Hal ini dimungkinkan oleh hukum Allah berfungsi sebagai pemberi efek jera bagi yang belum melakukan, dan menjadi penebus dosa bagi yang sudah melakukan tindakan kriminalitas (Al Anshari, 2006:287; Zallum, 2002).
Alhasil, tidak ada aturan yang mampu menyelesaikan segala permasalahan dan kejahatan di dunia ini secara tuntas, melainkan aturan dari Allah SWT. Wallahu a'lam.
Post a Comment