Minol Berizin, Lantas Halal?

(Aktivis Muslimah Balikpapan)

Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) beberapa waktu lalu melakukan inspeksi mendadak terkait penerapan Perda Nomor 16 Tahun 2000. Perda tersebut berisi tentang larangan, pengawasan, penertiban peredaran dan penjualan minuman beralkohol di Balikpapan. Hasil dari sidak tersebut ditemukan beberapa tempat hiburan malam (THM) belum mengurus izin menjual minuman keras. Menjual miras di kota Balikpapan boleh saja dilakukan, dengan catatan mengantongi izin. 

Sungguh ironi yang tak terelakkan. Balikpapan yang dijuluki kota Beriman, tetapi mengizinkan penjualan miras yang notabene diharamkan dalam aturan agama. Motto kota beriman (bersih, indah aman dan nyaman) yang disematkan seolah hanya jargon kosong tanpa makna. Balikpapan kubangun dengan Amal, Kujaga dengan Iman dan Kubela dengan Doa, hanyalah sebuah ungkapan yang tak sejalan dengan aturan agama.

Bahaya miras dan sekulerisasi sebagai payungnya

Jamak kita ketahui bahwa miras adalah minuman yang membawa dampak berbahaya. Baik bagi pribadi, rumah tangga, sosial bermasyarakat maupun bernegara. Secara tegas Islam telah mengharamkan khamr (minuman keras atau minuman beralkohol).

 Abdullah bin Amr meriwayatkan, bahwa Nabi SAW bersabda, "Khamr adalah induk dari segala kejahatan, barang siapa meminumnya, maka shalatnya tidak diterima selama 40 hari, apabila ia mati sementara ada khamr di dalam perutnya, maka ia mati sebagaimana matinya orang Jahiliyyah.” (HR ath-Thabrani). 

Lantas mengapa miras saat ini kita lihat tak pernah benar-benar lenyap dari peredaran. Selalu saja ada berita terkait miras meski disisi lain kita juga disuguhkan dengan tayangan penghancuran ribuan botol miras. Ya ternyata fakta bahwa kita hidup di alam sekuler lah yang menjadikan miras senantiasa ada.

 Sekuler menjadikan kebijakan yang diatur oleh negara tak lagi menggunakan syariat Islam sebagai pedoman. Halal haram menjadi absurd.

 Dengan adanya segelintir “manfaat” dan keuntungan “oligarki”, maka sesuatu yang haram masih bisa dilobi dan diatur dalam payung UU. Minol misalnya, dalam sistem sekuler kapitalis, meski dia haram, tak masalah beredar. Asal sesuai izin dan taat dalam membayar pajak. 

Islam Solusi Hakiki

Mengutip perkataan KH. Shiddiq Al Jawi dalam tulisannya yang berjudul “Hukum Seputar narkoba dalam Fiqh Islam”, dalam khazanah fiqh kontemporer, narkoba disebut sebagai “al mukhaddirat”. Dikategorikan dalam fiqh kontemporer karena Narkoba adalah masalah baru, yang belum ada masa imam-imam mazhab yang empat. Meskipun perkara baru, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang keharamannya.  

Berdasarkan keharaman ini, maka Islam akan mencegah dan memberantas narkoba, yakni dengan cara: 

Pertama: meningkatkan ketakwaan setiap individu. Kedua: menegakkan sistem hukum pidana Islam dan konsisten menerapkannya. Pengguna narkoba dapat dipenjara sampai 15 tahun atau dikenakan denda yang besarnya diserahkan kepada qâdhi (hakim) (al-Maliki, Nizhâm al-‘Uqûbât, hlm. 189).

 Jika pengguna saja dihukum berat, apalagi yang mengedarkan atau bahkan memproduksinya; mereka bisa dijatuhi hukuman mati sesuai dengan keputusan qâdhi (hakim) karena termasuk dalam bab ta’zîr.

 Ketiga: merekrut aparat penegak hukum yang bertakwa. Dengan sistem hukum pidana Islam yang tegas, yang notabene bersumber dari Allah SWT, serta aparat penegak hukum yang bertakwa, hukum tidak akan mudah diperjualbelikan.

 Mafia peradilan tidak akan bermunculan. Ini karena tatkala menjalankan sistem pidana Islam, aparat penegak hukum yang bertakwa sadar betul, bahwa mereka sedang menegakkan hukum Allah, yang akan mendatangkan pahala jika mereka amanah dan akan mendatangkan dosa jika mereka menyimpang atau khianat.

 Solusi paripurna yang dimiliki Islam akan bisa terwujud jika negara kita mengadopsi sistem pemerintahan Islam. 
Wallahu a’lam bish showab.

Post a Comment

Previous Post Next Post