Mewaspadai TPPO Di Dunia Pendidikan, Pendidikan Di Sistem Sekuler Rawan Exploitasi Pelajar


Oleh : Sukey
Aktivis muslimah ngaji

Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Anis Hidayah mengatakan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dengan modus magang sudah terjadi sejak 15 tahun lalu. Hal itu Anis sampaikan merespons kejahatan TPPO yang terjadi di perguruan tinggi Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh. Anis menjelaskan, modus ini menyasar anak-anak tingkat Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan mahasiswa yang memiliki program magang. Sebagai informasi, 11 mahasiswa Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh menjadi korban TPPO dengan modus magang ke Jepang (kompas.com; 08/07/2023).

Kepala badan perlindungan pekerja migran Indonesia (BP2MI) Benny Rahmadani menyesalkan kejadian perdagangan orang ini, tetapi ini bukan ranah lembaga di pimpinnya. Ia juga mengatakan, tanggung jawab BP2MI hanya dalam program G To G ke Korea Selatan dan German. Sementara ketua Komnas HAM Perwakilan Sumatera Barat Sultanul Arifin mengatakan, pihaknya sudah mendapatkan perintah dari Komnas HAM RI untuk mendalami keterangan pihak kampus terkait kasus TPPO itu.

Perwakilan komnas HAM (Hak Asasi Manusia) Sumatera Barat Sultanul Arifin mengatakan, pihaknya sudah mendapatkan perintah dari Komnas HAM RI untuk mendalami keterangan pihak kampus terkait kasus TPPO itu. Ada beberapa permintaan keterangan yang dilakukan Komnas HAM kepada pihak Kampus. Pertama terkait mekanisme prosedur dan regulasi berkenaan dengan program pengiriman mahasiswa yang magang di luar negeri. Komnas HAM juga meminta keterangan terkait minta upaya dan pertolongan yang dilakukan kepada mahasiswa yang menjadi korban dalam kasus dugaan TPPO.

ketika tiba di Jepang, mahasiswa yang lulus untuk mengikuti program magang tersebut bekerja di sebuah perusahaan sebagai buruh. Sehari-hari, para korban bekerja selama 14 jam dari pukul 08.00 pagi sampai pukul 10.00 malam. Hal tersebut terus mereka lakukan selama tujuh hari dalam seminggu, alias tanpa libur. Bahkan, istirahat yang diberikan oleh pihak perusahaan untuk makan pun hanya selama 10-15 menit. Selain itu, korban tidak dibolehkan untuk beribadah. Sebagai kompensasi, korban diberikan upah sebesar 50.000 yen atau Rp5 juta per bulan. Hanya saja, korban diharuskan memberi dana kontribusi ke kampus sebesar 17.500 yen atau Rp2 juta per bulan.

Peristiwa ini jelas meresahkan, di samping tentu saja menampar dunia pendidikan kita, magang jelas berbeda dengan bekerja. Magang seharusnya menjadi jalan pembelajaran secara langsung bagi peserta didik di lapangan sebagai bekal memasuki dunia kerja. Hal yang sama pun patut kita waspadai untuk program serupa, yakni PKL (praktik kerja lapangan) atau Prakerin (praktik kerja industri) yang tidak lain adalah program wajib siswa SMK agar dapat naik kelas.

Namun, dengan adanya kasus di politeknik tadi, jelas bahwa program magang ternyata bisa disalahgunakan oleh kerakusan oknum. Tidak pelak, saat peserta didik magang, mereka dianggap bisa dipekerjakan tanpa gaji karena dianggap sebatas magang. Sebaliknya, hal ini justru membuktikan adanya peluang eksploitasi terhadap peserta didik demi keuntungan oknum itu sendiri. Di samping itu, kasus ini pun bisa jadi merupakan fenomena gunung es untuk di Indonesia sendiri.

Selain mencoreng dunia pendidikan secara umum dengan jargon besarnya “kerja” dan “kerja”, bagaimanapun sistem pendidikan sekuler-kapitalis akan selalu berpeluang ditunggangi oleh motif-motif kapitalistik. Andai peserta didik tidak magang pun, saat memasuki dunia kerja di masa selanjutnya mereka juga tidak akan jauh dari status sebagai buruh pintar. Inilah fakta pendidikan sekuler dibawah pemerintahan Demokrasi, korelasi buruk tetap akan dirasakan jika sistem yang di adopsi masih menggunakan sistem Sekuler-Kapitalisme.

Semua ini tentu sangat berbeda dengan profil peserta didik yang menjadi output sistem pendidikan Islam. Dalam sistem pendidikan Islam, target besarnya adalah mencetak generasi berkepribadian Islam (syahsiah islamiah), bukan menjadi pekerja. Ilmu pengetahuan dan tsaqafah Islam yang diperoleh selama masa pendidikan dijadikan sebagai bekal untuk memberi solusi bagi problematik kehidupan, bukan sekadar meraih gelar. Oleh karena itu, jelas sistem pendidikan Islam sajalah sistem pendidikan terbaik yang dengannya juga mampu menghasilkan output terbaik.

Selain ilmu pengetahuan dan tsaqafah Islam, peserta didik dalam sistem pendidikan Islam juga memperoleh pemahaman mengenai hakikat bekerja menurut Islam yang disertai seluruh keahlian maupun pelatihan yang diperlukan untuk memasuki dunia kerja. Bekerja adalah salah satu jalan mencari nafkah. Hukum asal bekerja bagi laki-laki adalah wajib, sedangkan bagi perempuan adalah mubah (boleh). Islam pun mengatur tentang kontrak kerja (ijarah) sehingga majikan dan pekerja terhindar dari akad zalim yang justru bisa mengeksploitasi pekerja.

Demikianlah, sistem Islam akan berjalan yang tentunya hanya bisa dengan naungan Khilafah. Pendidikan adalah bagian dari urusan publik yang penyelenggaraannya menjadi tanggung jawab penguasa. Begitu juga perihal sektor tenaga kerja, sangat memerlukan andil penguasa untuk mengaturnya. Ini semua sebagaimana sabda Rasulullah saw;
“Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad). Wallahualam bissawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post