Malangnya Negeri, Pemberantasan Korupsi Bagaikan Mimpi


Praktik pungutan liar atau pungli di lingkungan rumah tahanan (rutan) KPK saat ini tengah menjadi sorotan. Selain total nominal yang besar hingga mencapai Rp4 miliar, sejumlah pihak juga melihat perlunya perombakan sistem di internal KPK. Kasus ini mencuat setelah Dewan Pengawas (Dewas) KPK mengumumkan adanya temuan praktik pungli di lingkungan rutan KPK. Ketua Dewas KPK, Tumpak Hatorangan Panggabean menyebut, temuan itu didasari atas inisiatif penyelidikan yang dilakukan oleh Dewas. 

“Untuk itu dewan pengawas telah menyampaikan kepada pimpinan KPK agar ditindaklanjuti dengan melakukan penyelidikan," kata Tumpak dalam konferensi pers di Gedung ACLC KPK (tirto.id, 24/06/2023).

Sementara itu, Menkopolhukam Mahfud MD memastikan temuan pungli di rutan KPK yang mencapai Rp4 miliar itu akan terus diproses secara hukum. Ia mengungkap pihak-pihak yang terlibat pun siap dipidana.

"Ya kan sudah ditangani juga, ya harus ditangani karena itu lembaga-lembaga, kan sekarang sudah ditangani. Sudah diselidiki dan siap diambil tindakan hukum. Korupsi, ya semualah. Pokoknya di mana aja, kan bukan hanya di KPK, pengadilan, juga ada," kata Mahfud di sela-sela acara Bhayangkara Funwalk di Silang Selatan Monas, Jakarta Pusat (kumparan.com, 25/06/2023).

Maraknya kasus korupsi tampaknya sudah menjadi habit bagi pegawai yang ada dalam instansi. Korupsi yang terus menerus terjadi seakan tak pernah habis untuk diatasi. Apalahlagi korupsi yang terjadi pada lembaga pemberantas korupsi itu sendiri, sudahlah semakin menambah deretan panjang korupsi tanpa henti yang melanda negeri ini.

Pemberantasan korupsi yang akan dilakukan seolah ilusi dan hanya mimpi bagi mereka-mereka yang memperjuangkan integritas diri, karena korupsi dalam instansi tak bisa dilakukan sendiri, tentu saja memerlukan banyak orang untuk membantu dan menutupi kasus demi kasus yang ada. Tak peduli apakah itu baik atau benar, menguntungkan negara atau malah merugikan negara, yang terpenting mereka meraih pundi-pundi rupiah dari perbuatan keji itu.

Lemahnya integritas pegawai ini terjadi karena lemahnya iman dalam memandang dan menyikapi dunia, sehingga menghalalkan segala cara demi mendapatkan harta. Terlebih lagi, saat ini kita hidup dalam negara yang berbasis sekulerisme yang mana pemisahan antara kehidupan dunia dan agama terjadi. Sehingga, ketika akan melakukan sesuatu, jika itu tak berkaitan dengan agama atau ibadah, maka akan dilakukan tanpa peduli rambu-rambu agama yang mengaturnya. Lebih dari itu, lingkungan yang sekulerisme pun akan semakin menambah rasa sekuler itu sendiri bagi orang-orang yang ada di dalamnya, sehingga jika tidak melakukan perbuatan yang keji itu dianggap suci dan dimusuhi. Jadi, semakin wajarlah perbuatan yang seharusnya tidak dilakukan, malah dengan bangga dilakukan karena umumnya orang melakukan hal tersebut.

Penanganan korupsi dan dibentuknya lembaga anti korupsi belum sepenuhnya optimal dijalankan karena banyak lembaga-lembaga negara yang ikut andil dalam kasus korupsi yang ada. Hal ini karena sanksi hukum yang diberikan oleh negara sama sekali tidak tegas dan tidak membuat jera pelakunya, sehingga praktik-praktik korupsi masih terus terulang terjadi.

Korupsi yang terus menerus terjadi ini membuat musnah harapan pemberantasan korupsi dengan tuntas, bahkan sebelum pemberantasan korupsi dilakukan. Ibarat kata, memberantas korupsi hanya mimpi. Hal ini karena kasus demi kasus yang tercuat ke publik, semakin menguatkan bukti pemberantasan korupsi  dalam sistem hidup sekuler mustahil terwujud. Apalagi korupsi-korupsi yang tidak terjamah oleh publik, semakin menambah kecemasan pemberantasan korupsi ini sendiri.

Berbeda dengan Islam yang memiliki mekanisme jitu untuk memberantas korupsi dengan tiga pilar tegaknya aturan.  Pertama, ketaatan individu, yang mana ketaatan individu ini bersumber dari keyakinan dan akidah yang diembannya yakni Islam. Sehingga, individu ini akan mengadopsi nilai-nilai Islam dalam kehidupannya yang berdampak pada segala aspek perbuatannya dilandaskan pada agama, bukan materi semata. 

Kedua, kontrol masyarakat. Dengan adanya kontrol sosial dari khalayak umum, akan meminimalisir bahkan mampu mengontrol perilaku individu lainnya ketika mereka terjun di masyarakat maupun dalam pemerintahan, karena masyarakat akan menjadi juri yang menilai baik buruknya perbuatan individu tersebut. Sehingga, perilaku korupsi yang menjamur akan susut dengan adanya kontrol dari masyarakat dan ditambah dengan ketakwaan individu itu sendiri.

Terakhir, peran negara. Yang mana negara memiliki peran yang begitu strategis dalam menyikapi dan menyelesaikan permasalahan ini. Dengan adanya institusi negara yang berdiri tegak dan independen akan membuat nyali para pelaku kemaksiatan itu ciut, lantaran adanya sanksi tegas yang diberikan oleh negara kepada mereka. Dan tentu saja sanksinya disaksikan oleh khalayak ramai, jadi tidak hanya sanksi hukuman yang berat, tapi juga membuat malu si pelaku. Hal ini akhirnya akan membuat orang lain berpikir ribuan kali untuk melakukan kemaksiatan sekecil apapun itu karena efek yang dihadirkan dari sanksi yang diterapkan benar-benar membuat jera.

Demikianlah, harmonisasi penyelesaian korupsi dalam negara Islam yang tentu saja sangat berbeda kebijakannya dengan negara sekulerisme. Dimulai dari diri sendiri, masyarakat, hingga negara yang sama-sama punya peran penting untuk mengakusisi kemaksiatan yang merajalela, sehingga tak boleh hanya ada salah satu atau salah dua pilar saja, melainkan harus ketiga pilar tersebut sama-sama diterapkan agar terciptanya idealitas kehidupan yang sesuai dengan rambu agama.

Adanya agama yang menjadi benteng utama bagi individu, bukannya menghalangi individu tersebut menjalankan aktivitas kehidupan dunianya, melainkan menjadi batasan agar individu tersebut tidak jatuh dalam suramnya dunia yang hanya sementara ini.

Wallahhu'alam bishawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post