Penulis: Dinda Kusuma W T
Pemerintah Kabupaten Gunungkidul, menduga ada indikasi kuat penularan antraks ke manusia disebabkan tradisi mbrandu atau porak di kalangan masyarakat yang sudah berlangsung secara turun temurun. Dalam tradisi tersebut, masyarakat menyembelih hewan yang sakit, hampir mati, atau bahkan yang sudah mati kemudian dagingnya dijual dengan harga murah kepada masyarakat setempat. Tujuannya adalah meringankan beban kerugian si pemilik ternak yang mati.
Mbrandu, tepatnya adalah tradisi masyarakat dusun Jati, Kabupaten Gunung Kidul. Dengan dalih tujuan baik, tradisi ini mewajibkan seluruh warga, yaitu sebanyak 83 KK yang tinggal di dusun itu, mengikuti iuran mbrandu. Dusun tersebut memang memiliki warga mayoritas non-muslim sehingga tidak memiliki pemahaman tentang dilarangnya memakan bangkai hewan. Namun, warga muslim setempat juga diwajibkan untuk ikut serta membeli daging meski tidak dipaksa untuk mengkonsumsi.
Sungguh sebuah tradisi yang memperihatinkan. Pertanyaannya, kemana peran pemerintah selama ini sehingga tradisi yang sangat membahayakan kesehatan ini bisa berlangsung selama puluhan bahkan ratusan tahun, turun-temurun dari generasi ke generasi. Jelas terdapat kelalaian dan pengabaian dari negara. Tradisi mbrandu ini mencerminkan rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang bahaya mengkonsumsi hewan sakit atau mati. Menunjukkan tidak adanya upaya serius agar masyarakat meninggalkannya.
Semakin miris, faktanya kasus antraks pada manusia ternyata terjadi hampir tiap tahun di Gunungkidul dalam lima tahun terakhir. Kasus paling tinggi terjadi pada tahun 2019 dengan 31 kasus, dan pada tahun 2022 dengan 23 kasus. Kemudian di tahun 2023 ini, hingga menelan tiga korban jiwa. Salah satu korban diketahui ikut dalam proses penyembelihan sapi yang telah mati dan terkonfirmasi positif antraks.
Sebagai dusun berpenduduk mayoritas peternak, seharusnya pemerintah memberikan perhatian khusus. Kendati telah menjadi tradisi dari nenek moyang, dengan perkembangan dan kemajuan teknologi, serta ilmu medis saat ini, pemerintah seharusnya mengajak masyarakat untuk meninggalkan tradisi 'makan bangkai' ini.
Antraks sendiri adalah penyakit disebabkan bakteri yang sporanya bisa bertahan hingga puluhan tahun. Sehingga jika ada hewan yang mati, apalagi terindikasi antraks, harus segera dikubur di dalam tanah. Selanjutnya, menurut dinas kesehatan hewan dan ternak, tanah tersebut harus disiram sejumlah air yang mengandung formalin kadar tertentu sesuai dengan petunjuk pelaksanaan yang ada. Hal ini menunjukkan begitu berbahaya hewan yang mati bagi kesehatan dan lingkungan. Alih-alih dikubur, masyarakat dusun Jati ini justru mengkonsumsi daging yang sangat berbahaya tersebut. Inilah bukti bahwa melestarikan tradisi tidak selalu menjadi pilihan yang baik. Banyak tradisi primitif yang sebenarnya harus ditinggalkan, dan pemerintah memiliki peran penting untuk hal ini.
Selain rendahnya kesadaran dan pengetahuan tentang kesehatan ternak, tradisi mbrandu menunjukkan masih jauhnya masyarakat Indonesia dari kata sejahtera. Dari generasi ke generasi, tradisi makan bangkai masih dipertahankan menandakan tidak adanya perbaikan taraf hidup. Aktivitas utama masyarakat yaitu beternak pun masih dilakukan dengan sangat tradisional. Jauh dari teknologi yang bisa menjamin kebersihan dan kualitas ternak. Sekali lagi, memperlihatkan minimnya peran dan perhatian pemerintah.
Wabah antraks ini harusnya menjadikan kita menoleh kepada hukum Islam. Dimana Islam yang merupakan agama ideologi dengan aturan lengkap dan sempurna, memberikan larangan tegas terhadap memakan hewan yang sudah mati atau bangkai. Allah SWT dalam Al Qur'an menerangkan,
"Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan (hewan) yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah, tetapi barangsiapa terpaksa (memakannya) bukan karena menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang" (TQS. An Nahl : 115).
Keselarasan Al-Qur'an dengan ilmu pengetahuan, dimana apa yang dilarang dalam Islam pasti menimbulkan bahaya dan keburukan bagi manusia, merupakan tanda bahwa Islam benar berasal dari sang maha pencipta, Allah SWT.
Aturan-aturan yang tercurah dari Islam adalah aturan yang sesuai dengan fitrah manusia sehingga pasti menciptakan ketentraman dan mensejahterakan seluruh umat manusia. Secara praktis, apabila hukum Islam diterapkan, akan memberikan kebaikan dan keadilan bukan hanya bagi umat Islam, tetapi bagi seluruh manusia. Wabah antraks ini saja contohnya. Andai negara menerapkan haramnya makan bangkai kemudian melaksanakan kewajibannya mengayomi rakyat dengan sungguh-sungguh, tentu wabah antraks ini tidak akan terjadi, apalagi berulang-ulang seperti sekarang. Penerapan Islam akan mendatangkan rahmat bagi seluruh alam semesta. Wallahu a'lam bisshawab.
Post a Comment