Liberalisme Suburkan Penista Agama

 


Oleh: Elisa Salsyabila

(Aktivis Dakwah)


Aksi pembakaran Al-Qur’an kembali terjadi di Swedia, kali ini berlangsung di tengah perayaan Idul Adha. Namun tidak semua warga Swedia setuju terhadap aksi tersebut. Beberapa warga yang berada di lokasi unjuk rasa menilai tindakan pria asal Irak yang pindah ke Swedia, Salwan Momika, sebagai bentuk provokasi.


Aksi yang dilakukan atas nama kebebasan berpendapat dan berekspresi ini kemudian menuai kecaman di seluruh dunia, termasuk Indonesia – negara dengan populasi Muslim terbesar dunia. Pemerintah Indonesia mengecam keras aksi tersebut dan sejumlah kalangan, termasuk MUI dan warganet, mengutuknya.


Pemerintah Indonesia Kamis malam (29/6) mengecam keras aksi provokatif membakar Al-Qur'an oleh seorang warga negara Swedia di depan Masjid Raya Sodermalm, Stockholm, saat Hari Raya Idul Adha. Lebih jauh Kementerian Luar Negeri Indonesia lewat Twitter mengatakan “tindakan itu sangat mencederai perasaan umat Muslim dan tidak dapat dibenarkan.”


Padahal Al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan secara khusus kepada Rasulullah Muhammad saw dan berisi firman Tuhan, maka sudah sepantasnya umat Islam memuliakan Al-Qur’an. Baik memuliakan fisiknya, maupun isi dan maknanya. Bagi non-Muslim yang beradab dan bermoral, sudah sepantasnya juga ikut menghormati sebuah kitab yang disucikan oleh umat lain dengan tidak menistakannya.


Namun, norma-norma semacam ini tak berlaku dalam sebuah negara demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan tanpa batas. Di 2023 saja, dengan dalih kebebasan berekspresi, beberapa negara Eropa membiarkan bahkan memberikan pengamanan resmi kepada aksi-aksi penistaan dan pembakaran Al-Qur’an. Pada Sabtu (21/1/2023) lalu, seorang politisi Denmark yang juga berkewarganegaraan Swedia, Rasmus Paludan, membakar salinan Al-Quran di depan Kedutaan Besar Turki di Stockholm.


Aksi membakar Al-Qur’an ini merupakan wujud nyata dari Islamophobia ekstrim yang harus ditolak, ditangkal, dan perangi bersama-sama oleh masyarakat atau umat. peristiwa ini jelas bukan yang pertama dan mungkin juga bukan yang terakhir. Selama Islamophobia terus dipromosikan, dan demokrasi dengan kebebasan berekspresinya masih menjadi pandangan hidup negara-negara di dunia, aksi semacam ini akan terus berulang.


Islamophobia merupakan sebuah istilah yang digunakan sebagai sebutan kontroversial yang merujuk pada prasangka, diskriminasi, ketakutan, dan kebencian terhadap Islam dan umat Muslim. Islamophobia juga sebenarnya bukanlah hal baru. Sejak Islam pertama kali datang di tanah Mekkah jahiliyah, umat Islam telah menghadapi berbagai praktik Islamophobia. Berbagai penistaan tak manusiawi diterima oleh orang-orang yang baru memeluk Islam. Penistaan ini baru berhenti ketika Islam berdiri tegak sebagai sebuah Ideologi yang diterapkan di Madinah hingga kepemimpinan berganti di tangan para Khalifah. Pada masa kepemimpinan Khalifah Abdul Hamid II, beliau berani mengumumkan jihad kepada Prancis dan Inggris saat mengetahui salah satu grup teater asal Prancis berencana mementaskan drama yang menistakan Rasulullah saw.


Sejarah membuktikan, di hadapan pemerintahan Islam, Kebebasan berekspresi yang dijunjung tinggi oleh Inggris dan Prancis menjadi lemah tak berdaya. Barat tak berani menistakan Islam ketika Islam memiliki kekuatan politik yang mampu menyatukan potensi umat Islam sedunia. Karenanya, tak ada cara lain untuk menghilangkan penistaan kepada Islam selain dengan membangun kembali kekuatan politik Islam dengan tegaknya kembali Khilafah.


Allahu'alam bish-showab

Post a Comment

Previous Post Next Post