Oleh : Eni Cahyani
Pelajar warga negara Indonesia (WNI) asal Lampung di Australia, Bima Yudho Saputro bercerita tentang kegaduhan usai videonya mengkritik kampung halamannya di Lampung viral di media sosial. Dengan logat dan bahasa khas-nya, Bima curhat di akun Instagram @awbimax.
Di akun TikTok, Bima mengkritik Provinsi Lampung 'Dajjal' sebagai provinsi yang tertinggal karena melihat infrastruktur tertinggal dalam unggahan video berjudul "Alasan Lampung Gak Maju-maju”. Bima yang berasal dari Lampung mengkritik soal infrastruktur (jalan) yang banyak rusak, dan tidak laik untuk jalan.
Menurut dia, dalam satu kilometer jalan rusak, satu kilometer lagi rusak. Selain itu, banyak jalan-jalan di Lampung yang tambal sulam. Padahal, menurutnya, infrastruktur khususnya jalan paling umum untuk mobilisasi ekonomi. "Tapi, jalan-jalan di Lampung tuh satu kilometer bagus, satu kilometer rusak," ujar Bima.
Tidak hanya itu, keluarga Bima diduga mengalami intimidasi . Buntut konten sang anak, ayah Bima mendapat panggilan dari Bupati Lampung Timur dan diperiksa pihak kepolisian. Untuk kesekian kalinya, kritik rakyat dibungkam dengan UU ITE. Lagi-lagi kritik berujung ancaman. Akankah kebebasan berpendapat kian terancam?
Sehingga banyak pihak pasang badan setelah Advokat Gindha melaporkan Bima, mulai dari warganet, anggota DPR, politisi, hingga pengacara.
Memang pada faktanya Jalan rusak hingga sarana dan prasarana yang kurang baik memang ditemukannya di banyak daerah di Lampung, ketika ia berkeliling di dapilnya. Jelasnya, masalah infrastruktur adalah keluhan yang paling utama dan selalu ditanyakan kepadanya.
Memang dengan membangun, merawat dan memperbaiki jalan butuh anggaran besar. Namun, aspirasi Bima dan seluruh masyarakat Lampung ini tidak boleh dijawab dengan hanya sekedar jawaban kesulitan anggaran sebagai pembenaran.
Pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten di Lampung perlu memikirkan politik anggaran yang memiliki strategi ekonomi jangka panjang atas infrastruktur. Pembangunan infrastruktur yang selama ini seringkali dalam politik anggaran dilihat dari kacamata proyek saja, harus diubah cara pandangnya
Di zaman seperti ini, kritik lebih cepat tersampaikan dan viral dengan media sosial. Setelah kritik Bima tentang jalan di Lampung ramai dibahas, pemerintah setempat tampak bergerak cepat dengan melakukan perbaikan jalan yang disebutkan Bima dalam akun TikTok-nya.
Tetapi sayangnya, kritik rakyat kepada penguasanya juga sering kali dijawab dengan ancaman, intervensi, dan intimidasi. Kebebasan berpendapat yang katanya dijamin UUD 1945 pun akhirnya terancam. Penerapan UU ITE yang disahkan sejak 2008 membuat ruang gerak rakyat dalam mengkritik dan memberi masukan menjadi sempit dan terbatas.
Dengan adanya UU ITE seolah menjadi alat bungkam yang kuat menjerat siapa pun yang menyinggung dan mengkritik pemerintah, sekalipun kritiknya sesuai data dan fakta. Kalaulah tidak sampai pada pelaporan, para pengkritik akan dihujani serangan verbal hingga personal. Ujung-ujungnya, si pelapor dituduh macam-macam, semisal penghasut, provokator, anti-NKRI, anti-Pancasila, dan sebagainya.
Bagi mereka yang memiliki pikiran jernih dan nurani yang bersih, tentu tidak akan berkompromi dengan kezaliman. Mereka juga tidak akan suka jika kekuasaan disalahgunakan. Kritik adalah tanda rakyat peduli pada negeri ini. Penguasa yang diberi amanah menjalankan roda pemerintahan semestinya berbesar hati menerima kritik rakyat.
Penguasa diberi mandat melakukan pelayanan pada urusan rakyat, bukan pihak yang minta dilayani rakyat. Artinya, jika pemerintah berbuat salah, ada hak rakyat mengkritik dan meluruskannya
Islam mengajarkan aktivitas muhasabah (mengoreksi kesalahan) sesama muslim. Pahalanya besar di sisi Allah Taala. Kritik atau muhasabah merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang terwujud dalam aktivitas amar makruf nahi mungkar. Aktivitas inilah yang menjadikan umat Islam mendapat gelar umat terbaik.
Aktivitas amar makruf nahi mungkar yang terbesar ialah mengoreksi kebijakan penguasa yang zalim terhadap rakyatnya. Sebagaimana sabda Nabi saw., “Sebaik-baik jihad ialah berkata yang benar di hadapan penguasa yang zalim atau pemimpin yang zalim.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Dalam Khilafah, kebebasan rakyat mengkritik penguasa tecermin dalam kisah aduan rakyat terhadap Gubernur Mesir, Amr bin ‘Ash. Kala itu, ia diadukan kepada Khalifah Umar karena hukuman yang diberikan Amr kepada putra Khalifah, yaitu Abdurrahman dan temannya, tidak sesuai aturan yang telah ditetapkan.
Khilafah sangat terbuka dengan kritik dan aduan dari rakyatnya. Dengan kritiklah penguasa bisa selamat dari sikap zalim dan mungkar. Dengan muhasabah, penguasa akan bersikap mawas diri karena menyadari setiap kebijakannya pasti berdampak bagi rakyat yang dipimpinnya. Begitu juga dengan beratnya beban amanah yang harus ia pertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt. kelak di akhirat.
Pesan Rasullullah SAW, “sebaik-baik jihad (perjuangan) adalah berkata benar di depan pemerintah yang zalim.” (Riwayat Imam Tirmizi)
Wallahu a'lam
Post a Comment