Kepala Desa Yang Semakin Kaya Di Sistem Kapitalis


Oleh: Ummu Aqila
Aktivis muslimah ngaji

Badan Legislasi (Baleg) DPR menetapkan alokasi dana desa sebesar Rp 2 Miliar masuk ke dalam draf revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. (Republika. Co. Id, jakarta 27/6/2022). Namun sebelum itu, Johan Budi Sapto Pribowo, sebagai anggota Baleg Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), menolak hal tersebut dan mendorong dana desa sebesar 15 persen dari dana transfer daerah. Karena menurutnya banyak desa yang memerlukan dana lebih dari 2 miliar untuk pembangunan.

Ketua Baleg Supratman Andi Agtas memutuskan, usulan dana desa sebesar Rp 2 miliar akan dimasukkan terlebih dahulu ke dalam draf revisi UU Desa. Adapun disetujui atau tidaknya tergantung pembahasannya nanti bersama pemerintah. Kendati adanya perdebatan untuk menaikkan alokasi dana desa ini, diketahui bahwa kasus korupsi terbanyak terdapat di sektor desa. Indonesia Corruption Watch mengungkapkan bahwa kasus korupsi terbanyak sepanjang tahun 2022 terjadi di Desa. Ada 155 kasus dengan 252 tersangka. Yang jika dihitung yakni  sebesar 26,77% dari total korupsi yang ditangani penegak hukum.

Di tengah badai korupsi ini pun selain penambahan dana desa ada pula penambahan masa jabatan kepala desa menjadi 9 tahun untuk satu priode dan masih dipilih lagi. Padahal semakin lama menjabat akan menaikan potensi terjadinya korupsi. Miris, yang seharusnya penambahan alokasi dana desa untuk pemerataan pembangunan infrastruktur dan pendidikan dan diharapkan mempercepat laju perputaran ekonomi sehingga terjadi peningkatan kesejahteraan, justru dikorupsi oleh pejabat desa. Sehingga kesejahteraan hanyalah angan semata.

Korupsi dana desa yang dilakukan oleh para kepala desa sebenarnya tidak jauh-jauh dari adanya politik uang, mereka akan berusaha menunjukkan citra yang baik di depan masyarakat tanpa mempertimbangkan kapasitas dan kapabilitas mereka. Dalam sistem demokrasi ini, tentu politik uang memiliki celah yang besar yakni dengan cara “membeli” suara masyarakat dengan memberikan sembako ataupun amplop uang.

Sungguh miris, korupsi dana desa sangat banyak terjadi di negeri ini, bahkan kejadian ini terus bertambah bukan hanya dari para petinggi-petinggi pejabat saja, tetapi para pejabat yang di bawahnya pun ikut andil melakukan tindak korupsi. Di samping itu, masa jabatannya yang diperpanjang, malah justru melakukan penyimpangan dengan menjadikan peluang untuk mengeruk dana desa yang jelas-jelas dana tersebut dialokasikan buat pembangunan dan mengetas kemiskinan di tengah masyarakat.

Maka jelaslah bahwa sistem domokrasi melanggengkan oligarki dan membuka kesempatan yang begitu besar untuk terjadinya korupsi secara sistemis dan masif. Sistem demokrasi berdiri tegak di atas landasan kapitalisme dan sekulerisme sehingga melahirkan para pejabat yang miskin akan visi demi kemaslahatan umat serta membuat kebijakan-kebijakan yang menguntungkan dirinya.

Mereka juga tidak membawa agama dalam berpolitik, maka tidak heran jika korupsi dengan berbagai jenis tumbuh subur bahkan terpelihara dengan sangat
sistematis. Sehingga tingkat kepala desa saja gagal mengurusi umat akibat dunia menjadi prioritas penting bagi mereka dan menyebabkan hilangnya rasa empati dan nurani mereka terhadap umat yang seharusnya mereka urusi dengan penuh tanggung jawab.

Pemerintah seharusnya sadar, demokrasi yang dipuja-puji selama ini melahirkan sosok pemimpin atau pejabat negara yang rakus. Korupsi sering dikaitkan dengan gaji kecil. Padahal, mereka yang memiliki jabatan tinggi, gaji dan fasilitas fantastis pun tetap melakukan korupsi. Demokrasi lahir dari idiologi sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan, termasuk kehidupan bernegara. Demokrasi mengagungkan kebebasarn (liberalisme) hingga urusan dosa, surga dan neraka menjadi urusan pribadi masing-masing yang tidak perlu dicampuri negara.

Islam memiliki solusi dalam melakukan pembenahan total kasus korupsi. Ada tiga pilar yang bisa mendukung upaya tersebut yaitu ketakwaan individu, adanya kontrol masyarakat, dan peran negara dalam menerapkan syariat Islam secara menyeluruh (kaafah). Negeri ini membutuhkan sosok pemimpin dan pejabat negara yang berkepribadian Islam. Sosok seperti ini akan senantiasa menghadirkan ruh (kesadaran akan hubungannya dengan Pencipta) dalam setiap aktivitasnya. Ia akan senantiasa merasa takut ketika melakukan kemungkaran.

Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”. (TQS. Al A’raaf : 96)

Tentu saja Islam dengan sistemnya yang paripurna akan menghasilkan para pemimpin yang peduli terhadap umat karena motivasi ketika menjabat adalah semata-mata mendapatkan ridha Allah SWT. Maka  jalan satu-satunya adalah mengubah sistem demokrasi ini menjadi sistem Islam melalui sistem pemerintahan Khilafah. Dalam Khilafah, setiap penguasa yang dibawah komando Khalifah akan dipilih secara langsung oleh Khalifah dan tidak ada praktik pemilihan seperti yang dilakukan dalam sistem demokrasi.

Selain itu sanksi dalam sistem Islam memberikan sanksi yang tegas dan memberikan efek jera dan juga mencegah kasus serupa terulang kembali. Karena hukuman keras bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati. Upaya inilah yang dibutuhkan dengan kesungguhan dan komitmen untuk mewujudkan sistem pemerintahan Islam yang akan diterapkan sesuai hukum syariah. Demikianlah Islam mengurai permasalahan korupsi sehingga tidak marak seperti saat ini.

Post a Comment

Previous Post Next Post