Pegiat Literasi
Masalah kekeringan memang bukan hal yang baru di negeri ini. Hampir setiap musim kemarau masyarakat kerap dihadapkan pada sulitnya mendapat air bersih. Sementara kebutuhan akan air bersih adalah kebutuhan vital yang tidak bisa ditunda atau pun dibiarkan. Hal inilah yang dirasakan warga Kampung Cibogo Lamping, Desa Lagadar, Kecamatan Margaasih, Kabupaten Bandung. Kampung ini berada tak jauh dari Kota Cimahi dan menjadi wilayah langganan kekeringan tiap kemarau datang.
Tahun ini, warga Kampung Cibogo telah mengalami kekeringan selama sebulan lebih. Untuk mendapatkan air bersih, mereka terpaksa membeli air ke warga yang memiliki jetpam. Salah satunya adalah Yati (53). Menurut Yati, ia rela mengantri dan membayar sebesar Rp1000 per jeriken asalkan dapat air bersih. Setiap hari Yati harus membeli air sebanyak 3 jeriken meski hanya cukup untuk hari itu saja. Hal ini dibenarkan oleh Kapolres Cimahi AKBP Aldi Subartono, bahwa wilayah tersebut mengalami krisis air bersih saat kemarau. Oleh karena itu pihaknya mengirimkan bantuan dengan mengirim dua unit truk tangki penyalur air bersih sekitar 13 ribu liter air. Para warga pun rela mengantri dengan membawa ember, jeriken, drum dan tong air. (DetikJabar, Jumat 23/6/2023)
Mengatasi Kekeringan Butuh Solusi Mengakar
Apa yang dialami warga Kampung Cibogo Kabupaten Bandung bisa juga menimpa warga lainnya di wilayah Indonesia saat ini. Selain karena adanya fenomena El Nino yang membuat kemarau ini cukup panjang juga karena kondisi alam Indonesia yang tak lagi sama. Di antaranya karena cadangan air tanah mulai habis akibat penguapan (evaporasi), transpirasi, atau karena ulah manusia seperti alih fungsi lahan pada daerah resapan air menjadi infrastruktur, penebangan dan pembakaran hutan, pencemaran udara, penggunaan rumah kaca, beragam limbah pabrik, penggunaan listrik berskala besar dll. yang menyebabkan pemanasan global (global warming).
Pada 2017, pemerintah melalui Kementerian PUPR telah mengupayakan mitigasi kekeringan dengan membangun sumur bor setiap tahunnya. Ada sebanyak 6.902 sumur bor di berbagai daerah di Indonesia. Dari jumlah tersebut, sumur bor paling banyak terdapat di Pulau Jawa yakni 2.916 sumur, sedangkan Bali dan Nusa Tenggara sebanyak 2.174 sumur. Selain itu pemerintah juga berusaha memanfaatkan serta menyuplai air untuk masyarakat dari waduk terdekat di masing-masing wilayah seperti Waduk Jatigede, Jatiluhur, Cirata, Saguling, Kedungombo, Batutegi, Wonogiri, Wadaslintang, Sutami, Bilibili, Wanurejo, Cacaban, Selorejo, Kalola, Way Rarem, Batu Bulan, dan Ponre Ponre. Upaya lainnya adalah dengan membangun berbagai embung, pompa air untuk disalurkan ke lahan pertanian serta dilakukannya rehabilitasi danau.
Namun sepertinya upaya mitigasi dari pemerintah tersebut belumlah membuahkan hasil secara signifikan. Setiap datang musim kemarau, masyarakat di wilayah yang menjadi langganan kekeringan harus berjuang sendiri. Jika pun ada bantuan pasokan air bersih dari instansi pemerintah misalnya, sifatnya hanya sementara. Terkadang kekeringan ini berhubungan juga dengan kemiskinan akibat gagal panen dan pengangguran yang muncul secara sistemik. Karena faktor alam saja tidak akan membuat kondisi kekeringan demikian ekstrem jika bukan karena regulasi dari pemerintah.
Hal yang paling mendasar yang mesti dilakukan pemerintah adalah penanganan dari hulu bukan dari hilir sebagaimana upaya mitigasi di atas. Penanganan dari hulu tersebut berkaitan erat dengan kebijakan negara terhadap pemberian izin. Kemudahan izin yang diberikan pemerintah kepada pengusaha dan pengembang telah berdampak pada penguasaan aset publik semisal air, hutan, migas secara besar-besaran. Sumber-sumber air yang harusnya dikelola negara untuk dimanfaatkan untuk kepentingan publik justru diperjualbelikan (dikapitalisasi). Masyarakat akhirnya kehilangan akses untuk mendapatkannya secara gratis dan harus merogoh kocek yang tak sedikit untuk mendapatkan air bersih.
Area hutan pun tak luput dari kapitalisasi. Hutan sebagai paru-paru dunia kini mulai sekarat dan tak bisa lagi bisa menopang kebutuhan masyarakat dengan serapan airnya atau hasil hutannya. Pembakaran dan pembalakan liar dibiarkan begitu saja meski dampak kerusakan lingkungan dan ekosistem kian mengkhawatirkan. Yang kena imbasnya tentu saja masyarakat. Negara? Sibuk dengan teken kontrak untuk beragam pembangunan yang diperoleh dengan pengrusakan alam. Negara bahkan tidak berusaha mencari solusi dari akarnya yang bersifat sistemik.
Akar permasalahan yang dihadapi masyarakat salah satunya kekeringan, muncul sejak diterapkannya kapitalisme sekuler di negeri ini. Satu paham yang melandasi negara untuk bertindak karena untung semata. Alhasil, rakyat kian terpuruk dengan kesulitan hidup dan kondisi lingkungan yang rusak, sementara para pemodal kian menikmati keuntungan materi dari kerusakan tersebut. Karena ulah sistem ini pula negara kian nyata kegagalannya memberikan kesejahteraan dan kenyamanan bagi warga masyarakat.
Islam Solusi Hakiki
Jika kapitalisme tak mampu mewujudkan pemimpin sebagai pelayan dan pelindung bagi warganya, maka berbeda dengan Islam. Pemimpin dalam sistem Islam, sejak mulai dia dipilih oleh umat maka dipundaknya telah ada beban mengurus, mengatur dan melindungi rakyat berdasarkan syariat. Permasalahan apa pun yang dihadapi mereka, ia harus bisa memberi solusi tepat yang bisa mendatangkan maslahat.
Sabda Rasulullah saw.: "Pemimpin (imam) itu adalah pengurus/penggembala. Ia akan diminta pertanggungjawaban atas apa yang diurusnya (rakyat)." (HR. Bukhari)
Apabila terjadi kekeringan di satu negeri, kepala negara dalam Islam akan melakukan upaya jangka pendek dan jangka panjang. Jangka pendeknya, negara akan memastikan kebutuhan pokok dan kesehatan masyarakatnya aman, kesehatan serta keamanannya terjamin. Selanjutnya adalah memastikan adanya pasokan air bersih yang dibutuhkan masyarakat lancar dan memadai. Langkah ini bukanlah hal yang sulit karena tanggung jawab negara adalah sebagai raa'in dan junnah. Kepala negara juga memiliki penguasa daerah yang diangkat untuk mengurusi urusan rakyat seperti Muawin Tafwidh (wakil penguasa pusat), wali (setingkat gubernur) atau amil (setingkat bupati).
Jika pasokan bahan makanan dan air bersih di daerah terdekat minim, maka negara akan memenuhinya dengan cara memerintahkan pejabat di daerah yang subur mengirimkan pasokannya. Lalu mengerahkan tenaga ahli dan pegawainya untuk segera memberi bantuan lewat darat ataupun lewat laut.
Jangka panjangnya, negara akan mencari solusi terbaik agar tidak terjadi lagi kekeringan yang melanda negeri tersebut atau wilayah lainnya. Selain menanamkan sikap taat dan tawakal atas musibah, masyarakat juga diminta untuk menghemat air, menjaga kelestarian alam dengan tidak merusak atau memanfaatkan alam secara serampangan apalagi memperjualbelikannya pada pihak asing tanpa sepengetahuan negara. Jika ada yang melanggar ketentuan ini negara tidak akan segan untuk memberikan sanksi tegas pada para pelaku pengrusakan. Karena Islam telah melarang aset publik dikuasai individu atau kelompok tertentu yang menyebabkan orang lain kesulitan mendapatkannya. Begitu pula alih fungsi lahan yang saat ini marak dilakukan, akan dikembalikan fungsinya oleh negara. Dan warga yang kadung tinggal di dalamnya akan direlokasi ke tempat lain yang aman dan bukan daerah resapan air.
Selanjutnya, negara akan mengerahkan tenaga ahli untuk mencari solusi terbaik agar masyarakat di wilayah rawan kekeringan mendapatkan air bersih tanpa ada kendala. Misalnya dengan membuat pipa air berskala makro yang dialirkan dari mata air/sungai/laut atau yang lainnya hingga air sampai kepada masyarakat dan mereka bisa menikmatinya. Negara tidak akan membiarkan praktik kapitalisasi atau pun swastanisasi karena keduanya hanya ada dalam sistem kufur kapitalisme. Inilah gambaran singkat bagaimana Islam ketika diterapkan. Penguasanya hadir sebagai raa'in (pegurus), masyarakatnya terjamin keamanan serta kesejahteraannya. Wallahu a'lam bissawab.
Post a Comment