Gagap Mitigasi di Negeri Kaya Bencana


Selvy 
Alumni Universitas Muslim Nusantara

Bukan hal yang baru ketika melihat indonesia dengan berbagai bencana yang ada. Belum lama ini bersamaan terjadi kembali banjir di dua wilayah berbeda yaitu di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB)  dan di wilayah selatan Kabupaten Malang, Jawa Timur. Dimana Jalur selatan Malang-Lumajang putus akibat longsor yang kemudian disusul putusnya jembatan di perbatasan kedua daerah itu (www.kompas.id). Bupati Lumajang Thoriqul Haq menetapkan masa tanggap darurat selama 14 hari, menyusul terjadinya banjir lahar dingin Gunung Semeru, yang menerjang beberapa desa di wilayahya. 

Menurut Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Stasiun Meteorologi Kelas 1 Juanda Sidoarjo Taufiq Hermawan, dalam rilis tertulis, mengatakan, saat ini wilayah Jawa Timur sedang mengalami musim kemarau dengan pola angin dominan dari timur dan tenggara. 

Meskipun tidak ada korban jiwa, tetapi ribuan penduduk harus mengungsi karena sejumlah desa di dua kecamatan di Kabupaten Lumajang langsung terdampak. Indonesia sendiri secara geografis adalah negeri rawan bencana. Indonesia berada di jalur gempa teraktif di dunia karena dikelilingi oleh Cincin Api (Ring of Fire) Pasifik dan berada di atas tiga tumbukan lempeng benua, yakni Indo-Australia dari sebelah selatan, Eurasia dari utara, dan Pasifik dari timur. Indonesia juga terletak di daerah iklim tropis dengan dua musim (panas dan hujan) dengan ciri-ciri adanya perubahan cuaca, suhu, dan arah angin yang cukup ekstrem. Tidak heran jika potensi bencana di Indonesia sangat besar, mulai dari gempa, gunung meletus, longsor, tsunami, banjir, kebakaran, dan sebagainya.

Sayangnya nyaris tiap tahun Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan ada ribuan bencana terjadi di Indonesia. Pada periode 1 Januari hingga 8 Juni 2023 saja, BNPB melaporkan sudah terjadi 1718 bencana alam di Indonesia. Yang mendominasi adalah bencana banjir, gempa, tanah longsor, serta kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Semua kejadian bencana tersebut tentu berdampak besar bagi kehidupan masyarakat. Jutaan orang harus hidup mengungsi. Ratusan nyawa hilang. Ratusan ribu bangunan rusak. Artinya, kerugian ekonomi dan sosial tidak terhitung besarnya. Sementara itu, bencana-bencana tersebut diprediksi akan terjadi lebih besar pada tahun-tahun yang akan datang.

Tentu saja fakta-fakta ini menuntut sikap mental tanggap bencana pada diri semua pihak. Khususnya pada para penguasa yang menjadi pengurus rakyat. Namun, sayangnya setiap terjadi bencana pemerintah nyaris selalu gagap. Bahkan pada banyak kasus, pemerintah kalah cepat dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM), ormas, atau masyarakat biasa. Tidak jarang juga, bila musim Pemilu banyak caleg yang menjadikan bencana alam sebagai bahan pencitraan. Maka hal yang wajar jika pada setiap bencana selalu muncul perdebatan, negara ada di mana? sebab bantuan sering kali datang belakangan. Dan melihat banyaknya korban menunjukkan mitigasi tidak benar-benar berjalan hingga masyarakat memilih tidak terlalu berharap banyak pada pemimpinnya.

Hal ini dikarenakan kentalnya paradigma kapitalisme yang menjadikan penguasa tidak memiliki sensitivitas dan keinginan serius untuk memberikan solusi kebencanaan sejak dari akarnya. Bahkan kita dapati banyak kebijakan penguasa yang justru menjadi penyebab munculnya bencana hingga berpotensi mendatangkan bencana baru berikutnya. Lihat saja, rata-rata analisis penyebab dan dampak beberapa bencana selalu menunjuk pada kebijakan penguasa. Contohnya, penggundulan hutan dan alih fungsi lahan terutama di zona penyangga (hutan) hingga Walhi menyebut 35 persen hutan kita rusak, bahkan hilang. Juga proyek-proyek industrialisasi di berbagai daerah, pembangunan fisik yang jor-joran, serta penanganan daerah aliran sungai yang timbul tenggelam, dan sebagainya. Begitu pun soal mitigasi bencana. Selama ini, masyarakat selalu jadi pihak yang disudutkan. Pengetahuan minimlah, tidak mau direlokasilah, tidak bisa diaturlah, dan sebagainya. Padahal semua menyangkut political will penguasa. Ketersediaan data dan informasi, minimnya pengetahuan masyarakat, ketersediaan teknologi, fasum, dan alat, semuanya adalah tanggung jawab para penguasa. 

Berbeda dengan paradigma sekularisme kapitalisme dalam Islam, mitigasi tentu menjadi tanggung jawab penuh penguasa karena menyangkut fungsi kepemimpinannya sebagai rain dan junnah umat tadi, yang pertanggungjawabannya sangat berat di akhirat. Adapun aktivitas menolong yang bisa dan biasa dilakukan oleh masyarakat secara swadaya, maka itu merupakan kebaikan yang dianjurkan oleh agama dan tetap didorong oleh penguasa. Dalam hal ini, pemimpin Islam akan membuat berbagai kebijakan khusus, mulai dari penataan lingkungan dikaitkan dengan strategi politik ekonomi Islam yang menjamin kesejahteraan orang per orang. Juga sistem keuangan, pertanahan hingga sanksi untuk mencegah pelanggaran.

Islam menetapkan bahwa fungsi kepemimpinan adalah mengurusi urusan umat dan menjaga mereka. Oleh karenanya, penguasa wajib mengerahkan segala daya untuk menyejahterakan umat dan menjauhkan mereka dari semua hal yang membinasakan. Bahkan bukan hanya untuk urusan di dunia, tetapi juga urusan akhirat rakyatnya. Dalam konteks kebencanaan, para pemimpin Islam dituntut untuk melakukan berbagai hal demi mencegah bencana, sekaligus menghindarkan masyarakat dari risiko bencana. Yang paling mendasar adalah dengan cara menerapkan aturan dan kebijakan yang tidak merusak lingkungan atau melakukan dan membiarkan hal-hal yang bisa mengundang azab Allah Swt.
Wallahua’lam bishouab

Post a Comment

Previous Post Next Post