Ibu Rumah Tangga, Pegiat Dakwah
Bagai mengurai benang yang kusut, permasalahan korupsi di negeri ini tidak pernah berujung, pelik dan selalu bertambah. Mengapa demikian, apakah salah penanganannya?
Kepala Desa Lontar, Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, Banten Alkiani tersandung kasus korupsi dana desa. Di masa jabatannya periode 2015-2021, tersangka telah menggunakan dana desa untuk kepentingan pribadinya seperti, berfoya-foya di tempat hiburan malam hingga poligami dengan 4 perempuan. Uang negara yang dihamburkan Alkiani mencapai Rp988 juta. Padahal dana tersebut seharusnya digunakan untuk kegiatan pembangunan berbagai infrastruktur di desanya.
Karena ulahnya, Alkiani kini ditahan di Pengadilan Negeri Serang untuk diadili. Atas tindakannya tersebut, ia dijerat Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal 3 jo Pasal 18 Ayat (1) Huruf b Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (Tirto.id, 30/06/2023)
Menanggapi permasalahan korupsi yang semakin meningkat, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Indonesia, Abdul Halim Iskandar mengungkapkan bahwa hal ini terjadi karena adanya masalah integritas pada pelakunya. Ia tidak akan menyamaratakan seluruh kepala desa berperilaku demikian. Dia juga mengeklaim, sejumlah sistem yang telah dibuatnya untuk transparansi penggunaan dana desa sudah paling baik, jika dibandingkan dengan semua pendanaan lainnya dari setiap level pemerintahan.
Sementara Anggota Fraksi PKB Ratna Juwita mengatakan, sektor lain pun mempunyai potensi yang sama terkait korupsi. Karena itu tingginya kasus ini tidak bisa menjadi alasan, untuk membatalkan kenaikan anggaran dana desa yang akan dikucurkan ke depannya. Hanya saja pengawasan dan transparansinya yang harus lebih ditingkatkan. Ini semua demi perputaran ekonomi di akar rumput semakin lancar.
Sedangkan Ketua DPP Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI) berpendapat bahwa selain faktor integritas, latar belakang pendidikan juga menyebabkan terjadinya penyalahgunaan dana desa. Untuk itu diperlukan bimbingan teknis bagi para kades dalam mengelola dana tersebut.
Tindak korupsi memang sudah menjadi fenomena umum di negeri ini. Berbagai sektor pemerintahan memang tidak luput dari permasalahan ini, termasuk di level pemerintahan terbawah. Dana desa yang seharusnya diperuntukkan bagi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat pun diselewengkan. Pengawasan dan sistem hukum yang ada tidak bisa mengendalikan kasus ini.
Korupsi Muncul dari Demokrasi Sendiri
Selama sistem sekuler kapitalis masih diadopsi, dana desa masih akan terus menjadi polemik. Bagaimana tidak, demokrasi yang lahir dari sekularisme telah membuka celah terjadinya tindak kejahatan korupsi. Dalam sistem ini, seluruh aturan dan undang-undang bisa dibuat dan direvisi sesuai dengan kepentingan. Karena mengusung HAM, sistem hukumnya pun berpotensi tidak tegas, termasuk bagi pelaku korupsi.
Setidaknya ada beberapa hal mengapa karut marut dana desa terus meningkat, di antaranya adalah demokrasi yang berbiaya tinggi. Sudah lumrah diketahui sebagaimana pemilihan umum, pemilihan kepala desa pun rentan dengan politik uang. Terpilihnya sosok pemimpin kebanyakan tidak ditinjau dari kapasitas dan kapabilitasnya, melainkan dilihat dari seberapa besar dukungan masyarakat, serta citra yang dimunculkan saat kampanye dalam kompetisi. Hal ini menjadi celah politik uang dan kecurangan terjadi. Atas nama bantuan, suara rakyat dibeli. Untuk mengganti dana yang telah dikeluarkan tersebut dengan cepat dan mudah, korupsi pun kerap jadi solusi.
Kemudian latar belakang pendidikan. Untuk menjadi kepala desa biasanya memang bisa berasal berbagi lapisan masyarakat, termasuk yang tidak mengenyam pendidikan tinggi sekalipun. Hal demikian bisa memunculkan masalah. Minimnya pengetahuan terkait pengelolaan dana desa yang jumlahnya miliaran, tentu ia akan merasa kesulitan dalam mengelola dana sebanyak itu.
Selain itu, sekularisme yang menjauhkan agama dari kehidupan, telah menjadikan masyarakat tidak bersandar lagi pada syariat. Termasuk bagi para pemimpin, halal haram kerap tidak dipedulikan. Mereka bertindak hanya sesuai kepentingannya. Dengan demikian kasus korupsi tidak akan pernah berakhir, karena sistem yang diterapkannya sendiri yang menumbuh suburkan problem ini.
Hanya Islam yang Bisa menjadi Solusi
Lain halnya dengan sistem pemerintahan Islam, yang berasaskan akidah Islam. Pemimpin di setiap tingkatan wilayah berada dalam satu komando kepemimpinan. Untuk wali (setingkat gubernur), amil (setingkat kabupaten/kota) dan mudir (setingkat desa) akan dipilih langsung oleh khalifah atau bisa juga diwakilkan apabila khalifah memberikan mandat. Dalam sistem ini tidak akan dijumpai praktik pemilu ala demokrasi yang prosesnya panjang dan mahal. Tidak akan terjadi juga politik uang, transaksional dan kecurangan lainnya. Karena penguasa menyandarkan perbuatannya pada aturan Allah Swt..
Mengenai permasalahan korupsi, Islam memiliki metode pencegahan dan penyelesaian yang sangat solutif. Di antaranya dengan membangun ketakwaan setiap individu, termasuk para pemimpin di setiap level pemerintahan sebagai integritas utama. Loyalitasnya bukan bersandar pada kepentingan pribadi atau golongan, melainkan harus bersandar atas ketaatannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Tugas seorang pemimpin adalah mengurusi dan melayani kepentingan umat (rakyat).
Kemudian, sistem pemerintahan Islam mempunyai Badan Pengawas Keuangan yang berfungsi secara optimal. Tugas dari lembaga ini adalah untuk mengawasi dan memeriksa kekayaan para pejabat pemerintah. Mereka akan menjalankan tugasnya sebagaimana mestinya. Karena asas dalam mengemban amanahnya adalah keimanan dan ketakwaan, maka halal dan haram pun akan menjadi sandaran setiap perbuatan. Para pejabat akan sadar betul dengan kewajibannya, yang kelak mereka akan dimintai pertanggung jawaban. Sebagaimana sabda Rasulullah saw..
"Seorang imam (pemimpin) adalah pengurus urusan rakyatnya, dan ia akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang diurusnya." (HR. Bukhari)
Tidak hanya itu, Islam mempunyai sistem sanksi yang tegas bagi setiap tindak kriminal, termasuk kejahatan korupsi yang bisa memberikan efek jera. Hukumannya tergantung pada kebijakan khalifah, yaitu takzir dengan sanksi yang diberikan sesuai jenis kejahatannya seperti pengasingan, penjara hingga hukuman mati.
Semua hal di atas hanya bisa dilakukan ketika sistem pemerintahan Islam kembali ditegakkan. Oleh karena itu, satu-satunya cara agar kasus korupsi terurai tuntas adalah mencabut akar persoalannya yaitu mengganti sistem demokrasi kapitalis dengan sistem yang sahih yaitu sistem pemerintahan Islam.
Wallahu a'lam bi ash-shawab.
Post a Comment