Bawaslu Honorer Dicabut, Jadi Kalang Kabut


Pemerintah berencana memberhentikan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) honorer pada 28 November 2023  nanti. Sekitar 7.000 lebih tenaga honorer KPU diberhentikan atau di-PHK pada akhir November. Jika hal ini terjadi maka ada sekitar 7000 lebih sumber daya manusia (SDM) yang akan kehilangan lapangan pekerjaan. 

Selain itu hal tersebut  akan berpotensi mengganggu tahapan pemilu berikutnya. Pasalnya Bawaslu memiliki peran penting dalam berjalannya pemilu, yakni untuk mengawasi pemilu di setiap tingkatan, mencegah dari tindakan pelanggaran pemilu, mencegah sengketa pada proses pemilu, mengawasi tahapan pelaksanaan pemilu seperti penetapan peserta pemilu dan penetapan daerah pemilihan DPRD kabupaten/kota, serta mencegah praktik politik uang yang marak terjadi. Kekhawatiran pun terjadi apalagi pemerintah sendiri belum memberikan solusi pasti.

Selama masa kampanya praktik politik uang ini sudah menjadi rahasia umum. Kenyataan adanya politik uang ini dirasakan oleh semua pihak baik para calon yang berkompetisi memperebutkan suara, aparat penyelenggara pemilu, penegak hukum, pemantau bahkan masyarakat sebagai objek sekaligus sasaran dari proses politik uang itu. Menurut sebuah riset, jumlah pemilih yang terlibat politik uang dalam Pemilu 2019 dikisaran 19,4 persen hingga 33,1 persen ini cukup lumayan besar, sangat tinggi kalau dikaitkan dengan standar internasional sebagaimana diungkapkan Ketua KPU RI (Antara 05/10/2021).

Menjelang pemilu kasus politik uang pernah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya seperti yang pernah terjadi  di Lamongan, Jawa Timur Polisi  mengamankan satu mobil yang membawa uang senilai Rp 1,075 miliar dan sejumlah atribut salah satu partai peserta pemilu pada 15 April 2019.  Juga di Nias, polisi melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap seorang calon anggota legislatif DPRD Sumatera Utara (Sumut) dari Partai Gerinda berinisial DRG (Sumber kompas.com, 16 April 2019).

Disusul lagi Bawaslu Kota Pekanbaru dan polisi melakukan operasi tangkap tangan alias OTT terhadap empat orang terduga pelaku politik uang, Selasa (16/4/2019) siang sekitar pukul 13.30 WIB. Dari tangan pelaku, tim sentra Gakkumdu Kota Pekanbaru menyita uang Rp 506.400.000. (Sumber kompas.com, 16 April 2019).

Faktor Pendukung Praktik Politik Uang

Maraknya politik uang yang terjadi berulang di setiap pemilu dikarenakan kurangnya pemahaman masyarakat tentang politik uang. Padahal larangan melakukan politik uang telah  diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pada Pasal 515 disebutkan "Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak 36 juta".

Minimnya pengerahuan politik uang tentu menyebabkan kecurangan terus terjadi setiap kali Pemilu. Saking sudah biasanya, beberapa masyarakat bahkan menantikan sogokan paling besar yang ditawarkan oleh calon dalam kontestasi politik tersebut. Alhasil tolak ukur untuk memilih calon pemimpin hanya berdasarkan materi semata bukan pada kualitas calon pemimpin.

Itulah sedikit realita pahit dalam sistem kapitalisme, asas dari sistem kapitalis dimana suara rakyat adalah suara tuhan mampu memberikan celah kepada para calon pemimpin atau calon para pejabat pemerintahan untuk melakukan kecurangan dengan menghalalkan berbagai cara demi menjadi pemimpin atau pejabat. Sebagai contoh mereka bisa melakukan  penggelembungan suara atau "mark up". Dengan cara menyuap panitia pemilu atau Bawaslu sehingga suara merekalah lebih unggul dari yang lainnya.

Maka dampak yang akan terjadi ketika para calon lolos berhasil meraih kursi kekuasaan adalah sistem balik modal menjadi solusi untuk menambal biaya yang telah digelontorkan dalam ajang pemilu tersebut melalui cara korupsi. Karena memang pemilu dalam sistem kapitalisme begitu menguras kantong partai serta kantong pribadinya.

Kemudian saat para pejabat terjerat korupsi hukuman yang dikenai tidak memberikan efek jera.. Hukuman bagi para koruptor menurut Undang-undang pasal 2 paling sedikit empat tahun penjara dan maksimal hukuman penjara bagi koruptor adalah 20 tahun. Akan tetapi pada hukuman tersebut bisa lebih rendah karena adanya grasi presiden atau pengurangan hukuman yang diberikan oleh presiden pada pelaku pidana. Belum lagi selama masa tahanan mereka bisa mendapatkan fasilitas yang mewah didalam penjara bak hotel bintang lima atau untuk menghindari masa tahanan para koruptor ini  kabur keluar negeri untuk melindungi diri. Alhasil para koruptor pun bebas melenggang kesana kemari.

Metode Pemilihan Pemimpin dalam Islam

Dalam sistem Islam metode mengangkat seorang khalifah (pemimpin) yaitu dengan cara dibaiat, sebagaimana tercantum dalam Al Qur'an dan Hadis. Dalam Al-Qur'an Allah Swt telah berfirman yang artinya:

"Hai nabi, apabila datang kepadamu perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan mempersatukan sesuatu pun dengan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yabg mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka, dan tidak akan mengdurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka" (TQS Mumtahanah: 12).

Dalam Hadis riwayat Muslim telah disebutkan pula: 

"Siapa saja yang telah membaiat seorang imam /khalifah, lalu ia telah memberikan kepadanya genggaman tangannya dan buah hatinya, maka hendaklah ia menaatinya sesuai dengan kemampuannya. Kemudian jika datang orang lain yang hendak merebut kekuasaannya maka penggalah orang itu".

Prosedur praktis pengangkatan seorang kholifah dilakukan secara cepat yaitu dibatasi selama 3 hari dua malam, tanpa adanya kampanye yang bisa menghabiskan banyak dana. Salah satu contoh peristiwa pengangkatan Khalifah pernah terjadi pada saat Umar tertikam, kemudian Umar menunjuk 6 orang untuk mengajukan calon kepada kaum muslim. Umar menunjuk Suhaib untuk memimpin 6 orang yang telah beliau calonkan itu hingga terpilih seorang khalifah dalam jangka waktu tiga hari. 

Kemudian setelah khalifah Umar wafat Abdurahman Bin Auf mengumpulkan para calon tersebut di suatu tempat dan setiap mereka diajukan pertanyaan siapa yang akan  mengundurkan diri. Sampai pada akhirnya tersisa dari ke enam calon tersebut Ali dan Utsman. Selanjutnya Abdurahman mendatangi kaum muslim dari rumah ke rumah untuk meminta saran atau suara siapa diantara mereka yang berhak menjadi khalifah pengganti umar. Maka hasilnya terpilihlah Utsman sebagai khalifah.

Setiap Khalifah yang terpilih tidak lah merasa bangga dan bergembira atau bahkan pesta pora untuk kemenangan mereka. Justru yang mereka lakukan adalah dengan menerapkan hukum-hukum Allah dan Sunah Rasulullah untuk kemakmuran rakyatnya. Karena kepemimpinan dalam Islam adalah amanah untuk pengurusan rakyat mereka bukan untuk kesenangan pribadi.

Hal ini terbalik dengan kondisi saat ini para calon memperebutkan kursi kekuasaan karena mereka tergiur dengan pangkat, jabatan dan harta yang akan mereka miliki. Sementara dalam sistem islam seorang pemimpin atau khalifah mendapatkan gaji/tunjangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup dia dan keluarganya.

Dan sebelum mereka menjalankan tugasnya sebagai khalifah atau sebagai ASN harta kekayaan mereka akan di audit dulu, hal ini bertujuan agar harta para pejabat tidak naik secara signifikan  selama masa jabatan. 

Maka dari itu dalam  sistem Islam kemungkinan para calon pemimpin untuk berbuat curang sangatlah kecil karena mereka dipilih langsung oleh rakyat dan mereka yang terpilih adalah orang-orang terbaik yang telah memenuhi syarat-syarat wajib dimiliki oleh seorang pemimpin (syarat in'iqad khalifah).

Syarat in'iqad khalifah sendiri meliputi muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, merdeka, mampu. Sehingga tidak perlu tebar pesona dengan melakukan kampanye yang menghabiskan banyak dana. Layaknya serangan fajar, membuat poster-poster/baliho, bagi-bagi sembako, bagi-bagi kaos dll.

Dan kemungkinan posisi Bawaslu atau dalam islam disebut ahlul halli wal aqdi  tidak akan membutuhkan banyak orang, ini bertujuan untuk menghemat bujet negara. Pemimpin yang berkualitas dan berakhlak mulia dengan tingkat profesionalitas yang tinggi lebih diutamakan untuk membangun negara.  Hanya sistem islam yang bisa menghapus politik uang dalam pemilihan pemimpin atau pejabat pemerintah.

Wallahua'lam bishowab.

Post a Comment

Previous Post Next Post