Apakah WTP dan WDP Merefleksikan Segalanya?


Tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) lebih banyak, karena saya ingin menggarisbawahi tentang hasil audit BPK yang mana dua predikat yang paling sering kita dengar adalah WDP (Wajar Dengan Pengecualian) dan WTP (Wajar Tanpa Pengecualian).

Sudah banyak keraguan terhadap audit WTP dari BPK untuk berbagai pemerintahan daerah di Indonesia namun kepala daerahnya tersangkut kasus korupsi. 

Sebut saja Provinsi Banten dengan gubernurnya yang jadi pesakitan KPK beberapa tahun yang lalu.
Lalu, bagaimana dengan provinsi Sumatera Utara sendiri yang gubernurnya berjilid-jilid dijebloskan ke penjara oleh KPK? 

Apakah WTP dan WDP merefleksikan segalanya?

Namun sejauh ini desas desus akan keanehan ini hanyalah kabar burung saja, karena BPK dianggap adalah lembaga Dewa yang hasil auditnya tidak pernah salah. 

BACA :
Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atau unqualified opinion artinya menyatakan bahwa laporan keuangan entitas yang diperiksa, menyajikan secara wajar dalam semua hal yang material, posisi keuangan, hasil usaha, dan arus kas entitas tertentu sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia.

Berarti laporan keuangan wajar dan sesuai dengan prinsip akutansi tetapi kok masih ada temuan BPK setiap tahun hampir di seluruh daerah di Indonesia, masing-masing OPD nilainya MILIARAN RUPIAH. 

Opini WTP diberikan jika system pengendalian internal memadai dan tidak ada salah saji yang material atas pos-pos laporan keuangan. Secara keseluruhan laporan keuangan telah disajikan secara wajar sesuai Sistem Akuntansi Pemerintah.

Bingung kan? Opini diberikan tidak ada salah saji.

Kemudian temuan BPK itu harus dikembalikan ke kas negara dalam waktu 60 hari, kalau tidak aparat hukum masuk.

BACA :
Dan terjadi lagi … tiap tahun anggaran. Bisik-bisik yang menggunakan anggaran negara ini, kalau temuan, ntar di ganti. Anggap saja utang tanpa bunga … tahun depan dibikin lagi hal yang sama. 

Apakah tulisan saya ini sudah bisa dikatakan tajuk ataukah hanya orat oret yang ingin bangsa ini semakin bermartabat dengan meminimalisir permasalahan.

Mengapa aparat hukum melembut soal penyelenggara negara yang menggunakan uang negara tidak semestinya sehingga selalu saja menjadi temuan BPK.

Coba bandingkan dengan kasus Nenek Asyani pada 7 Juli 2014 dimana Nenek Asyani dijerat Pasal 12 juncto Pasal 83 ayat (1) Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dengan ancaman 5 tahun penjara.

BACA :

Kala itu Nenek Asyani dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman penjara satu tahun dengan masa percobaan 15 bulan. Terdakwa dalam kasus pencurian kayu milik Perhutani Situbondo, Jawa Timur, Nenek Asiani, akhirnya divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Situbondo, Rabu (23/4). Nenek Asiani dijatuhi hukuman penjara satu tahun dengan masa percobaan 15 bulan. Selain itu juta dikenai denda Rp 500 juta dengan subsider 1 hari kurungan.

Asyani, perempuan berusia 63 tahun, yang ditahan sejak Desember 2014 karena dituduh mencuri kayu dari Perum Perhutani, akhirnya kembali menghirup udara bebas, Senin, 16 Maret 2015.

Tindakan penegak hukum terhadap kasus Nenek Asyani tidak adil. Kasus tersebut seharusnya tak diproses sampai ke pengadilan melainkan hanya melalui musyawarah dan pembinaan sebab Nenek Asyani hanya petani serabutan dengan pendidikan pas-pasan.

Post a Comment

Previous Post Next Post