Oleh Ummu Uzayr
Ibu Rumah Tangga
Dalam Mastercard Crescent Rating Global Muslim Travel Index (GMTI) 2023 di Singapura beberapa waktu lalu, Indonesia meraih predikat Top Muslim Friendly Destination of The Year 2023 dengan menyandang peringkat pertama (katadata.co.id, 03062023). Indonesia dan Malaysia berbagi tempat di posisi puncak dengan sama-sama memperoleh skor 73. Sebelum itu, Indonesia dan Malaysia juga sempat sama-sama di peringkat pertama GMTI pada 2019 (visual.republika.co.id, 02062023).
Sebagai negara dengan mayoritas muslim, sektor wisata halal memang menjanjikan sebagai salah satu sumber pemasukan negara. Sebagaimana yang dikutip dari cnnindonesia.com, 2019 lalu. Pemerintah memperkirakan potensi penerimaan devisa dari sektor pariwisata halal tahun tersebut mencapai sekitar US$5,5 miliyar-US$10 miliyar atau setara Rp77 triliun-Rp140 triliun (kurs Rp14 ribu per dolar AS).
Sekilas jumlah ini begitu besar, namun sejatinya ada sumber yang jauh lebih besar hasilnya jika dikelola dengan benar, yaitu sumber daya alam (SDA). Mirisnya, di bawah kelola kapitalisme, SDA yang jumlahnya besar dibiarkan dikuasai aseng dan asing.
Selain sebagai negara dengan mayoritas muslim, Indonesia juga diberkati dengan memiliki kekayaan alam yang melimpah. Potensi kekayaan baik tambang, laut, hutan, dan hasil bumi lainnya, dapat dikatakan lebih dari cukup untuk membiayai kebutuhan negara.
Sayangnya Indonesia terkungkung oleh sistem kapitalisme demokrasi. Kekayaan alam yang seharusnya dinikmati oleh umat, hari ini justru banyak dikuasai oleh swasta asing. Negara kehilangan sumber pemasukannya yang strategis yang berasal dari pengelolaan sumber daya alam, yang menyebabkan rakyat terjerat kemiskinan secara sistemik, dan mengharuskan negara mengais-ngais rupiah dari sektor non-strategis seperti wisata.
Lain halnya posisi wisata dalam negara khilafah, yang menempatkan wisata sebagai sarana (uslub) dalam dakwah dan di'ayah (propaganda) menyebarluaskan Islam, bukan sebagai sumber pemasukan negara. Objek wisata sebagai sarana dakwah, karena manusia baik Muslim maupun non-Muslim, biasanya akan tunduk tatkala melihat dan menikmati keindahan alam. Pada titik inilah potensi naluri beragama (gharizah tadayyun) pada manusia bisa dimunculkan, sehingga bagi yang sudah beriman, akan semakin kokoh keimanannya, sedangkan bagi non muslim akan ada proses dakwah ketika memanfaatkan objek wisata tersebut.
Adapun objek wisata sebagai sarana di'ayah (propaganda), karena siapapun yang masih memiliki keraguan akan peradaban Islam, ketika mereka melihat langsung peninggalan bersejarahnya, dalam diri mereka akan muncul keyakinan akan keagungan dan kemuliaan Islam.
Perlu dipahami juga, meskipun wisata dapat menjadi salah satu sumber devisa dengan kriteria dan ketentuan tertentu yang nantinya akan ditetapkan oleh khalifah, namun sektor wisata tidak akan menjadi sumber perekonomian negara khilafah. Syariat Islam telah menetapkan bahwa pemasukan negara berasal dari tiga sektor; pos kepemilikan negara, umum, dan pos zakat yang terakumulasi di baitulmal. Setiap pos memiliki sumber pemasukan dan pengeluaran masing-masing.
Pos kepemilikan negara berasal dari pengelolaan harta kepemilikan negara, seperti harta fa'i, kharaj, usyur, jizyah, ghanimah, ghulul, dan dharibah. Harta yang telah didapatkan tersebut nantinya akan dikeluarkan untuk keperluan negara seperti membiayai jihad, pembangunan infrastruktur, menggaji pegawai negara dan lainnya.
Pos kepemilikan umum berasal dari pengelolaan harta kepemilikan umum, yaitu sumber daya alam, yang nantinya dikeluarkan untuk keperluan kebutuhan warga khilafah, seperti membiayai kebutuhan pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Sedangkan pos zakat berasal dari harta zakat fitrah, zakat maal, wakaf, infaq, dan shadaqah.
Begitulah khilafah memposisikan sektor wisata, bukan sebagai sumber pemasukan negara, melainkan sebagai sarana dakwah dan propaganda. Karena khilafah telah memiliki sumber pemasukan negara yang kokoh dan stabil, sebagaimana yang telah ditentukan oleh syariat.
Wallahu a'lam bishshawab
Post a Comment