Wisata “Halal” Ala Kapitalisme

Oleh: Firda Rampean 
(Aktivis Muslimah)

Indonesia menjadi surga wisata halal dunia dengan meraih predikat Top Muslim Friendly Destination of The Year 2023 dalam Mastercard Crescent Rating Global Muslim Travel Index (GMTI) 2023 di Singapura. “Kita mendapat hasil yang di luar dugaan, Indonesia berhasil ada di posisi pertama Global Muslim Travel Index,” kata Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno dalam keterangan resminya, Sabtu (3/6).  (Katadata.co.id)

Direktur Industri Produk Halal KNEKS Afdhal Aliasar juga mengapresiasi pencapaian yang sudah diraih oleh bangsa Indonesia,“Hal ini menunjukkan kerja keras Indonesia bangkit pascapandemi, dengan berhasil meraih posisi peringkat pertama GMTI 2023" Ungkapnya. Dilansir dari (REPUBLIKA.CO.ID)

Negara ini memang menyimpan potensi yang cukup besar bagi perputaran ekonomi dunia dalam bidang pariwisata, termasuk Proyek Wisata Halal ini. Namun, Wisata halal ala kapitalisme justru jauh dari standar kehalalan menurut syariah Islam. Sekalipun konsep wisata halal tersebut terdapat dalam lima komponen penting seperti, hotel halal, transportasi halal, makanan halal, paket tour halal, dan keuangan halal.

Namun, demikian itu bukan berarti Islamisasi wisata, sebab atraksi adat setempat yang menjadi daya tarik wisatawan walaupun tidak sesuai dengan ajaran Islam alias tidak halal (seperti adat upacara yang mengandung kemusyrikan), akan tetap dilestarikan bahkan menjadi ikon penarik wisatawan.

Tidak hanya itu fasilitas-fasilitas  tambahan yang tidak halal—diharamkan oleh Allah Taala—akan tetap ada. Jadi, label “halal” yang diusung di sektor pariwisata nasional tersebut  tidak lebih dari sekadar untuk  menarik wisatawan muslim, mengingat Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. 

Selain melenceng dari kehalalan, sejauh ini potensi pariwisata memang dimanfaatkan sebagai salah satu sumber pendapatan terbesar negara selain pajak. 

Tidak heran, jika  setiap agenda internasional, target pemerintah tidak pernah lepas dari jumlah wisatawan asing yang bisa masuk karena mereka adalah sumber devisa. Sejak beberapa tahun terakhir, pemerintah secara khusus mengalokasikan dana besar demi memulihkan pariwisata nasional. Hal ini dilakukan untuk mendukung pengembangan kawasan strategis pariwisata nasional dan pelatihan SDM pariwisata demi untuk membangkitkan kembali perekonomian Negara pasca pandemi.

Namun demikian, tetap saja dukungan besar pemerintah terhadap pariwisata—khususnya wisata halal—adalah kebijakan yang tidak tepat sasaran. Pasalnya, sektor pariwisata hanya bagian yang sangat kecil dibandingkan banyaknya kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) negeri ini yang saat ini  justru “dihalalkan” untuk asing, aseng, maupun jejaring swasta oligarki nasional untuk meliberalisasi SDA Indonesia.
 
Mirisnya, sistem ekonomi kapitalisme yang tegak di negeri ini telah menghalalkan jalan bagi kaum korporat untuk merampok SDA, yang akan menyisakan secuil atau justru hanya memberikan sumbangsih limbahnya saja bagi masyarakat. 
Sistem ekonomi kapitalisme, jelas biang kerok kacaunya perekonomian Negara hari ini.

Sistem ekonomi kapitalisme memberikan peluang bagi manusia untuk memperoleh kekayaan, mengusahakannya, serta mengelolanya dengan sesuka hatinya. Inilah yang bisa menimbulkan gejolak dan kekacauan, serta mengakibatkan keburukan dan kerusakan.

Di sistem ini, manusia yang hakikatnya serba terbatas, dibiarkan untuk memenuhi kebutuhannya sebebas-bebasnya, sehingga kekayaan/harta dimonopoli oleh orang-orang kuat—yang juga rakus—sehingga orang-orang yang lemah tidak akan memperoleh apapun. Semua itu sangat berbeda dengan sistem Islam.

Dalam sistem Islam, memandang bahwa sektor wisata bukan merupakan sumber pendapatan negara. Wisata dipandang sebagai sarana dakwah, baik muslim maupun non muslim. Manusia secara umum, ketika menyaksikan kebesaran dan keindahan alam semesta, maka hatinya akan kagum dan tunduk. Hal tersebut akan membangkitkan potensi naluri beragama (gharizah tadayyun). Bagi yang sudah muslim akan semakin mengokohkan keimanannya.  Begitupun non muslim, wisata  merupakan sarana dan proses dakwah menuju keimanan yang benar.

Sebagai sarana di'ayah (propaganda) adalah obyek wisata peninggalan sejarah peradaban Islam. Dengan menyaksikan jejak sejarah peninggalan peradaban Islam, seperti Masjid Aya Sophia, Taj Mahal, Masjid Demak dan sebagainya, akan menghadirkan keyakinan bagi yang masih meragukan keagungan dan kemuliaan peradaban Islam. Sementara,  bagi yang sudah meyakini keagungan Islam, akan semakin mengokohkan keyakinannya akan keagungan Islam dan peradabannya.

Tidak semua obyek wisata dikelola dalam sistem Islam. Obyek wisata yang dikelola adalah obyek wisata keindahan alam, seperti pantai, danau, air terjun, pegunungan, hutan dan sebagainya. Juga obyek wisata peninggalan sejarah peradaban Islam, seperti masjid, perpustakaan, sekolah, universitas, museum dan sebagainya.

Untuk obyek wisata peninggalan sejarah peradaban selain  Islam dibedakan pengelolaannya. Jika berupa tempat peribadatan non muslim dan masih dipergunakan, maka akan dibiarkan dengan syarat tidak boleh dipugar dan direnovasi. Jika tempat peribadatan tersebut sudah tidak dipakai, maka akan ditutup atau dihancurkan atau akan diubah agar tidak bertentangan dengan peradaban Islam.

Sebagaimana yang dicontohkan oleh Sultan Muhammad al Fatih ketika menaklukkan konstantinopel. Setelah penaklukan, Sultan al Fatih membeli gereja Aya Sophia dan diwakafkan kepada kaum muslimin. Gereja Aya Sophia diubah fungsinya menjadi masjid. Gambar-gambar, patung maupun ornamen Kristen, yang tidak sesuai dengan Islam ditutup dan dicat, sehingga bisa digunakan sebagai tempat shalat.

Dalam sistem Islam, tidak ada dikotomi wisata halal maupun  non halal. Dan yang harus dipahami, meski sektor wisata bisa menjadi sumber devisa negara, tetapi tidak akan dijadikan sebagai sumber pendapatan dalam sistem Islam. Negera akan mengelola perekonomian negara berdasarkan syariat Islam. 

Dalam Islam terdapat klasifikasi kepemilikan harta, yakni kepemilikan individu dan kepemilikan umum. Khilafah melindungi kepemilikan individu dari upaya perampasan oleh pihak lain, seperti penipuan, pencurian, dan perampokan.

Khilafah juga menjamin terlaksananya distribusi harta di kalangan individu secara adil sehingga kebutuhan primer (sandang, pangan, papan) masing-masing individu bisa terpenuhi. Pada saat yang sama, Khilafah menggunakan standar syara’ untuk mengklasifikasi jenis-jenis harta kepemilikan umum yang tidak boleh dimiliki individu dan negara.

Demikian juga ketika mengklasifikasi jenis-jenis harta milik negara yang tidak boleh bercampur dengan harta kepemilikan individu maupun umum. Khilafah menjadi pengelola harta milik umum agar bisa digunakan demi kemaslahatan umat. 

Sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Kaum muslim bersekutu (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal, yaitu air, padang (rumput), dan api.” (HR. Abu Dawud).

Didalam hadits lain juga disebutkan, Rasulullah saw. bersabda: “Imam (pemimpin) itu pengurus rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus.” (HR. Bukhari dan Ahmad). 

Olehnya itu pemimpin didalam sistem Islam akan senantiasa memperhatikan agar urusan rakyatnya berjalan sesuai dengan rambu-rambu (Syariat Islam).
Wallahu a’lam bish shawwab.

Post a Comment

Previous Post Next Post