Wacana Pesona Wisata Halal

 


Oleh Najwa Ummu Irsyad

(Pegiat Literasi) 



Zamrud khatulistiwa, itulah nama yang disematkan pada pesona keindahan alam Indonesia. Pantai yang membentang dari ujung barat ke ujung timur, serta pemandangan bawah laut yang memesona. Air terjun dan kesegaran alam pegunungan mampu merileksasi pikiran siapapun yang mengunjunginya. Berbagai peninggalan dan bangunan kuno tersebar di berbagai wilayah. Semua itu menjadi destinasi wisata baik lokal maupun mancanegara.


Salah satu cara yang ditempuh pemerintah untuk menarik wisatawan asing berkunjung ke Indonesia adalah dengan membuka wisata halal di Indonesia. Sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim sudah seharusnya Indonesia menjadi negara ramah terhadap kaum Muslim. Pantas saja Indonesia menjadi surga wisata halal dunia dengan meraih predikat Top Muslim Friendly Destination of The Year 2023 dalam Mastercard Crescent Rating Global Muslim Travel Index (GMTI) 2023 di Singapura. (Katadata.co, 03/06/23). 


Apa itu wisata halal?

Dalam pengertiannya, menurut Kemenparekraf, wisata halal secara umum merupakan layanan tambahan amenitas, atraksi, dan aksesibilitas yang ditujukan dan diberikan untuk memenuhi pengalaman, kebutuhan, dan keinginan wisatawan Muslim. Sementara menurut Kementerian Agama (Kemenag), wisata halal merupakan pemberian fasilitas bagi wisatawan Muslim untuk dapat menunaikan kewajiban syariat-Nya di lokasi wisata tersebut.


Secara konseptual, wisata halal adalah konsep pelayanan dan produk wisata berbasis syariah Islam. Beberapa hal yang termasuk ke dalam jenis wisata ini seperti tersedianya hotel halal, restoran halal, resor halal, dan halal trip. Konsep ini tak sebatas digunakan di negara-negara Islam saja, tetapi juga dapat diaplikasikan di negara-negara yang penduduknya tidak mayoritas beragama Islam (Adira.co.id, 16/08/22).


Sumber Pemasukan Negara


Menjadikan pesona wisata halal sebagai sumber pemasukan bagi negara memang bukan sesuatu yang salah. Meningkatnya wisatawan asing tentunya memberikan peluang peningkatan ekonomi kreatif disekitar tempat wisata. Namun jika dihitung-hitung, pemasukan dari sektor pariwisata masih berada di level teri.


 Data menunjukkan pendapatan devisa dari sektor pariwisata Indonesia mencapai US$4,26 miliar pada 2022. Nilai tersebut telah melonjak hingga 769,39% dibandingkan pada tahun sebelumnya. (dataindonesia, 28/12/22).


Sedangkan Indonesia sendiri selain alamnya yang memukau, daratan, lautan serta perut bumi Indonesia menyimpan harta melimpah. Andaikan saja pemerintah mau mengelola sendiri semua sumber daya alamnya, sudah tentu Indonesia akan menjadi negara yang kaya, rakyatnya hidup sejahtera. Sebagai contoh, Perusahaan tambang emas-tembaga raksasa PT Freeport-McMoran Inc., meraup pendapatan US$ 22,78 miliar atau setara Rp 341,70 triliun (asumsi kurs Rp 15.000/US$) sepanjang tahun 2022. Pendapatan tersebut hanya dari satu perusahaan sudah lebih dari cukup untuk membiayai egara. 


Sayangnya, negeri ini tersandera. Kekayaan alam hampir seluruhnya diserahkan pengelolaannya kepada asing. Keuntungan dibawa keluar negeri, sedangkan negara justru mengais keuntungan dari sektor pariwisata. 


Pariwisata dalam pandangan Islam

sangat berbeda dengan pariwisata dalam yang saat ini digaungkan. Obyek wisata tidak akan dijadikan sebagai sumber pemasukan negara, melainkan menjadi sarana dakwah Islam. Seseorang yang beriman ketika melihat keindahan alam diharapkan akan semakin tunduk dan mengingat kebesaran Sang Pencipta. Sedangkan bagi nonmuslim yang berkunjung, diharapkan akan menjadi sarana di’ayah (propaganda) karena siapapun yang masih memiliki keraguan akan peradaban Islam ketika melihat secara langsung peninggalan bersejarah dari peradaban Islam. Maka diharapkan dalam diri mereka akan muncul keyakinan akan keagungan dan kemuliaan Islam. Sedangkan bagi kaum Muslim yang sudah yakin, namun belum pernah melihat secara langsung peninggalan bersejarah Islam, ini akan memperkokoh keyakinannya.


Oleh sebab itu dalam negara Islam obyek wisata yang akan dipertahankan dan dipelihara adalah obyek berupa keindahan alam seperti pantai, air terjun, danau, dan lain-lain. Sedangkan bangunan kuno peninggalan agama nonmuslim tetap di biarkan selama masih dipakai untuk beribadah dengan syarat tidak boleh dipugar atau direnovasi. Namun jika bangunan tersebut sudah tidak digunakan, maka negara akan menutup obyek tersebut atau bahkan merobohkannya. Selain itu bangunan yang bukan tempat peribadatan dan tidak sesuai dengan syariat Islam, maka negara akan membongkar atau mengalih fungsikan bangunan.


Tidak ada dikotomi wisata halal atau haram dalam pandangan Islam. Selebihnya negara tidak akan menjadikan pariwisata sebagai sumber perekonomian negara. Sebab negara telah memiliki pos pemasukan tersendiri. Keuangan negara berasal dari tiga sumber, pertama pos kepemilikan Negara. Pos ini akan mendapatkan pemasukan dari harta fai, kharaj, usyur, Jizyah, ghanimah, ghulul, dan dharibah.


 Dana dari pos kepemilikan negara ini akan digunakan untuk keperluan negara seperti biaya jihad, pembangunan infrastruktur, menggaji pegawai Negara. Pos kedua berasal dari harta kepemilikan umum seperti Sumber daya alam yang bisa digunakan untuk membiayai keperluan masyarakat seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan. Yang ketiga yaitu pos zakat, pos ini berasal dari zakat mal, sedekah dan infak. 


Demikianlah pengelolaan wisata dalam pandangan Islam. Wisata tidak dijadikan sebagai sumber perekonomian negara, namun sebagai sarana dakwah dan propaganda. Selain itu perekonomian negara sudah stabil dengan berbagai pemasukan keuangan yang sesuai dengan syariah.


Wallahu a'lam bishawab

Post a Comment

Previous Post Next Post