Pendaftaran calon presiden RI masih beberapa bulan ke depan. Tepatnya 19 Oktober – 25 November 2023. Namun, suasana politik dalam negeri mulai memanas. Bukan di level akar rumput, tapi di level elite kekuasaan. Masing-masing partai mulai mengelus-elus jagonya masing-masing. Para petinggi partai sibuk berkomunikasi politik dalam rangka menggaet partai lainnya agar bisa masuk ke dalam barisannya. Namun yang pasti semua partai tersebut menjadikan umat islam sebagai batu loncatan bagi kemenangan mereka.
Direktur Institut Soekarno Hatta, Hatta Taliwang, mengemukakan, siapa pun yang terpilih dalam sistem yang sekarang ini, pasti jadi boneka. “Cuma kualitas bonekanya saja yang berbeda. Tentu ada boneka yang lebih baik barangkali, lebih berjiwa humanis, lebih peduli hukum barangkali. Tetapi substansi kan pengendalian itu tetap di pemilik modal, pemilik partai. Sehingga tidak sepenuhnya apa yang jadi keinginan rakyat bisa terwujud, tidak signifikanlah,” katanya.
Rezim Jokowi, kata Hatta, takut untuk meninggalkan kekuasaannya. Ini karena banyak masalah yang bisa berimplikasi kepadanya nanti ketika sudah tidak menjabat sebagai presiden lagi. Apalagi ada contoh Presiden Brasil Luis Inacio Lula da Silva, setelah tidak menjabat, langsung ditangkap.
Pengaruh Oligarki
Seramai apapun kontestasi calon presiden, sejatinya oligarki lah yang saat ini sedang bertarung. Ini fakta yang tidak bisa diingkari. Di balik munculnya para bakal calon presiden, pengaruh elite kekuasaan - termasuk mereka yang punya uang/kapital – sangat kuat.
Publik faham, saat ini tak mungkin para bakal calon bisa maju dengan kekuatan sendiri. Demokrasi yang sangat mahal membutuhkan dana yang besar. Perlu ada cukong di belakangnya. Beberapa kalangan menduga, oligarki di balik pemerintahan saat ini menginginkan pemerintahan ala Jokowi bisa dipertahankan. Sebab, kepentingan oligarki selama ini betul-betul dilayani.
Pengamat hukum tata negara dan politik, Refly Harun, menyebut, oligarki lebih berkuasa dibanding presiden atau pejabat lainnya. Salah satunya adalah Megawati Soekarnoputri. Menurutnya, Megawati sudah beberapa kali menunjukksn dirinya lebih memiliki kuasa dibandingkan Presiden Jokowi. Selain itu, sudah menjadi rahasia umum, para konglomerat-lah yang kini memiliki pengaruh besar di balik rezim Jokowi dan partai politik.
Tak bisa dipungkiri umat Islam masih menjadi kunci kemenangan. Pengalaman sebelumnya, para kandidat presiden selalu disandingkan dengan kandidat wakil yang dianggap mempresentasikan umat Islam. Namun, representasi itu hanya saat menjelang pemilihan. Begitu terpilih, lagi – lagi umat harus menelan ludah karena sang pujaan yang telah duduk di kursi kekuasaan tak lagi memikirkan mereka yang dulu mendukungnya.
Umat Islam digadang, Islam ditendang, begitu kiranya ungkapan yang cocok menggambarkan situasi yang terus berulang menjelang pemilu. Rezim dan partai politik hanya membutuhkan suara umat Islam, namun mereka justru nyinyir terhadap kelompok yang sedang memperjuangkan Islam agar terwujud nyata secara politik dalam pemerintahan. Bahkan, kekuatan politik Islam dilemahkan secara sistematis. Islam politik itu dibenci dan dimusuhi dengan memberikan framing-framing jahat terhadap ajaran Jihad dan Khilafah serta terhadap tokoh-tokohnya.
Umat Islam harus memiliki arah politik yang jelas. Jangan sampai masuk ke dalam lubang yang sama kedua kalinya. Saat ini keadaan negeri ini bahkan makin memburuk walaupun telah berganti-ganti pemimpin. Sebab, perubahan hakiki tidak akan terwujud hanya dengan berganti pemimpin, sementara sistem yang diterapkan masih sistem kapitalisme/liberalisme.
Ideologi kapitalisme/liberalisme yang selama ini menjadi landasan berpolitik dan kegiatan politik terbukti gagal membawa perbaikan negeri ini. Ideologi itu tak layak diteruskan dan diemban oleh para politikus dan umat Islam. Pemilu sebagai cara untuk mendapatkan dukungan dari rakyat tidak boleh digunakan untuk melanggengkan sistem sekuler, karena hal itu bertentangan dengan akidah dan Syariah Islam.
Penting adanya edukasi politik bagi umat Islam agar mereka menjadi pemilih yang rasional dan memiliki keberpihakan yang jelas untuk memperbaiki keadaan. Umat harus diingatkan bahwa setiap ucapan dan tindakan, termasuk dalam memilih partai atau orang, pasti akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT. Apa yang dipilih oleh masyarakat dalam pemilu nanti harus benar-benar Islami, yakni partai atau orang yang memang secara nyata terbukti berjuang untuk tegaknya Islam.
Oleh karena itu, menjadi penting juga keberadaan partai politik Islam yang shohih yang akan memberikan pencerahan kepada umat tentang arah politik Islam. Dalam pandangan Islam, partai politik bukan sekedar kumpulan para pemburu kursi kekuasaan. Partai politik adalah wadah perjuangan untuk menegakkan Islam dan menjaga pelaksanaan syariah Islam. Cita-citanya adalah membangkitkan kembali umat ini dengan pemikiran Islam sehingga bisa melangsungkan kehidupan Islam sebagaimana diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Kriteria pemimpin dalam Islam
Islam telah memberikan gambaran orang yang layak menjadi pemimpin. Dalam Islam kriteria umum pemimpin (kepala negara) adalah (1) Muslim; (2) Laki-laki; (3) Baligh; (4) Berakal; (5) Merdeka (bukan budak/berada dalam kekuasaan pihak lain); (6) Adil (bukan orang fasiq/ahli maksiat); (7) Mampu (punya kapasitas untuk memimpin).
Ketujuh kriteria ini disebut juga dengan syarat-syarat in’iqaad. Syarat ini disandarkan pada dalil Al-Qur’an dan as-Sunnah. Kriteria calon pemimpin (kepala negara) adalah harus adil. Artinya ia bukan orang fasiq (ahli maksiat) atau zalim. Sebabnya, kata adil sering dilawankan dengan kata fasiq atau zalim.
Diantara ciri utama orang fasiq atau zalim adalah enggan berhukum dengan hukum-hukum Allah SWT. Dasarnya adalah QS Al-Maidah[5]: 45 dan 47. Maka, meski secara personal seorang calon pemimpin tampak baik, santun, ramah, cerdas punya jiwa kepemimpinan, jika ia enggan berhukum dengan hukum-hukum Allah SWT dalam memimpin dan mengurus rakyat, atau tidak mau menerapkan syariah Islam dalam mengelola negara/pemerintahan, pada dasarnya ia terkategori zalim atau fasiq. Apalagi, sudahlah secara personal ahli maksiat, ia pun menolak syari’at. Maka, orang seperti ini tidak layak menjadi pemimpin (kepala negara).
Sebenarnya telah jelas akar persoalan negeri ini bagi kaum Muslim, yakni karerna mereka berpaling dari syariah Islam. Pertanyaannya: Maukah kita memutus akar persoalan yang telah menyengsarakan rakyat di negeri ini? Ataukah kita tetap akan terus berputar-putar dalam lingkaran setan persoalan dengan mencari solusi di luar Islam? Sekadar memilih pemimpin yang lagi-lagi enggan menerapkan Syari’ah Islam? Janganlah umat ini seperti si pandir yang kehilangan uang di tempat gelap, lalu dia mencari uang yang hilang itu di tempat terang.
Apa pun hasil di pilpres 2024 tidak akan berdampak besar terhadap arah politik umat Islam jika sistemnya tidak berubah. Apalagi indikasi calon yang muncul hanya akan menjadi petugas partai. Yang lebih cenderung membela kepentingan kelompoknya dari pada kepentingan Islam dan umat Islam.
Padahal begitu jelas Allah SWT memerintahkan umat untuk berhukum hanya dengan syariah-Nya.“Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (TQS Al-Maidah [5]: 4
Post a Comment