Tingkat Kemiskinan di Papua Menurun, Benarkah?


 Oleh: Aktif Suhartini, S.Pd.I.

Anggota Komunitas Muslimah Menulis Depok

 

Indonesia sedang sibuk menilai apakah keberhasilan atau kemunduran yang didapat rakyatnya dengan kinerja kepemimpinan saat ini. Semua itu dinilai karena dimungkinkan akan berakhir masa jabatan dan akan dimulai kembali pemilu untuk pemilihan pejabat baru. Semua pihak yang mendukung akan menilai seluruh kinerja baik-baik saja dan adanya peningkatan serta memuaskan. Tapi beda dengan tim oposisi yang akan menilai banyak kemunduran dan sangat mengecewakan hasil kinerja yang dirasakan. Itulah ciri-ciri negara yang menerapkan sistem demokrasi.

Seperti kasus Papua. Sebagaimana yang diberitakan Antara, 11 Juni 2023, Menurut Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Theofransus Litaay, dalam kurun waktu 10 tahun prioritas pembangunan Papua yang dilakukan Presiden Joko Widodo banyak membawa perubahan dan keberhasilan. Hasil pembangunan secara objektif di Papua banyak peningkatan dari aspek Indeks Pembangunan Manusia (IPM), penurunan angka kemiskinan dan meningkatnya angka harapan hidup. Namun, tingkat kemiskinan di papua menurun, benarkah. 

 Bahkan, katanya, tingkat kemiskinan di Papua mengalami penurunan signifikan. Yakni dari 28,17 persen di Maret 2010 di Papua menjadi 26,56 persen di 2022. Senada, Papua Barat juga mengalami penurunan dari 25,82 persen pada 2010 menjadi 21,33 persen di 2022. Theofransus juga menyebut angka harapan hidup mengalami kenaikan. Rinciannya untuk Papua, dari 64,31 pada 2010 menjadi 71,85 tahun pada 2022. Papua Barat juga naik dari 64,59 di 2010 menjadi 66,46 pada 2022.

Penilaian Kenaikan kinerja Kemiskinan di Papua diklaim turun berdasarkan peningkatan IPM dan menurunnya tingkat kemiskinan. Secara angka memang tampak penurunan, namun sejatinya penurunan itu harus dilihat dari kurun waktu dan prosentase keberhasilan yang diperoleh, mengingat penurunan tersebut terjadi dalam waktu 10 tahun dengan prosentase yang tidak signifikan bila dibandingkan apabila negara mengelola sendiri dari banyaknya sumber daya alam yang ada di Papua, apabila diefektifkan untuk rakyat sendiri dan bukan diserahkan untuk dikelola asing.

Tapi nyatanya menurut Kemenko PMK, Provinsi Papua Barat dan Barat Daya menjadi wilayah Ke-23 dan ke-24 yang mengalami masalah stunting serta kemiskinan ekstremnya. Dan menurut Bupati Pegunungan Arfak, Papua Barat, Yosias Saroy menyampaikan bahwa Kabupaten Pegunungan Arfak menjadi wilayah yang angka stuntingnya paling tinggi sebesar 51,5 persen.

Itulah yang terjadi di negeri yang menerapkan sistem demokrasi. Realita di lapangan tidak sesuai dengan yang diberitakan. Biasanya rezim yang sedang berkuasa akan senantiasa menutup-nutupi kegagalan dalam mengurus negeri ini agar masyarakat menganggap pemerintah sudah berhasil menciptakan negeri yang sejahtera. Tapi tetap saja, rakyat bisa melihat dan menilai kinerja rezim dan jajarannya dari fakta-fakta yang ada.

Dalam sistem demokrasi ini kesejahteraan yang didapat hanya dinikmati segelintir orang saja, sementara rakyat banyak tetap menderita. Jadi semboyan dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat itu hanyalah slogan saja. Karena yang menikmati kekayaan negeri ini hanyalah para wakil rakyat, yang berkuasa. Padahal penguasa itu harus senantiasa memperhatikan kesejahteraan rakyat, karena fungsinya sebagai pengurus rakyat dan melindungi mereka dari masalah yang menghimpit.

Kita bisa lihat, saat ini Papua tertinggal  jauh dan  perubahan berjalan lamban. Sumber Daya Alam yang ada di sana dikuasai asing, dan pembangunan di Papua pun tidak mendapatkan prioritas yang sama dengan daerah lain. Oleh karenanya dibutuhkan penguasa yang memang peduli dan sayang dengan rakyatnya bukan hanya pencitraan saja. Penguasa yang mau tunduk mengikuti aturan Islam dan mau diatur dengan sistem  yang berasal dari zat yang Maha baik, yakni Allah SWT.[]

Post a Comment

Previous Post Next Post