RUU PPRT : Menjamin Nasib PRT Perempuan Menjadi Lebih Baik?


 Oleh: Farah Sari, A. Md
(Aktivis Dakwah Islam) 

Nasib Pilu Pekerja Perempuan Indonesia
Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan pernyataan mengenai dukungannya untuk Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT). Jokowi mendesak agar pihak terkait mempercepat proses pengesahan. Selama ini, PRT merupakan salah satu kelompok pekerja yang rentan terhadap pelanggaran dan kekerasan di tempat kerja. Dilansir dari JalaStoria, Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) mencatat bahwa dalam kurun waktu 2015 hingga 2022, setidaknya terdapat sebanyak 3.255 kasus kekekerasan yang dialami oleh PRT. (Kompas.com, 25/01/23) 

Berbagai bentuk kekerasan yang dialami oleh PRT harus segera diselesaikan. Sehingga kasus serupa tidak terjadi lagi. Namun ada perkara utama yang harus dikaji, kenapa mereka memilih menjadi PRT? Meskipun sudah mengetahui resiko besar  yang akan dihadapi dari pekerjaan tersebut. Alasan yang paling kuat adalah karena faktor ekonomi dan ketidak sejahteraan. 

Seandainya mereka sudah sejahtera, kecil kemungkinan akan memilih menjadi PRT.  Maka, pokok permasalahannya adalah bagaimana negara mampu mensejahterakan rakyatnya. Rakyat mampu memenuhi kebutuhan dasar individu berupa sandang, pangan dan papan. Disamping itu negara juga menyediakan kebutuhan dasar masyarakat berupa pendidikan, kesehatan, keamanan dan lain sebagainya. Masalah kekerasan yang dialami adalah masalah cabang. Butuh sistem yang sahih (islam) sebagai solusi tuntas atas masalah pokok dan cabang tersebut.

Akankah kehadiran RUU PPRT mampu mewujudkan perlindungan, kemuliaan dan  kesejahteraan?
Dengan melakukan pengkajian pada beberapa aspek berikut akan didapatkan sebuah kesimpulan bahwa, RUU PPRT tidak akan mampu memberikan perlindungan, kemuliaan dan kesejahteraan. Penjelasannya sebagai berikut :
RUU PPRT Tidak Menyentuh Akar Masalah
RUU PPRT hanya fokus aspek perlindungan bagi PRT. Hal ini tertuang dalam Bab 2 Pasal 3. Tidak menyentuh akar masalah, yaitu faktor ekonomi dan ketidak sejahteraan yang mendorong mereka menjadi PRT. Jika RUU ini disahkan menjadi UU hanya  bisa menjadi solusi parsial. Angka kekerasan mungkin menurun. Tapi tidak mengakhiri problem utama PRT yaitu tidak sejahtera. Disamping itu menjadi PRT di wilayah lain atau negara lain membuat seorang perempuan jauh dari keluarga.  Perempuan akan sulit menjalankan tugas utama yang mulia. Sebagai ummun wa robbatul bait. Yang akan berpengaruh pada kualitas generasi di masa depan. Dan akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah Swt. Rasulullah SAW bersabda: “Seorang wanita adalah pengurus rumah tangga suaminya dan anak-anaknya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepengurusannya.” (HR Muslim)

RUU PPRT Tambal Sulam Aturan Gagal
RUU PPRT dikatakan akan melengkapi peraturan-peraturan yang sudah ada. Demi memberikan perlindungan pada PRT. Hal ini menunjukan bahwa semua aturan tersebut sudah gagal. Sebelumnya ada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women/CEDAW); Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM); Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT); Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO); Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; serta Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

Semua aturan di atas lahir dari rahim yang sama, yaitu sistem demokrasi kapitalis sekuler. Sehingga nasib RUU PPRT juga tidak akan jauh berbeda. Tidak mampu menyelesaikan masalah kesejahteraan dan kekerasan yang dialami oleh PRT. Dibutuhkan sistem alternatif yaitu sistem islam. yang menjadikan syariat Allah Swt pijakan ditetapkannya aturan kehidupan.

RUU PPRT Dalam Aspek Ekonomi
Kehadiran PRT  menjadi harapan pemerintah untuk meningkatkan partisipasi perempuan di pasar tenaga kerja yang masih sangat rendah (56%). Jika kita bisa meningkatkan partisipasi perempuan sebesar 25% pada 2025, akan ada tambahan GDP sebesar 2,9% atau senilai US$62 miliar (World Bank 2021).(mediaindonesia.com, 17/02/23). Jika PRT bisa mendapatkan hak-haknya, termasuk upah yang layak, maka akan ada peningkatan daya beli yang kemudian berujung terkereknya produk domestik bruto (PDB) sebesar 180 juta dolar AS. (republika,30/01/23).

Negara melihat perempuan sebagai sumber daya manusia untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Negara bukan melindungi perempuan, tapi memberi dukungan berupa perlindungan saat perempuan ingin berkontribusi menjadi PRT. Perlindungan ala RUU PPRT ini hanya pemanis dari maksud sebenarnya, yakni agar perempuan tetap bisa bekerja. Sehingga berkontribusi secara ekonomi bagi negara. 

Selama arah perlindungan bagi perempuan masih dalam kerangka mewujudkan visi pertumbuhan ekonomi, maka perempuan akan tetap dieksploitasi dan jauh dari kondisi sejahtera dan mulia. Jika negara ingin benar-benar melindungi perempuan harusnya negara memberikan jaminan kesejahteraan bagi perempuan. Jaminan kesejahteraan akan terwujud jika ada jaminan pemenuhan kebutuhan dasar dan kemudahan pemenuhan kebutuhan lainnya. Ini hanya mungkin terwujud dalam sistem ekonomi Islam yang terimplementasi melalui sistem politik pemerintah islam. 

Dengan penerapan syariah bisa mewujudkan jaminan bagi seluruh kebutuhan rakyat. Baik secara individu maupun kelompok. Sandang, pangan dan papan sebagai kebutuhan pokok individu dijamin oleh negara, melalui mekanisme syariah. Begitu juga kesehatan, pendidikan dan keamanan sebagai kebutuhan pokok kelompok juga dijamin oleh negara melalui mekanisme yang sama. Dengan begitu, seluruh kebutuhan pokok rakyat, baik yang terkait dengan individu maupun kelompok, semuanya dijamin oleh negara.

Rasulullah Saw bersabda: “al-Imam ra’[in] wa huwa mas’ul[un] ‘an ra’iyyatihi.” (Imam [kepala negara] laksana penggembala, hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap urusan rakyatnya). 

Jaminan kebutuhan dasar dan sekunder individu warga negara bisa diwujudkan dengan bekerja, bagi pria dewasa yang mampu. Bagi anak-anak, wanita dan orang tua, jaminan diberikan oleh pria dewasa yang mampu, dan berkewajiban untuk menanggung nafkah mereka. Jika tidak mampu, atau tidak ada keluarga yang bisa menanggungnya, maka kerabat atau tetangga dekat berkewajiban untuk membantunya. Jika tidak ada, maka negara berkewajiban untuk menanggungnya.

Jaminan di atas bisa diwujudkan, jika setiap warga negara yang mampu bekerja atau berusaha mempunyai kesempatan yang sama untuk bekerja dan berusaha. Karena itu, negara khilafah mempunyai kewajiban untuk membuka lapangan pekerjaan, dan kesempatan berusaha bagi seluruh rakyatnya. Jika ada yang mampu bekerja, tetapi tidak mempunyai modal usaha, maka bisa mengadakan kerja sama dengan sesama warga negara, baik Muslim maupun non-Muslim. Bisa  dengan mekanisme qardh (utang), hibah (pemberian cuma-cuma), maupun yang lain.

Negara menjaminan terpenuhinya kebutuhan dasar untuk kelompok, seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan bagi warga negara. Karena jaminan ini tidak bisa diwujudkan secara individu, maka negara dalam islam berkewajiban menyediakan layanan pendidikan, kesehatan dan keamanan bagi seluruh rakyatnya. Demikianlah kesempurnaan syariat islam menjamin kesejahteraan.

Post a Comment

Previous Post Next Post