RUU Kesehatan (Omnibus Law), Untuk Kepentingan Siapa?


Ir. Yuliati Eka Prapti

Latarbelakang Penyusunan RUU Kesehatan (Omnibus Law)
Bermula dari kesadaran global bahwa Pandemi memberikan pelajaran penting bahwa sistem kesehatan selama ini yang dianggap sudah baik ternyata belum cukup kuat untuk bisa menjaga kelangsungan hidup manusia untuk tetap sehat. Dari diskusi-diskusi global ini kemudian mendorong negara-negara berinisiatif untuk mereformasi sistem kesehatan di negara mereka, termasuk Indonesia. Pemerintah melalui Kemenkes dan DPR RI berinisiatif untuk menyusun RUU Kesehatan. Karena hal itu juga merupakan mandat UUD 1945 Pasal 28 H Ayat (1)  yang menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Point sentralnya adalah menciptakan Sistem Kesehatan Nasional yang kuat dengan meningkatkan kualitas layanan dan akses kesehatan bagi masyarakat. Dan negara harus hadir disana. Demikian penjelasan Menkes Budi Gunadi Sadikin kepada bisniscom (11/5/2023). Dititik inilah kemudian dibuat RUU Kesehatan yang menjadikan kewenangan Pemerintah (Kemenkes) menjadi lebih besar dari sebelumnya. 

Rancangan Undang-Undang Kesehatan (RUU Kesehatan) ditetapkan masuk dalam Program Legislasi Nasional atau Prolegnas Prioritas 2023 pada 15 Desember 2022 lalu. RUU Kesehatan ini dianggap tidak sesuai prosedur karena tidak melibatkan organisasi masyarakat saat penyusunannya.  Meskipun DPR mengklaim RUU Kesehatan ini inisiatif mereka, akan tetapi sejak Juli 2022 Kemenkes sudah mulai membahasnya bahkan bulan September sudah beredar draftnya. Bahkan Menkes menyatakan telah menyiapkan peraturan-peraturan di bawahnya, anggaran-anggarannya dan program-programnya. Sehingga disinyalir RUU Kesehatan ini adalah pesanan Pemerintah kepada DPR. 


Persoalan Kesehatan di Indonesia Dalam Pandangan Pemerintah
Untuk mewujudkan Sistem Kesehatan Nasional yang kuat menurut Menkes sistem kesehatan  harus dibenahi dari hulu hingga hilir, dari produksi tenaga kesehatannya hingga sistem pelayanannya. Banyak sekali persoalan yang harus diselesaikan diantaranya kurangnya tenaga kesehatan, mahalnya biaya pendidikan kedokteran, minimnya lembaga pendidikan kedokteran, tidak meratanya penyebaran tenaga kesehatan dokter dan fasilitas kesehatan, sistem pelayanan yang buruk, dan mahalnya biaya pengobatan. Sehingga diperlukan strategi untuk menyelesaikannya. Untuk itu Pemerintah telah menyiapkan 6 strategi transformasi, yaitu:

Pertama, transformasi layanan primer yang berfokus pada layanan promotif preventif.
Jika sebelumnya layanan primer lebih fokus pada program-program kuratif di Rumah Sakit, bergeser ke program-program promotif preventif di Puskesmas dan Posyandu. Fokusnya tidak hanya ke dokterdan dokter spesialis tetapi juga pada tenaga-tenaga kesehatan masyarakat, perawat-perawat, kader-kader Posyandu, pendidik-pendidik kesehatan, organisasi sosial dan masyarakat agar mereka memiliki kesadaran untuk hidup sehat. Indonesia sudah mempunyai basis layanan primer yang kuat  dengan 10.000 Puskesmas level Kecamatan atau Kelurahan, 85.000 Puskesmas Pembantu level Desa dan 300.000 Posyandu level dusun. Mereka inilah yang akan menjadi ujung tombak program-program promotif preventif.

Kedua, transformasi layanan rujukan, berkaitan dengan bagaimana mengelola kuantitas dan akses rumah sakit. Saat ini Rumah Sakit yang menangani penyakit-penyakit yang mematikan seperti jantung, stroke dan kanker belum merata dan masih terkonsentrasi di Jawa. Misal untuk penanganan pemasangan ring jantung dari 514 kabupaten kota hanya 44 kota yang bisa dan 70% ada di Jawa. Lantas bagaimana nasib penderita jantung di luar Jawa? Sehingga penting dilakukan pemerataan mekanisme rujukan Rumah Sakit.

Ketiga, transformasi sistem ketahanan kesehatan, meliputi obat-obatan, vaksin dan tenaga cadangan kesehatan. Belajar dari Pandemi, bahwa Indonesia masih jauh dalam pengadaan vaksin dan obat-obatan, karena itu membangun industri farmasi akan ditingkatkan.

Keempat, transformasi sistem pembiayaan kesehatan, dengan memastikan tidak terjadi kekurangan uang untuk membiayai kesehatan masyarakat baik langsung atau melalui mekanisme asuransi sosial seperti BPJS.

Kelima, transformasi SDM kesehatan, dipastikan cukup dan kualitasnya baik untuk melayani 270 juta rakyat Indonesia yang tersebar di 17.000 pulau. Minimnya dokter dan dokter spesialis di Indonesia dan sebarannya yang tidak merata menjadi persoalan yang krusial. Mahalnya pendidikan dokter dan dokter spesialis, sedikitnya jumlah Fakultas Kedokteran  yang memiliki prodi spesialis di Perguruan Tinggi, mekanisme seleksi menjadi dokter residen yang sulit menjadi penyebab sedikitnya dokter spesialis di Indonesia. Ditambah lagi sulitnya prosedur untuk mendapatkan Surat Izin Praktek (SIP) dan Surat Tanda Register (STR). Sehingga Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk mereformasi hal tersebut. Diantaranya mempermudah lulusan SMA untuk kuliah di kedokteran dengan biaya yang tidak mahal, pendidikan spesialis berbasis Rumah Sakit tidak lagi berbasis Perguruan Tinggi, memangkas biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh calon dokter untuk bisa mendapatkan SIP (Surat Izin Praktek), dan SIP ini tidak lagi dikeluarkan oleh Organisasi Profesi tetapi oleh Pemerintah.

Keenam, transformasi sistem teknologi dan bioteknologi kesehatan, agar pelayanan lebih canggih dan modern sesuai dengan perkembangan teknologi kesehatan, misal penggunaan telemedicine kedepannya akan sering dilakukan dan ini butuh undang-undang.


Pro Kontra RUU Kesehatan
Pro kontra masih terus terjadi mengiringi pembahasan RUU Kesehatan ini. Beberapa Organisasi Profesi mendukung disahkannya RUU Kesehatan ini. Menurut Sekjen PDSI (Persatuan Dokter Seluruh Indonesia) Erfen Gustiawan Suwangto ada 17 Organisasi Profesi yang mendukung disahkannya RUU Kesehatan (Omnibus Law) ini, meliputi organisasi tenaga kesehatan termasuk dokter, bidan, perawat, apoteker dan lain-lain. Sedangkan yang menolak RUU Kesehatan ini ada 5 Organisasi Profesi yaitu Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI).

Dukungan terhadap RUU Kesehatan ini karena RUU Kesehatan ini akan mengembalikan posisi Organisasi Profesi secara proporsional. Selama ini Organisasi Profesi dipandang sangat superior hingga merusak citra kedokteran di Indonesia. Praktek-praktek feodalisme, diskriminasi, senioritas, tindakan sewenang-wenang, kurangnya transparansi dan eksploitasi dokter terkait dana sudah membudaya dan terstruktur. Dan hal ini menjadi faktor kurangnya tenaga kesehatan dokter dan dokter spesialis di Indonesia, serta mahalnya biaya kesehatan di Indonesia. Maka tak heran jika banyak masyarakat Indonesia yang kaya memilih berobat ke Luar Negeri karena dianggap berkualitas dan lebih murah. Hal ini menyebabkan mengalirnya dana 161 Trilyun ke Luar Negeri. Maka dengan adanya perbaikan Sistem Kesehatan Nasional menjadi lebih berkualitas dan murah akan mencegah orang Indonesia berobat ke Luar negeri. Mudahnya prosedural Izin Praktek akan mendorong ahli-ahli kesehatan termasuk dokter-dokter spesialis yang tersebar di seluruh dunia (dokter diaspora) akan kembali ke Indonesia. Hal ini tentu akan memperkuat Sistem Kesehatan Nasional.

Sedangkan penolakan terhadap RUU Kesehatan menurut dr. Mustaqim dari HELPSharia, setidaknya terangkum dari 2  sisi. Pertama, dari sisi tenaga kesehatan, tidak ada jaminan keselamatan ketika melakukan tugas. Kedua, dari sisi masyarakat,  dirugikan karena tidak ada regulasi dokter asing.

IDI tidak menolak secara mutlak dokter-dokter asing, tetapi IDI bersama organisasi profesi yang lain menolak dokter-dokter atau tenaga kesehatan asing yang tidak kompeten. banyak dokter asing yang tidak bisa berbahasa Indonesia dan tidak menguasai kurikulum kesehatan di Indonesia. Ini penting karena ada perbedaan kurikulum kedokteran di daerah tropis dengan kurikulum kedokteran di daerah subtropis. Penyakitnya juga berbeda, mereka tidak mengenal penyakit khas tropis seperti tifus dan penyakit demam berdarah misalnya.

RUU Kesehatan ini juga akan makin melemahkan organisasi profesi karena kewenangannya mulai dikebiri. Padahal, organisasi profesi ini punya fungsi yang salah satunya quality control bagaimana dokter-dokter di Indonesia ini tetap terjamin mutunya, etiknya.


Transformasi berbasis Kapitalisasi
Polemik yang terjadi tidak lepas dari banyaknya kepentingan yang dipertaruhkan. Pemerintah, organisasi profesi, DPR, atau yang lainnya, memiliki tujuan dan kepentingan dalam RUU ini, masing-masing saling memperjuangkan kepentingannya sendiri. Sehingga mengabaikan kepentingan masyarakat yang seharusnya menjadi fokus pembahasan. Perdebatan ini memunculkan fakta bahwa Sistem Kesehatan Nasional selama ini sejak Indonesia merdeka tidak mampu menjamin setiap individu rakyat mendapat akses pelayanan kesehatan yang berkualitas. 

Alih-alih akan menjadi solusi, Transformasi Sistem Kesehatan yang dirancang Pemerintah justru akan menjadi pintu liberalisasi kesehatan. Bagaimana tidak, semua pilar transformasi tersebut membutuhkan dana yang sangat besar, yang tidak akan mampu ditopang oleh Pemerintah sendiri, yang hanya memiliki anggaran 169,8 trilyun di tahun 2023 ini. Di sinilah celah masuknya investor swasta untuk menopang terwujudnya Sistem Kesehatan Nasional yang diimpikan.  Transformasi kesehatan tidak akan terwujud dengan baik jika paradigma kapitalisme masih dipakai dalam penyusunan RUU Kesehatan ini. Selama problem mendasar, yaitu problem ideologi ini belum tuntas, maka solusi yang diberikan pun solusi parsial yang akan memunculkan masalah baru lagi.
Topik perdebatan RUU Kesehatan Omnibus Law seharusnya berfokus pada penuntasan problem serius saat ini, yakni kelalaian negara dalam menjamin kebutuhan tiap individu publik terhadap pelayanan kesehatan dan akar persoalannya. Kelalaian itu berlangsung sejalan dengan liberalisasi sistem kesehatan yang berujung pada kesengsaraan publik dan tergadainya idealisme insan kesehatan. Menjadikan harga pelayanan kesehatan terus melangit tidak mampu dijangkau oleh rakyat pada umumnya. 

Penguasa juga gagal dalam melindungi kesehatan dan keselamatan jiwa tenaga medis dan masyarakat secara umum. Hal ini tidak lepas dari cara pandang Kapitalisme yang dianut Negara ini terhadap kesehatan yang dijadikan sebagai salah satu objek komersial atau kepentingan bisnis. Keselamatan rakyat dan tenaga medis sebagai garda terdepan sistem kesehatan tidaklah menjadi prioritas utama. Meskipun ada pelayanan yang diberikan  kepada masyarakat, semata-mata untuk kepentingan korporasi. Karena penguasa dalam sistem demokrasi kapitalisme bekerja untuk kepentingan korporasi. Sementara kepentingan korporasi adalah keuntungan semata.  


Jaminan Kesehatan dalam Khilafah
Dalam perspektif Islam, penyelenggara sistem kesehatan bertumpu pada negara sebagai penjamin kebutuhan dasar masyarakat. Berikut ini konsep jaminan kesehatan dalam Khilafah.
Pertama, kesehatan adalah kebutuhan pokok pelayanan publik, sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Siapa saja yang ketika memasuki pagi hari mendapati keadaan aman kelompoknya, sehat badannya, memiliki bahan makanan untuk hari itu, maka seolah – olah dunia telah menjadi miliknya.” (HR Bukhari). Artinya, tidak boleh ada komersialisasi di bidang kesehatan dalam bentuk apa pun dan dengan cara apa pun.

Kedua, negara bertanggung jawab penuh dalam mewujudkan jaminan kesehatan setiap individu rakyat. Mulai dari aspek pembiayaan kesehatan, penyedia dan pelayanan kesehatan, penyelenggaraan pendidikan SDM kesehatan, penyedia sarana dan fasilitas kesehatan (alat kesehatan, obat-obatan, dan teknologi kesehatan), serta sarana lainnya yang penting bagi terselenggaranya pelayanan kesehatan (instalasi listrik, air bersih, transportasi, dan tata kelola infrastruktur publik lainnya yang berkaitan dengan terlaksananya sistem kesehatan).

Ketiga, pembiayaan sektor kesehatan. Semua pembiayaan di sektor ini bersumber dari pos kepemilikan negara dan kepemilikan umum, seperti barang tambang, harta ganimah, fai, kharaj, jizyah, ‘usyur, dan pengelolaan harta milik negara lainnya.

Keempat, kendali mutu sistem kesehatan. Konsep kendali mutu jaminan kesehatan Khilafah berpedoman pada tiga strategi utama, yakni administrasi yang sederhana, segera dalam pelaksanaan, dan dilaksanakan oleh individu yang kapabel.
Khilafah juga memiliki empat prinsip dalam pelayanan kesehatan. 1) Universal, artinya semua warga negara berhak mendapat layanan kesehatan. 2) Masyarakat mudah mengakses layanan kesehatan tanpa terhalangi kondisi geografis atau lokasi pelayanan kesehatan yang jauh. 3) Bebas biaya, yang berarti setiap warga berhak mendapat layanan kesehatan secara gratis tanpa dipungut biaya. 4) Pelayanan mengikuti kebutuhan medis dan selalu tersedia.

Kelima, upaya promotif dan preventif berbasis sistem. Artinya, Islam diterapkan secara keseluruhan dalam setiap aspek kehidupan. Mulai dari penerapan sistem ekonomi yang menyejahterakan, sistem pendidikan yang berbasis akidah Islam, sistem sosial yang mencegah perilaku maksiat, sistem sanksi yang tegas, dan kebiasaan yang diajarkan dalam Islam, seperti makanan sehat dan halal, tidak ada budaya konsumtif berlebihan, dll. 

Dengan demikian, akan terwujud masyarakat dengan kontrol emosi yang sehat, pola makan dan hidup sehat, lingkungan bersih, dan pergaulan yang sehat dan syar’i. Demikianlah jaminan kesehatan Khilafah yang terlaksana secara solutif dan aplikatif. Wallahu álam bi ash showwab

Post a Comment

Previous Post Next Post