Polemik Pencabutan Ijin Perguruan Tinggi Bukti Nyata Gagal Pendidikan Kapitalis

 

Penulis, Wina Apriani

Berbicara problem atau permasalahan dunia pendidikan tidak akan ada habisnya baik kurikulum yang banyak dipermasalahkan, belum lagi dari sumber daya manusia (siswa maupun guru) dari sekolah tingkat bawah, maupun sekolah tingkat tinggi juga sama saja sering terjadi persoalan yang mencoreng dunia pendidikan.

Belakangan ini kasus yang hampir dibuat kaget Kemendikbudristek mencabut izin operasional dari 23 perguruan tinggi swasta yang tersebar di berbagai daerah. Konon Pencabutan izin ini alasannya karena perguruan tinggi tersebut tidak memenuhi ketentuan standar pendidikan tinggi, juga melaksanakan pembelajaran fiktif, praktik jual beli ijazah, penyimpangan pemberian beasiswa Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K), bahkan adanya perselisihan badan penyelenggara sehingga pembelajaran tidak kondusif.

Disampaikan melalui halaman www.kompas.com. Sepeti yang disampaikan Lukman selaku Direktur Kelembagaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Diktiristek) Kemendikbudristek juga menyatakan bahwa sampai Kamis (25-5-2023), pihak Kementerian telah menerima 52 aduan masyarakat yang ditindaklanjuti dengan pemberian sanksi, mulai dari yang ringan, sedang, berat, hingga pencabutan izin operasional berdasarkan Permendikbudristek No. 7/2020. Maka pertanyaannya bagaimana nasib mahasiswa dari perguruan tinggi yang dicabut izinnya tersebut?

Sebelumnya melalui pemberitaan halaman CNN Indonesia, UPT Kemendikbudristek menyatakan akan membantu mahasiswa, dosen, dan tenaga pendidik terdampak untuk dipindahkan ke perguruan tinggi lain. Sebetulnya kasus seperti ini terus berulang terjadi apalagi  di sistem kapitalis Pendidikan. Kasus pencabutan izin perguruan tinggi ini membuktikan bahwa praktik jual beli ijazah bukanlah sekadar isu  atau ucapan belaka. Jusru Praktik terlarang tersebut terbukti nyata adanya, bahkan bisa jadi ada banyak perguruan tinggi lain yang melakukannya.

Praktik jual beli ijazah ini yang sudah berlangsung sangat jelas membuktikan kentalnya kapitalisasi pendidikan di Indonesia. Ijazah yang seharusnya merupakan pengakuan resmi bahwa seseorang telah menyelesaikan pendidikan tertentu, ternyata diperjualbelikan. Asal ada uang, ijazah bisa diperoleh. Ketika mendengat S1 yang terlintas adalah Biasanya seorang mahasiswa S 1 membutuhkan waktu sekitar empat tahun untuk menyelesaikan pendidikan. Tapi berbeda ketika membeli ijazah, ijazah sudah ada di depan mata cukup dalam waktu singkat.

Begitu mudahnya sampai tidak perlu melakukan perkuliahan selama berjam-jam, tidak perlu ujian, praktikum, membuat tugas dan laporan, menyusun skripsi, dan ujian sidang yang mengharuskan begadang. Tidak perlu pula melakukan kuliah kerja nyata (KKN) atau praktik kerja lapangan (PKL). Semua proses melelahkan tersebut dilewati begitu saja, cukup dengan berleha leha  dan menyetorkan segepok uang, dari situ sudah bisa memiliki untuk menjadi bekal mencari pekerjaan. Untuk melamar ke PT yang kebutuhan sangat tinggi, seseorang rela memenuhi dengan apapun hanya untuk kekenyangan perut semata.

Kembali lagi  Adanya praktik jual beli ijazah ini tentu terjadi karena adanya permintaan dan penawaran. Ada individu  yang bermental instan pengen cepat sehingga enggan melakukan proses pendidikan, tetapi menghendaki ijazah karena tuntutan pekerjaan. Di sisi lain, ada penawaran dari perusahaan tinggi swasta nakal yang ingin meraup cuan besar dalam waktu singkat. Permintaan dan penawaran tersebut bertemu dan jadilah bisnis jual beli ijazah ini eksis di tengah masyarakat.

Kondisi ini hanya terwujud di dalam sistem kapitalisme yang salasatunya saat ini diemban di negeri kita sekarang. Keuntungan materi menjadi tujuan hidup manusia sehingga segala cara ditempuh demi memperolehnya. Tidak peduli halal atau haram. Agama yang menjadi tolak ukur tidak digunakan sebagai petunjuk, bahkan justru dianginlalukan.

Sungguh kasus jual beli ijazah ini hendaknya menjadi bahan introspeksi semua pihak. Dan hal ini merupakan bukti ada yang salah dalam sistem pendidikan di negeri ini. Kapitalisasi pendidikan telah terjadi dengan masif, salah satu akibatnya adalah praktik jual beli ijazah. Namun, kapitalisasi pendidikan tidak hanya berdampak pada jual beli ijazah saja, melainkan juga pada makin mahalnya biaya pendidikan, bahkan di perguruan tinggi negeri sekalipun. Selain itu, hasil riset yang dilakukan perguruan tinggi juga diarahkan untuk kepentingan industri para kapitalis, bukan persoalan umat.

Dengan demikian, kapitalisasi pendidikan juga telah mencederai tujuan pendidikan kita saat ini dan mengubahnya menjadi materialistis. Tujuan kuliah hanya sekadar untuk mendapatkan pekerjaan dan sukses secara finansial, sedangkan tujuan tertinggi yang berupa mencerdaskan kehidupan bangsa dan mewujudkan insan yang bertakwa hanya berhenti sebatas ucapan belaka, yang pada akhirnya, kapitalisasi pendidikan menghasilkan lulusan berupa generasi yang serba materi (matrealisme).

Jika kita selidiki persoalan praktik jual beli ijazah dan kuliah fiktif yang berujung pencabutan izin operasional itu terjadi pada perguruan tinggi swasta. Artinya di sisi lain, perguruan tinggi yang dikelola dan diawasi secara langsung oleh negara idealnya bisa terhindar dari praktik ilegal tersebut. Sayangnya, jumlah perguruan tinggi negeri yang disediakan oleh negara ternyata tidak mencukupi kebutuhan yang ada sehingga tugas ini diambil alih oleh perguruan tinggi swasta. Namun, karena orientasi materi atau keuntungan semata dalam pengelolaan perguruan tinggi swasta, terjadilah kapitalisasi pendidikan.

Jauh berbeda sekali dengan sistem pendidikan Islam yang handal dan tinggi serta berkualitas. Dalam sistem Islam yang handal memberikan kesejahteraan berbeda jauh dengan sistem kapitalis. Kapitalisasi pendidikan terwujud dan tumbuh subur dalam sistem kapitalisme. Berbeda sebaliknya, sistem Islam akan terhindar dari hal itu, bahkan dari sisi tujuan saja sudah jauh berbeda. 

Dalam sistem pendidikan Islam  yang pertama memperdalam kepribadian Islam untuk menjadi pemimpin yang menjaga dan melayani problem utama umat, yakni sistem islam memperjuangkan penegakannya ketika belum ada; melestarikan dan mempertahankannya sebagai institusi politik yang menerapkan Islam ke tengah umat, mendakwahkan Islam ke seluruh penjuru dunia, serta menghadapi ancaman persatuan umat. Jelas demikian, profil sarjana yang dihasilkan adalah mujtahid,  pemimpin, intelektual, hakim, dan ahli hukum (fukaha) yang akan memimpin umat untuk mengimplementasikan, memelihara, dan membawa Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad.

Selain itu dalam pendidikan Islam dibahas tugas yang mampu melayani kepentingan vital umat dan membuat gambaran rencana strategis jangka pendek dan jangka panjang. Hal ini berdasarkan firman Allah Taala, “Allah sekali-kali tidak memberikan jalan kepada orang kafir untuk menguasai orang beriman.” (QS An-Nisa’ [4]: 141). Pendidikan tinggi dalam Sistem Islam pun akan terbebas dari praktik curang jual beli ijazah dan kuliah fiktif karena diselenggarakan secara gratis. Mahasiswa tidak perlu membayar satu rupiah atau dirham pun untuk bisa kuliah. Dari mana dananya? Semua pembiayaan pendidikan dalam Sistem Islam, termasuk pendidikan tinggi, dibiayai dari baitulmal, dimana sumbernya dari pos fai dan kharaj, serta pos kepemilikan umum (milkiyyah ‘aammah). Bukan hanya kuliahnya yang gratis, berbagai riset pun dibiayai oleh negara.

Untuk mewujudkan pendidikan gratis ini, negara tidak sendirian. Banyak individu rakyat yang kaya turut mendukung pembiayaan pendidikan dengan memberikan wakaf. Hasilnya adalah output pendidikan tinggi yang cerdas bertakwa dan turut memberikan sumbangsih bagi peradaban Islam, baik dengan menjadi ulama, politisi, saintis, maupun yang lainnya. Jika kita serius mewujudkan sistem Islam, gambaran pendidikan tinggi yang luar biasa ini akan dapat terwujud. Karena itu marilah kita bersama-sama mewujudkan sistem Islam di muka bumi yang memberikan kebaikan dan kesejahteraan untuk umat.

Wallahu alam bi ash shawab[]

Post a Comment

Previous Post Next Post