Perpanjangan Jabatan Pimpinan KPK, Melindungi Siapa?

Oleh : Helmi Agnya

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuai polemik. MK menyatakan masa jabatan pimpinan komisi antirasuah selama empat tahun adalah tidak konstitusional dan mengubahnya menjadi lima tahun.

Hal tersebut dibacakan Ketua MK, Anwar Usman dalam sidang putusan yang disiarkan kanal YouTube Mahkamah Konstitusi RI, Kamis (25/5/2023). Anwar sebut, Pasal 34 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang semua berbunyi, "Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama empat tahun" bertentangan dengan UUD 1945.

Saat menyampaikan pertimbangan, Hakim Konstitusi Guntur Hamzah menyatakan, ketentuan masa jabatan pimpinan KPK selama empat tahun tidak saja bersifat diskriminatif, tetapi juga tidak adil bila dibandingkan dengan komisi dan lembaga independen lainnya.

Sontak, putusan MK tersebut menuai kritik dari sejumlah pihak, salah satunya eks pimpinan KPK, Saut Situmorang. Ia mengatakan perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK justru merusak mekanisme check and balance. “Itu putusan akal-akalan aja. Kalau tujuannya adalah untuk bikin check and balance, periode yang sama pada dua lembaga saling check and balance itu, kan, menjadi pertanyaan,” kata Saut saat dihubungi Tirto pada Jumat, 26 Mei 2023.

Keputusan MK tentang perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK menuai kontroversi. Apalagi di tengah isu korupsi firli, keputusan ini makin menujukkan adanya upaya penyelamatan melalui perpanjangan masa jabatan.

Apalagi Ketetapan 4 tahun itu ternyata agar pemerintah diawasi oleh 2 periode KPK sebagai bentuk check and balance. Alasan perpanjang masa jabatan Diskriminatif karena lembaga tinggi lainnya masa kerjanya juga 5 tahun makin menguatkan ada alasan tersembunyi di balik keputusan tersebut (Tirto.com, 26/05/2023).

Dalam sistem demokrasi, jabatan atau kekuasaan seringkali tersandera kepentingan tertentu. Orang yang dipilih untuk menjadi calon pemimpin dalam sistem ini, bukan dipilih atas dasar kualitas diri, melainkan atas dasar siapa yang mayoritas suara terpilih. Maka, dialah yang akan menduduki kekuasaan, tanpa memperdulikan lagi kapasitas calon pemimpinnya.

Sebab, di dalam sistem demokrasi untuk memenangkan pemilu rela merogoh kocek yang fantastis. Tentu, ini membuka jalan bagi para sponsor untuk berkontribusi melibatkan diri. Maka setelah berhasil merebut kursi, para penguasa akan berlomba-lomba mengembalikan modal pemilu, dengan banyak cara termasuk korupsi. Uang korupsi tersebut akan digunakan kembali saat pemilu mendatang.

Maka wajar, dari rahim sistem demokrasi lahirlah para tikus-tikus berdasi. Berkuasa demi memperturut syahwat, mengejar materi sebanyak-banyaknya. Nyatanya slogan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat sejatinya dari penguasa untuk melayani para pemilik modal.

Bukan pula hal yang mengejutkan, rezim hari ini walau sudah tercium bau tikus-tikus berdasi tidak menjadi masalah menambah periode lagi asal dibalik itu ada tangan tersembunyi yang mendukungnya, pasti dimenangkan.

Hal ini sangat berbeda jauh dengan Islam, menetapkan jabatan adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Jabatan juga bukan alat untuk melindungi kejahatan atau memperkaya diri sendiri.

Fungsi kekuasaan di dalam sistem Islam, yakni khilafah adalah untuk mengurusi urusan umat. Maka Islam memiliki mekanisme komprehensif untuk mencegah penyalahgunaan jabatan atau kekuasaan. Karena jabatan atau kekuasaan dalam Islam bukan sesuatu yang diperebutkan. Bahkan, dikatakan sebagai sebuah kehinaan.

Sebab, ketika seseorang dibaiat menjadi pemimpin kaum muslimin. Sedangkan mereka tidak mampu untuk hal itu atau takut berbuat kecurangan, serta akan ada pertanggungjawaban di akhirat. Sebagaimana Rasulullah saw bersabda kepada Abu dzar ra : "Wahai Abu dzar, sungguh engkau itu lemah, sungguh jabatan atau kekuasaan itu adalah amanah." (HR.Muslim). Dalam hadits lain beliau juga menyampaikan : Sungguh amanah kekuasaan itu akan menjadi kerugian dan penyesalan pada hari kiamat" (HR.Muslim).

Benar yang disampaikan oleh beliau Saw bahwa sungguh kekuasaan itu bahkan bisa dikatakan sebagai sebuah kehinaan. Apabila seseorang menduduki jabatan jika tidak amanah, yang seharusnya jabatan tersebut untuk mengurusi umat, baik permasalahan yang dihadapinya maupun segala kebutuhan umat harus diperhatikan. Bukan malah menjadikan kekuasaan sebagai kesempatan untuk memperkaya diri hingga tujuh keturunan.

Maka, jelas ini seperti yang disampaikan oleh Rasul saw yang pada akhirnya kekuasaan itu jika tidak dijalankan dengan amanah akan menjadi kehinaan dan penyesalan kelak diakhirat. Apatahlagi, mengatasnamakan kekuasaanya untuk melayani rakyat dengan menebar janji saat mencalonkan diri, padahal sejatinya demi kepentingan pribadi.

Adapun mekanisme di dalam Islam, khilafah akan memastikan beberapa hal agar para pegawainya tak melakukan keculasan. Yakni, khilafah akan menjamin setiap pegawainya tercukupi segala kebutuhan pokok mereka secara tidak langsung dan menjamin kebutuhan dasar secara langsung.

Khilafah juga akan melakukan monitoring jumlah kekayaan pejabat, agar jika ada kelebihan harta yang tak wajar dari pejabat, khilafah akan menindak secara cepat dan tegas.

Dalam khilafah juga ada mekanisme muhasabah lil hukkam ( pengoreksian) kepada para penguasa atau pegawai negara. Aktifitas ini merupakan aktifitas wajib bagi seorang muslim, karenanya masyarakat dalam khilafah adalah masyarakat yang gemar melakukan amar makruf nahi mungkar.

Demikianlah khilafah mengatur individu, masyarakat dan negara yang memiliki kesadaran politik yang sahih. Sehingga terwujud kebaikan dari penerapan syariat Islam secara kaffah dalam naungan khilafah.

Wallahualam Bishawwab.

Post a Comment

Previous Post Next Post