Oleh: Siti Khaerunnisa |
Kementerian pendidikan, kebudayaan, riset, dan teknologi (Kemendikbudristek) mencabut izin operasional 23 perguruan tinggi dari berbagai provinsi per 25 Mei 2023. Hal ini dilakukan sebagai tindak lanjut kemendikbudristek terkait 52 aduan yang diterima dari masyarakat. Selain sanksi pencabutan izin operasional, ada juga yang diberikan sanksi ringan berupa teguran tertulis, sanksi sedang, hingga sanksi berat yaitu pencabutan izin operasional Perguruan Tinggi. Ketetapan sanksi ini merujuk kepada ketentuan permendikbudristek nomor 7 tahun 2020.
Alasan pemberian sanksi dengan pencabutan izin operasional perguruan tinggi ini disebabkan perguruan tinggi tersebut tidak memenuhi ketentuan standar perguruan tinggi. Selain itu, ditemukan perguruan tinggi tersebut melaksanakan pembelajaran fiktif, melakukan praktik jual beli ijazah, melakukan penyimpangan pemberian beasiswa Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K). Dalam kasus ini semua perguruan tinggi yang dicabut izin operasionalnya merupakan perguruan tinggi swasta (PTS) (cnnindonesia.com, 26/05/2023).
Tindakan Kemendikbudristek tersebut didukung oleh plt Direktorat Jenderal pendidikan tinggi, Prof. Nizam. Prof. Nizam menjelaskan bahwa tindakan yang diambil oleh Kemendikbudristek merupakan tindakan untuk memastikan perguruan tinggi tetap menghasilkan kompetensi lulusan yang nantinya dapat bersaing dalam dunia kerja (joss.co.id, 27/05/2023).
Pencabutan izin operasional perguruan tinggi karena banyak ditemukan praktik-praktik kecurangan menciderai tujuan dari pendidikan itu sendiri. Perguruan tinggi yang seharusnya dapat membentuk lulusan yang mempunyai kompetensi yang baik yang nantinya dapat berguna untuk masyarakat justru membiarkan tindakan-tindakan curang tersebut.
Hal ini wajar terjadi dalan kehidupan yang berlandaskan kapitalis-sekuler yang masuk dalam sistem pendidikan saat ini. Sistem pendidikan yang berlandaskan kapitalisme, hanya berorientasi pada materi yang didapatkan. Sehingga dalam pendidikan ada yang namanya konsep permintaan dan penawaran seperti halnya pada bisnis. Di mana perguruan tinggi mencari keuntungan, sedangkan mahasiswa mencari ijazah untuk memudahkan dalam mencari pekerjaan.
Sehingga pendidikan yang seharusnya mewujudkan lulusan yang mempunyai pemahaman atas keilmuan menjadi hilang. Pendidikan hanya diarahkan untuk mendapatkan keuntungan dari ekonomi semata, bukan untuk ilmu apalagi pembentukan karakter lulusan. Jadi, tidak perlu heran jika banyak terjadi praktik-praktik kecurangan seperti itu.
Keputusan pemerintah mencabut izin operasional perguruan tinggi yang bermasalah tentu harus dilakukan untuk menghindari hal-hal yang sama terjadi. Namun, penutupan sebagian besar perguruan tinggi juga akan berdampak bagi peluang generasi untuk bisa kuliah semakin berkurang dengan berkurangnya jumlah perguruan tinggi. Dapat dilihat, solusi yang diambil negara menimbulkan masalah baru lagi, karena solusi yang diberikan tidak benar-benar menyentuh akar persoalannya, sehingga sangat memungkinkan nantinya akan ada kasus serupa serta memunculkan masalah baru lagi.
Padahal sangat jelas akar permasalahan tersebut adalah diterapkannya sistem kapitalis dalam sektor pendidikan serta penerapan sekulerisme yang memisahkan aturan agama dengan aktivitas kehidupan sehari-hari. Sehingga, tindakan kecurangan ini akan tetap terjadi karena tidak adanya aturan agama yang menjadi landasan benar atau salah tindakan yang dilakukan.
Selain itu, negara yang seharusnya menjadi pengurus urusan umat malah menyerahkannya kepada pihak swasta. Dalam sistem ini, peran negara hanya sebagai regulator atau pembuat aturan saja bagi kepentingan orang-orang yang ingin mendapatkan keuntungan dalam sektor pendidikan. Dengan menjadi regulator artinya negara memberikan kemudahan dalam aturan mendirikan sekolah atau perguruan tinggi tanpa ada syarat yang berbelit. Hal ini yang menjadi celah adanya praktik curang dalam sistem pendidikan kapitalis.
Berbeda dengan sistem Islam, pendidikan dalam Islam ditetapkan sebagai kebutuhan pokok yang wajib dipenuhi negara bagi setiap rakyatnya. Semua individu dalam Islam harus dapat mengakses layanan pendidikan yang baik dan gratis dari pendidikan dasar hingga menengah. Dan jika ada yang ingin melanjutkan ke tingkat pendidikan tinggi, negara harus menyediakan fasilitas sebaik mungkin.
Semua ini terwujud karena Islam menjadikan pendidikan sebagai kebutuhan primer masyarakat. Dalam Islam, kebutuhan primer terbagi menjadi 2. Pertama, kebutuhan bagi tiap individu rakyat, yaitu tersedianya sandang, pangan, papan. Ketiganya merupakan kebutuhan dasar bagi setiap individu, sehingga negara harus memastikan kebutuhan tersebut terpenuhi bagi tiap individu Kedua, kebutuhan primer bagi rakyat secara keseluruhan adalah sandang, pangan, keamanan, kesehatan, dan pendidikan.
Untuk memenuhi segala kebutuhan primer rakyat, termasuk pendidikan, negara menetapkan seluruh pembiayaan itu berasal dari baitul maal yakni dari pos fai dan kharaj serta pos kepemilikan umum. Jika dana dari baitul maal tidak dapat menutupi pengeluaran kebutuhan biaya pendidikan, maka negara akan memotivasi kaum Muslim untuk memberikan sumbangan secara sukarela. Jika masih belum dapat mencukupi, maka kewajiban pembiayaan akan dialihkan kepada seluruh kaum Muslim yang mampu.
Adapun tujuan dalam pendidikan adalah membangun kepribadian islam dan dapat menguasai ilmu kehidupan seperti sains, teknologi dan matematika. Output pendidikan Islam akan menghasilkan peserta didik yang kukuh keimanannya dan dalam pemahaman islamnya.
Untuk mewujudkan output tersebut, negara merancang kurikulum pendidikan formal yang berlandaskan akidah Islam. Kurikulum yang berlaku hanya satu, yaitu kurikulum yang ditetapkan oleh negara. Negara juga tidak melarang adanya sekolah atau perguruan tinggi swasta selama mengikuti lebijakan negara. Dengan Sistem Pendidikan Islam, tata kelola pendidikan akan mencapai puncak kegemilangannya serta dapat menyelesaikan berbagai masalah dalam masyarakat.
Wallahu a'lam bishawab.
Post a Comment