Oleh: Siti Hajar Ramli
Aktivis
Dakwah di Depok
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang
ramai diperbincangkan. Pasalnya Mahkamah Konstitusi (MK) perpanjang masa
jabatan Ketua KPK menjadi 5 tahun yang sebelumnya 4 tahun. Kabar perpanjangan
Ketua KPK menuai banyak kritikan dan kecurigaan mulai dari para pakar hukum tata negara hingga publik. Oleh karenanya, sejumlah
Pakar Hukum Tata Negara mendesak pemerintah
segera membentuk panitia seleksi calon pimpinan KPK demi menghindari kecurigaan publik bahwa
putusan MK ada campur tangan Istana dan bernuansa politis jelang Pemilu 2024.
Menurut Ketua KPK, Firli Bahuri, perpanjangan masa jabatannya setahun ke depan bakal membawa penguatan dalam pemberantasan korupsi. Bahkan, Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti, mengaku mencium sejumlah 'keanehan' dalam putusan MK yang mengabulkan permohonan uji materi atau judicial review salah satu pimpinan KPK, Nurul Ghufron. Pasalnya, materi gugatan tersebut tidak penting dan tidak ada kaitannya dengan isu konstitusional.
Kalau merujuk pada putusan MK sebelumnya, materi gugatan yang sifatnya kebijakan hukum terbuka seperti yang diajukan Nurul Ghufron, hakim konstitusi akan menolak gugatan tersebut dan menyerahkannya pada pembuat undang-undang yakni DPR. Namun pada gugatan kali ini, menurut Bivitri sikap MK berbeda dan diadili dengan sangat cepat.
Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, sepakat dengan Bivitri. Feri mengatakan hakim MK secara tidak langsung sudah mencampuri urusan DPR dengan mengatur masa jabatan dan batas usia pimpinan KPK. Mereka menduga keputusan tersebut sangat erat kaitannya dengan nuansa politik jelang Pemilu 2024 serta tak lepas dari campur tangan kepentingan Istana.
Itulah kontroversi keputusan MK tentang perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK. Apalagi di tengah isu korupsi Firli, keputusan ini makin menujukkan adanya upaya penyelamatan melalui perpanjangan masa jabatan. Adapun alasan lain perpanjang masa jabatan diskriminatif karena lembaga tinggi lainnya masa kerjanya juga 5 tahun makin menguatkan ada alasan tersembunyi di balik keputusan tersebut.
Sudah menjadi rahasia umum dalam sistem kapitalis para pejabatnya apabila dibebankan suatu amanah selalu mengkhianati rakyatnya. Dalam sistem demokrasi, jabatan atau kekuasaan seringkali tersandera kepentingan tertentu. Perebutan kekuasaan yang cenderung alot berkepanjangan hingga terkadang melibatkan konflik internal pejabat. Saling menuding satu sama lain demi menjaga nama baik, menutupi keburukan yang mereka rampas dari rakyat.
Hal ini lumrah dalam sistem demokrasi, kursi jabatan sudah layaknya piala yang terus menerus direbutkan apalagi menjelang masa pemilihan. Padahal ketika mereka diangkat menjadi pengurus rakyat para pejabat bersumpah di atas kitab suci Al-Qur'an telah berjanji dengan bersumpah akan menjalankan amanahnya dengan baik. Allah SWT pun berfirman, "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya” (QS an-Nisa’: 58).
Kalau sudah berjanji pada rakyat untuk menunaikan amanah, maka tunaikanlah. "Tunaikanlah amanah kepada orang yang menitipkan amanah padamu” (HR Abu Daud no. 3535 dan At Tirmidzi no. 1624, hasan shahih).
Ketahuilah orang yang berkhianat terhadap amanah pun menyandang salah satu sifat munafik. Dari Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda, "Tiga tanda munafik adalah jika berkata, ia dusta; jika berjanji, ia mengingkari; dan ketika diberi amanat, maka ia ingkar” (HR Bukhari no. 33 dan Muslim no. 59).
Imam Nawawi rahimahullah berkata, Hadits ini menerangkan tanda munafik, yang memiliki sifat tersebut berarti serupa dengan munafik atau berperangai seperti kelakuan munafik. Karena yang dimaksud munafik adalah yang ia tampakkan berbeda dengan yang disembunyikan. Pengertian munafik ini terdapat pada orang yang memiliki tanda-tanda tersebut” (Syarh Muslim, 2: 47).
Ibnu Katsir ra berkata, “Menunaikan amanah yang dimaksudkan adalah umum mencakup segala yang diwajibkan pada seorang hamba, baik hak Allah atau hak sesama manusia” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 4: 124).
Bahkan jika kita menjadi seorang pemimpin, benar-benar kita harus memegang amanah karena banyak pemimpin yang hanya mengingkari janji-janjinya. Dari Abu Dzarr pula, ia berkata, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau tidak memberiku kekuasaan?” Lalu beliau memegang pundakku dengan tangannya, kemudian bersabda, “Wahai Abu Dzarr, sesungguhnya engkau adalah orang yang lemah. Kekuasaan itu adalah amanah, dan kekuasaan tersebut pada hari kiamat menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mendapatkan kekuasaan tersebut dengan haknya dan melaksanakan kewajibannya pada kekuasaannya itu” (HR Muslim no. 1825).
Sementara selagi masih dalam sistem kapitalis mustahil akan melahirkan pemimpin yang amanah dan dapat dipercaya. Islam menetapkan jabatan itu amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Jabatan juga bukan alat untuk melindungi kejahatan atau memperkaya diri sendiri.
Pemimpin Amanah dalam Sistem Islam
Untuk mencegah penyalahgunaan
jabatan dan kekuasaan, Islam memiliki mekanisme
komprehensif dan paradigma
tersendiri soal kepemimpinan dan kekuasaan yang disebut sebagai ‘khilafah’. Keduanya tegak
di atas asas akidah yang lurus, yakni keimanan kepada Allah SWT, Sang Maha Pencipta dan
Maha Pengatur, sekaligus Maha Membuat Perhitungan saat Hari Pembalasan.
Alhasil, kepemimpinan dan kekuasaan tidak lepas dari pertanggungjawaban di dunia maupun kelak di akhirat yang jauh lebih berat dan mengerikan. Maka, siapa pun yang beriman, tidak akan main-main soal kepemimpinan dan kekuasaan, apalagi menjadikannya sebagai jalan melakukan kezaliman.
Begitu pula, para pemimpin atau penguasa (khalifah) diangkat oleh umat semata untuk menjalankan hukum-hukum Allah (syariah Islam) secara keseluruhan. Islam menetapkan kedaulatan milik Allah yang berhak menetapkan hukum bukan rakyat atau manusia. Mereka akan mampu menjalankan amanah dan fungsi hakiki kepemimpinan, yakni pengurus sekaligus pelindung bagi umat dengan menerapkan hukum-hukum Allah SWT. Ini karena syariat Islam solusi bagi seluruh masalah kehidupan manusia dengan pemecahan yang sahih.
Pelaksanaan syariat Islam secara kaffah adalah jaminan terwujudnya kesejahteraan dan keberkahan. Sebaliknya, pengabaiannya terancam kesempitan dan kehinaan. Sebagaimana yang disebutkan firman Allah SWT dalam Qur’an surah Thaha ayat 124 yang artinya,“Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.”
Bahkan ada syarat-syarat in’iqad yang wajib dipenuhi ketika menjadi kepemimpinan, yakni, Muslim, balig, berakal, laki-laki, merdeka, adil, dan mampu menjalankan tugas kepemimpinan sesuai kehendak Islam serta tidak dalam tekanan ataupun bayangan pihak lain.
Maka, sejarah mencatat kegemilangan peradaban Islam selama belasan abad serta umat dan pemimpinnya sama-sama berjalan di jalan taat. Wajar jika umat Islam pun tampil sebagai umat terbaik atau khairu ummah. Jadi apa yang kita ragukan lagi terhadap sistem Islam yang langsung Allah membuat aturannya sang pemilik Alam Semesta sekaligus pencipta manusia?[]
Post a Comment