Mengutip Kemenag (22 Maret 2023) Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (Diktis) Kemenag akan kembali menggelar Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS). Even akademisi pengkajian Islam internasional ini akan berlangsung di UIN Surabaya, 2 – 5 Mei 2023.
Menurut Ahmad Zainul Hamdi yang juga akrab disapa Inung, umat Islam di seluruh dunia menghadapi tantangan baru dan kompleks dalam konteks memperkenalkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam sebagai sebuah agama dan pandangan hidup pemeluknya. Baik dalam lingkungan mikro dan makro, praktik keber-Islam-an terus diupayakan untuk diterima dan relevan dengan kebutuhan global, khususnya dalam konteks kedamaian, keharmonisan, dan kesejahteraan kehidupan manusia.
Menurut Inung, para cendekiawan dan ulama ditantang untuk menggali dan mengungkap fleksibilitas dan relevansi ajaran Islam di tengah gelombang era Masyarakat 5.0. Oleh karena itu, Al-Qur'an dan As-Sunnah perlu ditafsirkan kembali dalam pendekatan kontekstual dan relevan oleh para ahli fuqaha dan ahli hukum Islam terkait pertanyaan dan kebutuhan Islam kontemporer serta kemanusiaan universal dalam masyarakat global.
AICIS dilaksanakan sebagai wadah para pakar dan akademisi untuk diskusi intensif dengan tidak hanya berbasis pengetahuan akademik saja namun juga berangkat dari kasus-kasus di lapangan terkait dengan isu-isu fiqh dan hukum Islam. Perdebatan dalam isu-isu fiqh kekinian akan dikaji dan dipaparkan dalam konteks perkembangan umat Islam dalam menghadapi tantangan zaman.
AICIS 2023 juga memberi kesempatan untuk membuktikan kebutuhan dan perubahan fiqh dalam menghadapi perubahan masyarakat postmodern. Ini juga untuk menunjukkan bahwa semua mazhab fiqh terkemuka yang berkembang di dunia Islam saat ini perlu ditinjau kembali, ditafsirkan kembali, dan dikontekstualisasikan kembali.
Proyek moderasi beragama dinarasikan dengan sangat “epik” sebagai jalan tengah yang menyatukan dan membersamakan semua elemen dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa Indonesia hingga kanca internasional. Narasi ini memang sangat indah didengar dan secara teoritis begitu elegan, yaitu dalam beragama kita tidak boleh terlalu ekstrem, baik ke kiri ataupun kanan.
Opini moderasi beragama terus digaungkan oleh para pengusungnya ke seluruh penjuru dan menyasar semua kalangan dengan berbagai cara. Untuk menguatkan ide moderasi, para pengusungnya terus mencari argumentasi agar pendapatnya bisa diterima. Kali ini melalui agenda Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) dengan tema “mengkontekstualisasikan kembali Fiqh untuk kemanusiaan dan perdamaian yang berkelanjutan”.
Masifnya opini terkait moderasi beragama ini adalah bentuk-bentuk yang dilakukan oleh musuh-musuh islam. Selain itu, proyek moderasi beragama ini adalah cara sesat yang dilakukan oleh para penyusungnya untu menyesatkan umat muslim saat ini. Bagaimana tidak, faktanya bahwa goderasi beragama sendiri merupakan proyek global penjajah, seiring dengan agenda kampanye Amerika Serikat (AS) tentang global war on terrorism (GWOT) pasca-Tragedi 9/11 yang dikampanyekan AS untuk melawan radikalisme, ekstremisme, dan terorisme. Meski definisinya masih tidak jelas, faktanya, istilah-istilah tersebut selalu disematkan pada ajaran Islam dan umatnya yang menghendaki penerapan Islam kafah.
Proyek moderasi beragama juga bertujuan untuk menancapkan paham Islam moderat dan menjadikan kaum muslim menjadi muslim moderat. Moderasi Islam dalam pengertian ini bermakna membangun Islam yang menerima demokrasi dan kesetaraan gender. Menurut Janine A. Clark, Islam moderat adalah Islam yang menerima sistem demokrasi.
Realitasnya, moderasi beragama justru tampak menjadi alat tunggangan untuk kepentingan politik. Moderasi ini akhirnya menjadikan adanya pembelahan dan pengotak-ngotakkan tubuh umat Islam yang satu menjadi tuduhan radikalis, ekstremis, fundamentalis, tradisionalis, serta moderat yang melahirkan paham pluralisme hingga kesetaraan gender harus diakui sebagai bentuk keberagaman manusia. Bahkan, masyarakat yang sedang memperjuangkan Islam sebagai sistem kehidupan, dituduh radikal dan menjadi rival utama dari moderasi beragama yang mengajarkan paham moderat dan tidak mendukung penerapan Islam menjadi aturan kehidupan bernegara.
Pakar Fiqih KH. Shiddiq Al- Jawi menjelaskan bahwa rekontekstualisasi fiqih sudah menjadi tren sejak lama. Ada kecenderungan menundukkan pemikiran islam termasuk syariat, kepada pemikiran barat. Seperti pandangan islam tentang khilafah pun disesuaikan dengan pemikiran barat yakni sekulerisme jelasnya dalam fokus kontekstualisasi fiqih di Youtube ustadz Ismail yusanto
Beliau menambahkan, jika barat mempunyai pemikiran, bahwa agama harus dipisahkan dari pemerintahan atau politik. akibatnya dari proses penundukan terhadap peradaban barat itu menghasilkan penolakan terhadap khilafah.
Memang, para mengusung moderasi beragama telah sering kali melakukan penafsiran terhadap Alquran sesuai keinginan mereka. Sadar atau tidak, mereka menjadikan peraturan dan hukum-hukum produk barat sebagai pijakan. Padahal, semua itu berlandaskan pada sekularisme yaitu peraturan dan hukum yang memisahkan agama dari kehidupan.
Sebuah perumpamaan disampaikan oleh Abu Al Hasan Ali Al Hasan Al- Nadwi yang menjelasakan ada perbedaan yang sangat tajam antara hukum islam dan hukum barat yang berkaitan dengan realitas atau fakta. Perumpaan itu adalah hukum islam diumpamakan seperti kompas, menunjukan arah yang tetap. Sedangkan hukum barat seperti termometer mengikuti tubuh yang diukur, mengikuti kehendak manusia. Oleh karenanya, ketika hukum islam disesuaikan dengan fakta atau fakta sebagai standarnya, ini jelas tidak sesuai dengan prinsip ajaran islam sendiri.
Metode menyimpulkan hukum islam bersumber kepada Al-quran dan hadist, bukan kepada realitas empiris. Jika fakta dijadikan rujukan apalagi fakta itu dianggap secara mutlak dan absolut seperti prinsip rekontekstualisasi, maka sebenarnya yang sedang dibahas bukan bicara hukum islam, tetapi hukum barat.
Hukum islam itu hanya dijadikan sebagai kedok, maka bukan hal yang berlebihan jika dikatakan rekontekstualisasi fiqih yang diaruskan oleh pemerintah justru memiliki bahaya yang besar, sebab kaum muslimin akan menafsirkan Al-quran dan As-sunnah sesuai dengan kepentingan manusia.
Dalam menghadapi dan menyelesaikan segala permasalahan yang timbul dari perubahan dan perkembangan zaman kau muslimin memiliki metode yang khas yaitu dengan metode ijtihad. Ijtihad adalah proses menggali hukum yang baru dari nash-nash Al-quran dan As-Sunnah untuk menghukumi fakta atau kondisi yang baru ditemukan.
Ijtihad bukan mengubah hukum yang ada, kemudian disesuaikan dengan fakta seperti prinsip rekontekstualisasi. jika sudah ada penjelasan dari nash, maka tidak diperlukan lagi ijtihad. Dengan memahami Al-quran dan As-Sunnah sesuai dengan kaidah yang ditetapkan syariat inilah, kau muslimin mendapat ilmu fiqih.
Dengan kata lain fiqih adalah ilmu tentang hukum syariat yang bersifat praktis yang digali dari dalil-dalil nya yang terperinci. bukan hasil buah pikiran manusia sebagaimana pendapat filsuf atau pemikir. fiqih sudah berkembang dan dikodifikasi oleh para ulama.
Fiqih islam telah menjelma menjadi body of knowledge yang kukuh secara metodologi. Hal tersebut termasuk konsep terkait pemerintahan atau Imamah, jihad atau futuhat, konsep ad- zdar atau darrul islam, darrul kufur, darul harbi, ghanimah, fai, jizyah, kharaj dll. Inilah kekayaan khazanah fiqih kaum muslimin yang begitu luar biasa dan sekaligus menjadi alasan mengapa syariat islam selalu sesuai dengan kondisi zaman baik masa lalu yang berlangsung selama 1300 tahun lamanya dalam institusi negara khilafah, sekarang maupun yg akan datang.
Oleh Karenanya yang dibutuhkan kalau muslimin saat ini adalah ijtihad ulama dan pengamalan fiqih, bukan fiqih alternatif dan konsep rekontekstualisasi fiqih sehingga kaum muslimin dapat dapat memahami ajaran islam secara kaffah tanpa belenggu sekularisme maupun moderasi islam ala barat serta memahami betapa sempurnanya aturan islam ketika diterapkan oleh negara khilafah islam. wallahu A’lam Bissawab
Post a Comment