Miskin Ditengah Tengah Sumber Daya Alam Yang Melimpah

Oleh : Yanti Mursidah Lubis (Muslimah Peduli Umat)

Klaim pemerintahan Jokowi tentang keberhasilan menurunkan angka kemiskinan di Papua mengacu pada sejumlah data, yaitu beberapa Kabupaten/Kota telah melampaui IPM Nasional yang berada pada angka 72,29. Yakni, Kota Jayapura 80,61; Kabupaten Mimika 75,08; Kabupaten Biak Numfor 72,85; dan Kota Sorong 78,98.

Pemerintah juga mengeklaim bahwa tingkat kemiskinan di Papua mengalami penurunan signifikan, yaitu dari 28,17% pada Maret 2010 menjadi 26,56% pada 2022. Sementara itu, Papua Barat juga mengalami penurunan dari 25,82% pada 2010 menjadi 21,33% pada 2022 (CNN Indonesia, 11-6-2023).

Mengapa problem kemiskinan di Papua tidak pernah bisa terselesaikan secara tuntas

Terlebih lagi, jika mengingat potensi sumber daya alam di Papua, terjadinya kemiskinan ekstrem, stunting hingga rendahnya pembangunan sumber daya manusia harusnya tidak terjadi secara berkepanjangan. Namun, faktanya, Papua dengan segudang SDA itu seperti tidak berdaya. SDA yang dimiliki justru lebih banyak dinikmati para pengusaha kapitalis. Masyarakat Papua masih jauh dari kesejahteraan hidup.

Papua menyimpan banyak cadangan alam yang bisa menjadi sumber pendapatan bagi negara, di antaranya: (1) tambang Grasberg Tembagapura, Mimika, Papua yang mampu menghasilkan 1,37 juta pon emas; (2) komoditas hasil tembaga yang diproduksi Papua mencapai 1,34 miliar pon pada tahun 2022; (3) cadangan gas alam mencapai lebih dari 500 miliar; (4) pertambangan minyak yang potensinya sangat besar, bahkan kapasitasnya mencapai ratusan barel per hari; (5) cadangan bijih nikel yang mencapai 0,06 miliar ton (Rumah123, 6-10-2022).

Kekayaan Papua tidak lantas menjadikan penduduknya sejahtera, terapi justru dinikmati segelintir orang. Papua seperti kutukan sumber daya alam, memiliki anugerah SDA melimpah, tetapi penduduknya merana.

Kondisi ini terjadi karena penerapan sistem Ekonomi kapitalisme yang meniscayakan penguasaan segelintir individu terhadap SDA atas nama liberalisasi. Secara kasat mata, kita bisa melihat ketertinggalan Papua dibandingkan wilayah lainnya di Indonesia.

Jika orang mendengar Papua, yang tebersit dalam pikiran mereka adalah tambang emas, kelaparan, kemiskinan, gizi buruk, keterbatasan sarana dan prasarana publik, rawan konflik, dan sebagainya. Sungguh ironis, wilayah dengan keberlimpahan kekayaan alam kerap disebut sebagai daerah 3T (tertinggal, terdepan, terjauh) yang masih bergulat dengan kemiskinan.

Sejatinya, yang dibutuhkan Papua adalah kepemimpinan berbasis ideologi yang kuat, yaitu kepemimpinan dan ideologi Islam. Kepemimpinan ini tegak di atas akidah Islam.

Dengan akidah inilah para penguasa akan menempatkan diri di posisi dan tempat yang benar, yaitu sebagai pengurus rakyatnya. Dengan kepemimpinan ini pula, penguasa tidak akan berkompromi dengan kapitalis, menjadi antek asing, dan menggadaikan kekayaan alam demi kepentingan diri dan golongannya.

Dalam dekapan syariat Islam, Papua akan mendapat keadilan, kesejahteraan, dan perlindungan yang tidak hanya untuk kaum muslim, tetapi juga nonmuslim. Dengan sistem dan kepemimpinan Islam, kebutuhan dasar rakyat berupa sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan akan terpenuhi.

Post a Comment

Previous Post Next Post