Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Theofransus Litaay menyebut dalam kurun waktu 10 tahun prioritas pembangunan Papua yang dilakukan Presiden Joko Widodo "banyak membawa perubahan dan keberhasilan" di masyarakat paling Timur Indonesia itu.
"Hasil pembangunan secara objektif di Papua banyak peningkatan dari aspek Indeks Pembangunan Manusia (IPM), penurunan angka kemiskinan dan meningkatnya angka harapan hidup," ujar Tenaga Ahli Utama KSP Theofransus Litaay, Minggu (11/6), dikutip dari Antara.
Theofransus menuturkan, beberapa Kabupaten/Kota telah melampaui IPM Nasional yang berada pada angka 72,29. Yakni, Kota Jayapura 80,61, Kabupaten Mimika 75,08, Kabupaten Biak Numfor 72,85 dan Kota Sorong 78,98.
Menurutnya, IPM Papua pada 2010 mencapai 54,45 persen. Angka itu meningkat menjadi 61,39 di 2022. Senada, IPM Papua Barat pada 2010 mencapai 59,60, yang kemudian naik menjadi 65,89 pada 2022.
Sementara, tingkat kemiskinan mengalami penurunan signifikan. Yakni dari 28,17 persen di Maret 2010 di Papua menjadi 26,56 persen di 2022.
Senada, Papua Barat juga mengalami penurunan dari 25,82 persen pada 2010 menjadi 21,33 persen di 2022.
Theofransus juga menyebut angka harapan hidup mengalami kenaikan. Rinciannya untuk Papua, dari 64,31 pada 2010 menjadi 71,85 tahun pada 2022. Papua Barat juga naik dari 64,59 di 2010 menjadi 66,46 pada 2022.(Jakarta, CNN Indonesia 11/6/2023).
Penurunan angka stunting dan kemiskinan, serta peningkatan IPM di Papua dan Papua Barat memang patut diapresiasi. Namun, penurunan tersebut terjadi dalam rentang waktu sepuluh tahun, padahal sumber daya alam Papua luar biasa besar. Bisa kita katakan bahwa perkembangan tersebut terhitung lambat.
Mengapa problem kemiskinan di Papua tidak pernah bisa terselesaikan secara tuntas?
Terlebih lagi, jika mengingat potensi sumber daya alam di Papua, terjadinya kemiskinan ekstrem, stunting hingga rendahnya pembangunan sumber daya manusia harusnya tidak terjadi secara berkepanjangan. Namun, faktanya, Papua dengan segudang SDA itu seperti tidak berdaya. SDA yang dimiliki justru lebih banyak dinikmati para pengusaha kapitalis. Masyarakat Papua masih jauh dari kesejahteraan hidup.
Papua menyimpan banyak cadangan alam yang bisa menjadi sumber pendapatan bagi negara, di antaranya: (1) tambang Grasberg Tembagapura, Mimika, Papua yang mampu menghasilkan 1,37 juta pon emas; (2) komoditas hasil tembaga yang diproduksi Papua mencapai 1,34 miliar pon pada tahun 2022; (3) cadangan gas alam mencapai lebih dari 500 miliar; (4) pertambangan minyak yang potensinya sangat besar, bahkan kapasitasnya mencapai ratusan barel per hari; (5) cadangan bijih nikel yang mencapai 0,06 miliar ton (Rumah123, 6-10-2022).
Mengutip Wikipedia, potensi ekonomi di Papua juga sangat tinggi. Provinsi Papua merupakan salah satu provinsi terkaya dengan luas wilayah lebih dari tiga kali luas Pulau Jawa. Apalagi jumlah penduduknya masih sedikit, sedangkan alamnya begitu kaya dan banyak yang belum digali seperti hasil hutan, perkebunan, pertanian, perikanan, dan pertambangan. Jika Papua dikelola dengan baik, tidak akan ada penduduk miskin, anak stunting, atau IPM rendah. Akan tetapi, faktanya, kekayaan alam ini ternyata tidak mampu membawa Papua menjadi wilayah yang maju dan sejahtera.
Kondisi Papua terwakili dalam ungkapan berikut, “Setiap orang berhak untuk hidup bebas kecuali orang Papua di tanahnya sendiri.” Kekayaan Papua tidak lantas menjadikan penduduknya sejahtera, tetapi justru dinikmati segelintir orang. Papua seperti kutukan sumber daya alam, memiliki anugerah SDA melimpah, tetapi penduduknya merana.
Kondisi ini terjadi karena penerapan sistem kapitalisme yang meniscayakan penguasaan segelintir individu terhadap SDA atas nama liberalisasi. Secara kasat mata, kita bisa melihat ketertinggalan Papua dibandingkan wilayah lainnya di Indonesia.
Jika orang mendengar Papua, yang terbesit dalam pikiran mereka adalah tambang emas, kelaparan, kemiskinan, gizi buruk, keterbatasan sarana dan prasarana publik, rawan konflik, dan sebagainya. Sungguh ironis, wilayah dengan keberlimpahan kekayaan alam kerap disebut sebagai daerah 3T (tertinggal, terdepan, terjauh) yang masih bergulat dengan kemiskinan.
Sejatinya, yang dibutuhkan Papua adalah kepemimpinan berbasis ideologi yang kuat, yaitu kepemimpinan dan ideologi Islam. Kepemimpinan ini tegak di atas akidah Islam.
Dengan akidah inilah para penguasa akan menempatkan diri di posisi dan tempat yang benar, yaitu sebagai pengurus rakyatnya. Dengan kepemimpinan ini pula, penguasa tidak akan berkompromi dengan kapitalis, menjadi antek asing, dan menggadaikan kekayaan alam demi kepentingan diri dan golongannya.
Dalam dekapan syariat Islam, Papua akan mendapat keadilan, kesejahteraan, dan perlindungan yang tidak hanya untuk kaum muslim, tetapi juga nonmuslim. Dengan sistem dan kepemimpinan Islam, kebutuhan dasar rakyat berupa sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan akan terpenuhi.
Kesejahteraan di Papua akan terwujud jika pengaturan urusan rakyat dikembalikan pada Islam. Dengan kebijakan politik ekonomi Islam, kekayaan alam yang dimiliki Papua diposisikan sebagai harta milik umum. Dalam Islam, pengelolaan harta milik umum harus dikelola oleh negara agar rakyat dapat memanfaatkan hasilnya. Tidak boleh ada swastanisasi dan kapitalisasi dalam harta milik umum.
Dengan segenap kekayaan tersebut, bukan hanya Papua yang sejahtera, bahkan bisa berguna untuk menghidupi rakyat seluruh Indonesia. Ini baru SDA di Papua, belum wilayah lainnya. Papua dan penduduk Indonesia bisa sejahtera asalkan pengaturan sistem dan kepemimpinan saat ini berganti menjadi sistem Islam kaffah dengan kepemimpinan yang amanah.
Wallahu a'lam bishshawab.
Post a Comment