Kejaksaan Negeri Mukomuko, Provinsi Bengkulu, mengusut kasus dugaan korupsi penyimpangan pengelolaan keuangan di RSUD Kabupaten Mukomuko tahun anggaran 2016-2021 dengan nilai kontrak Rp 3,2 miliar.
Penyimpangan pada pengelolaan keuangan RSUD selama 6 tahun tersebut, mengakibatkan rumah sakit milik pemerintah daerah memiliki utang sebesar Rp14 miliar. Utang tersebut berpeluang terjadi kerugian negara.
Pengusutan kasus ini berawal saat pekerjaan pembangunan gedung ruang rawat inap RSUD Mukomuko pada 2019 yang dikerjakan oleh CV FB tidak tuntas.
Kepala Kejari Mukomuko Rudi Iskandar mengatakan, bangunan tersebut belum dipasangi atap dan kondisi gedung sudah miring. Menurutnya, Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga menemukan kerugian negara pada proyek tersebut. (jpnn.com)
Buntut dari kasus tersebut, diketahui sudah hampir dua minggu Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Mukomuko, mengalami kekurangan Peralatan medis habis pakai (PMHP). Dampaknya pelayanan pada pasien tidak bisa maksimal. Ruangan operasi tutup total, sehingga pasien yang ingin operasi terpaksa dirujuk atau mencari rumah sakit di luar daerah. (RADARMUKOMUKO.COM)
Bahkan mirisnya, tidak normalnya layanan di RDUD Mukomuko diduga sudah menyebabkan korban nyawa. Seorang ibu hamil asal Karya Mulya Kecamatan Pondok Suguh dikabarkan meninggal dunia saat dalam perjalanan menuju rumah sakit di Padang. Sebelumnya korban dirawat di RSUD Mukomuko.
Kades Karya Mulya, Heri Yanto juga membenarkan kejadian ini. Informasi yang ia dapat korban sedang hamil dan tiba-tiba sakit dan darah tinggi. Tapi saat di rumah sakit Mukomuko diduga tidak bisa ditangani untuk operasi, hingga diputuskan di bawa ke Padang.
"Kejadian ini cukup mengejutkan masyarakat kami, karena informasinya pasien tidak bisa dioperasi di Mukomuko, sementara kondisinya harus cepat ditangani,’’ tutupnya.
Bila melihat potret nyata kasus tersebut, lemahnya kualitas pelayanan dan fasilitas RS pemerintah makin kentara dirasakan. Begitulah fakta yang terjadi di tengah masyarakat. Mendapatkan layanan kesehatan yang mudah, murah dan terjamin itu seperti mimpi. Hal ini membuktikan cengkeraman kapitalisme hampir merata di semua bidang. Termasuk kesehatan. Tak ayal, jaminan kesehatan yang harusnya menjadi hak dasar rakyat malah rapuh digrogoti kapitalisme.
Sejatinya, fungsi rumah sakit yang disediakan negara adalah untuk melayani pasien dengan kualitas pelayanan dan fasilitas terbaik tanpa memandang strata sosial atau kedudukannya. Namun, pandangan itu bergeser pada profit oriented. Yakni membangun rumah sakit dalam rangka mengambil keuntungan untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Bukan lagi layanan optimal dan maksimal untuk rakyat.
Cara pandang kapitalisme inilah yang sesungguhnya merusak dan menggerus peran negara sebagai pengurus urusan rakyat. Negara hanya bertingkah sebagai regulator dan fasilitator para kapitalis. Dan tidak lagi melihat kebutuhan rakyat dari aspek sistem kesehatan.
Dalam Islam, kesehatan adalah kebutuhan primer bagi setiap individu muslim maupun non muslim. Negara berkewajiban memberikan layanan kesehatan secara gratis tanpa mengurangi kualitas layanannya. Negara bertanggung jawab penuh pada sistem kesehatan baik dari segi infrastrukturnya, SDM tenaga kesehatannya, maupun layanannya. Tugas ini tak boleh diabaikan sedikit pun oleh negara.
Dalilnya adalah kebijakan Nabi Muhammad saw.—dalam posisi beliau sebagai kepala negara—yang pernah mengirim dokter gratis untuk mengobati salah satu warganya, yakni Ubay bin Kaab, yang sakit. Diriwayatkan, ketika Nabi saw. mendapatkan hadiah seorang dokter dari Muqauqis, Raja Mesir, beliau menjadikan dokter itu sebagai dokter umum bagi masyarakat umum (HR Muslim).
Dalam riwayat lain disebutkan, serombongan orang dari Kabilah ‘Urainah masuk Islam. Mereka lalu jatuh sakit di Madinah. Rasulullah saw. selaku kepala negara kemudian meminta mereka untuk tinggal di penggembalaan unta zakat yang dikelola Baitulmal di dekat Quba’. Mereka diperbolehkan minum air susunya secara gratis sampai sembuh (HR Bukhari dan Muslim).
Sepanjang sejarahnya, Khilafah Islam juga membangun banyak rumah sakit yang berkualitas untuk melayani rakyat secara gratis. Rumah sakit pertama dalam peradaban Islam dibangun atas permintaan Khalifah Al-Walid (705—715 M) pada era Khilafah Bani Umayah.
Pada masa berikutnya, beragam rumah sakit di berbagai kota dibangun dengan fasilitas yang bermutu. Bahkan sebagian dilengkapi sekolah kedokteran dan perpustakaan yang lengkap. Untuk melayani warga di pedalaman, para khalifah membangun rumah sakit keliling. Ini terjadi seperti pada masa Sultan Mahmud (511—525 H).
Jaminan kesehatan dalam Islam itu memiliki empat sifat. Pertama: Universal. Artinya, tidak ada pengkelasan dan pembedaan dalam pemberian layanan kepada rakyat. Kedua: Bebas biaya alias gratis. Rakyat tidak boleh dikenai pungutan biaya untuk mendapat pelayanan kesehatan. Ketiga: Seluruh rakyat bisa mengakses layanan kesehatan dengan mudah. Keempat: Pelayanan mengikuti kebutuhan medis, bukan dibatasi oleh plafon seperti halnya JKN atau BPJS. Negara menanggung semua biaya pengobatan warganya.
Pemberian jaminan kesehatan seperti itu tentu membutuhkan dana sangat besar. Sumber dana nya bisa dipenuhi dari pemasukan negara yang telah ditentukan oleh syariat. Di antaranya yaitu hasil pengelolaan harta kekayaan umum seperti hasil hutan, berbagai macam tambang, minyak dan gas, dan sebagainya. Juga dari sumber-sumber lain seperti kharaj, jizyah, ganimah, fai, usyur, pengelolaan harta milik negara, dan sebagainya. Semua itu lebih dari cukup untuk bisa memberikan pelayanan kesehatan secara memadai, berkualitas, dan gratis untuk seluruh rakyat.
Karena itu haram membisniskan layanan kesehatan. Apalagi dilakukan oleh para pejabat negara dengan memanfaatkan jabatannya. Islam melarang keras pemimpin atau pejabat negara menipu rakyat untuk kepentingan bisnis mereka. Sebabnya, seharusnya pejabat negara menjadi pelayan rakyat, bukan malah mengeksploitasi rakyat dan fasilitas kesehatan demi keuntungan pribadi.
Syariat Islam tegas melarang para pejabat negara dan kerabatnya berbisnis ketika mereka menjadi penguasa. Khalifah Umar bin Khaththab ra. pernah merampas kambing-kambing harta perniagaan milik putranya, Abdullah, karena digembalakan di padang rumput milik Baitulmal. Hewan-hewan itu lalu dijual. Lalu sebagian hasilnya dimasukkan ke Baitulmal. Khalifah Umar menilai itu sebagai tindakan memanfaatkan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi.
Semua itu tentu merupakan tuntunan sekaligus tuntutan syariat Islam. Karena itu penerapan seluruh syariat Islam, termasuk di bidang layanan kesehatan, adalah harga mati. Tidak bisa ditawar-tawar. Hal itu hanya bisa diwujudkan di bawah sistem yang dicontohkan dan ditinggalkan oleh Nabi saw., lalu dilanjutkan oleh Khulafaurasyidin dan generasi selanjutnya. Itulah sistem Khilafah ar-Rasyidah yang mengikuti minhaj kenabian. Inilah sistem yang harus diperjuangkan sekaligus menjadi tanggung jawab oleh seluruh umat Islam. Wallahualam bish-shawaab []
Post a Comment