(Aktivis Muslimah)
Presiden Jokowi bakal memperpanjang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) PT Freeport Indonesia (PTFI) setelah 2041. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menyebut, PT Freeport Indonesia (PTFI) telah mengajukan perpanjang izin untuk berseporasi setelah 2041. Sebagai informasi, Freeport saat ini mengantongi izin usaha pertambangan khusus (IUPK) dengan perpanjangan masa operasi 2x10 tahun hingga 2041. (Kompas.com)
Arifin menjelaskan, jika smelter terintegrasi dan masih adanya cadangan, maka izin perpanjangan operasi bisa dilakukan lebih cepat meski dalam aturan dipersyaratkan perpanjangan baru akan diajukan 5 tahun sebelum berakhir. Menurutnya, hal ini menjadi bagian dari pemberian kepastian berusaha.
VP Corporate Communications PTFI Katri Krisnati mengatakan, perusahaan menyambut baik rencana pemerintah yang ingin memperpanjang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) setelah 2041.
Saat ini kedua pihak sedang bernegosiasi, salah satunya negara menambah 10 persen saham di PTFI. Sebelumnya, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengumumkan pemerintah akan memperpanjang izin PTFI dengan menambah saham kepemilikan pemerintah. Saat ini pemerintah mengempit 51,2 persen saham PTFI melalui MIND ID. (Kumparan.com)
Alasan pemerintah membuka peluang ini karena setoran Freeport ke negara akan terus bertambah. Berdasarkan data PTFI, selama 2022 penerimaan negara dari PTFI yang meliputi pajak, dividen, dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) mencapai USD 3,32 miliar atau sekitar Rp 49,5 triliun (kurs Rp 14.912 per dolar AS). Sementara di 2023 ini penerimaan negara dari PTFI diperkirakan USD 3,76 miliar atau sekitar Rp 56 triliun. (Kumparan.com)
Selain perpanjangan izin tambang PTFI, pemerintah juga memperpanjang izin ekspor konsentrat tembaga PTFI hingga Mei 2024 dari rencana sebelumnya yang akan disetop Juni 2023. Perpanjangan izin ekspor itu diberikan merespons proyek pembangunan fasilitas pemurnian smelter PTFI di Gresik, Jawa Timur yang juga molor hingga tahun depan dari target selesai Desember 2023. (Republika.co.id)
Menteri ESDM, Arifin Tasrif, menuturkan, pertimbangan pemerintah memperpanjang masa izin ekspor salah satunya karena progres pembangunan Smelter yang baru mencapai 61 persen. Perpanjangan izin itu juga telah diputuskan melalui rapat bersama Presiden Joko Widodo.
Ia mengakui perpanjangan ekspor itu menabrak aturan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 Tentang Mineral dan Batu Bara dimana pada Pasal 170A UU Minerba, ekspor produk mineral yang belum dimurnikan berlaku maksimal tiga tahun sejak undang-undang tersebut disahkan, yang artinya ekspor konsentrat tembaga dilarang mulai tahun ini.
Namun, Arifin menuturkan, pemerintah turut mempertimbangkan dampak pandemi yang berdampak pada molornya pembangunan proyek smelter Freeport.
Oleh karena itu, Menteri ESDM akan menerbitkan Peraturan Menteri sebagai jalan tengah bagi kebijakan pelaksanaan larangan ekspor seluruh mineral mentah yang berlaku serempak pada Juni 2023 tanpa harus merevisi UU Minerba. Ia menambahkan bahwa jika larangan ekspor ini berlaku Juni 2023, maka pemerintah akan berpotensi mengalami kerugian sebesar Rp 57 triliun. Besaran penerimaan negara yang hilang itu dihitung dalam bentuk pajak, deviden dan penerimaan negara bukan pajak atau PNBP. (Katadata.co.id)
Kasus ini makin menunjukan bahwa pemegang kendali negeri ini adalah korporasi. Sebagus apa pun program yang tengah dibangun, tanpa persetujuan korporasi besar hal demikian tidak akan bisa berjalan mulus. Kondisi ini pun makin menunjukan pada kita bahwa pengelolaan SDA makin liberal.
Alih-alih diurus negara, semua diserahkan kepada swasta. Jika sudah swasta, maka sudah pasti yang mendapatkan keuntungan besar adalah mereka.
Lihatlah bagaimana pemerintah malah mencari cara agar kebijakan relaksasi ekspor konsentrat tembaga PTFI tidak melanggar undang-undang.
Bukankah ini makin menunjukan bahwa negara ini bertekuk lutut dihadapan korporasi?
Artinya, peraturan memang diciptakan untuk memuluskan kepentingan korporasi bukan menyelesaikan persoalan rakyat. Kondisi ini makin mengonfirmasi bahwa undang-undang pro pemilik modal memang benar-benar terjadi.
Bayangkan, UU Minerba yang dianggap pro korporasi saja masih kurang mengakomodir kepentingan korporasi.
Bercokolnya perusahaan asing yang terus menambang di negeri ini tidak bisa dilepaskan dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme. Sistem ini membebaskan SDA dikelola siapa pun, termasuk asing. Negara korporatokrasi menjadikan penguasa dan pengusaha berkolaborasi mengeruk kekayaan alam negeri ini.
Berbeda dengan cara pandang Islam terhadap barang tambang, seperti emas dan tembaga yang merupakan kepemilikan umum sehingga tidak boleh dikuasai swasta. Pemerintah pun hanya mengelolanya kemudian hasilnya harus dikembalikan lagi kepada rakyat sebagai pemilik sahnya. Dengan pengaturan ini saja akan menghilangkan campur tangan korporasi sebab hanya negara yang bisa mengelola barang tambang.
Keberadaan perusahaan milik negara adalah benar-benar milik negara, tidak seperti BUMN hari ini yang sebagian kepemilikannya milik swasta. Perusahaan milik negara ini mengelola seluruh SDA yang melimpah dan seluruh keuntungannya diberikan kepada rakyat dalam bentuk pembangunan infrastruktur dan menjamin seluruh kebutuhan hidup mereka.
Rasulullah bersabda,
“Kaum muslim berserikat dalam tiga hal, yakni air, rumput, dan api; dan harganya adalah haram.” (HR Ibnu Majah).
Islam pun melarang swastanisasi barang tambang yang jumlahnya besar. “Wahai Rasulullah, tahukah engkau apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir.” Rasulullah saw. kemudian bersabda, “Tariklah tambang tersebut darinya.” (HR Tirmidzi)
Sejatinya kebijakan relaksasi ekspor konsentrat bagi PTFI adalah bukti bahwa negara kalah dengan korporasi. Oleh karena itu, untuk menghentikannya yaitu hanya dengan mengganti sistem ekonomi kapitalisme dengan sistem ekonomi Islam. Ini karena sistem ekonomi Islam yang diterapkan dalam Khilafah akan menjamin pengelolaan SDA benar-benar untuk kesejahteraan rakyat.
Wallahu ‘alam bish-showab.
Post a Comment