Pemerintah menganggarkan dana sebesar Rp 104,3 triliun — Rp 124,3 triliun untuk meningkatkan produk pangan domestik pada 2024 mendatang. Adapun anggaran ini naik dibandingkan tahun ini sebesar Rp 104,2 triliun.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Nathan Kacaribu, mengatakan anggaran tersebut digunakan ketahanan pangan di Tanah Air.
“Anggaran ketahanan pangan digunakan antara lain peningkatan produksi pangan domestik melalui program ketersediaan, akses dan konsumsi pangan berkualitas,” ujarnya saat konferensi pers, pekan ini.
Menurut dia, anggaran tersebut juga digunakan penguatan dukungan sarana dan prasarana penyimpanan maupun pengolahan hasil pertanian, penguatan tata kelola sistem logistik nasional dan konektivitas antar wilayah, serta penguatan cadangan pangan nasional
"Beberapa anggaran prioritas 2024 ini menjadi modal pembicaraan dengan DPR. Pendidikan, perlindungan sosial, infrastruktur, kesehatan, dan ketahanan pangan," ucapnya.
Pemerintah menyediakan anggaran kesehatan sebesar Rp 634,1 triliun — Rp 695,3 triliun.
Anggaran perlindungan sosial sebesar Rp 503,7 triliun — Rp 546,9 triliun, anggaran infrastruktur sebesar Rp 369,9 triliun — Rp 477,5 triliun, dan anggaran kesehatan sebesar Rp 187,9 triliun — Rp 200,8 triliun.
Pengaturan urusan pangan di negeri ini masih jauh dari penyelesaian tuntas. Dari waktu ke waktu, problem terus terjadi, bahkan dengan pola yang hampir sama. Dari sulitnya akses pangan oleh seluruh komponen masyarakat, hingga penderitaan dan kemiskinan produsen pangan yakni petani. Sekalipun angka kelaparan Indonesia tidak terungkap secara jelas, tetapi kesulitan akses pangan telah lama terjadi. Selama wabah Covid-19, kondisinya bertambah buruk.
Hal tersebut terbukti dari hasil survei LIPI pada 2020 lalu. Dari 2.483 responden, 23,84% mengalami rawan pangan tanpa kelaparan; 10,14% rawan pangan dan kelaparan moderat; serta 1,95% dengan ketahanan pangan dan kelaparan akut. Selain itu, 9,4 % responden tidak cukup memiliki makanan dan 26,82% menyatakan kadang kala mereka tidak mampu menyediakan pangan dengan gizi seimbang bagi keluarganya.
Ketimpangan gizi juga terjadi. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, terdapat 10,1% anak balita kurus dan 7,6% balita mengalami kegemukan. Pandemi Covid-19 makin menambah kesulitan pangan ini. Ada dugaan bahwa beban ganda persoalan gizi anak ini turut menyebabkan tingginya tingkat kematian Covid-19 pada anak-anak di Indonesia. Data Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyebut tingkat kematian anak di Indonesia karena Covid-19 mencapai 3—5%.
Besar kemungkinan tahun ini kondisinya lebih buruk dari hasil survei tersebut, seiring bertambahnya angka kemiskinan serta meningkatnya pengangguran selama pandemi. Sebagaimana kondisi ketahanan pangan secara global yang juga bertambah parah dengan angka kelaparan yang terus meningkat.
Begitu pula di sektor hulu, terliputi persoalan yang kompleks. Para produsen pangan atau petani mengalami penderitaan yang makin bertambah. Harga jual produk pertanian sering anjlok bahkan sampai tidak laku, sementara serbuan produk impor seperti tak bisa terkendali. Impor beras dan cabai yang pernah direncanakan, misalnya, justru akan dilakukan saat panen raya.
Belum lagi polemik jagung yang berdampak pada petani dan peternak kecil, rencana importasi ayam potong dari Brasil sementara produksi unggas lokal cenderung surplus, hingga impor garam dan gula yang jumlahnya dari tahun ke tahun terus meningkat.
Data BPS mencatat, selama Januari—Agustus 2021 Indonesia mengimpor lebih dari 15 juta ton bahan pokok senilai US$8,37 miliar atau setara Rp118,9 triliun.
Seandainya pemanfaatan alokasi anggaran untuk impor ini untuk membantu petani, tentu manfaatnya lebih besar bagi mereka juga negeri ini yang bercita-cita berdaulat pangan. Sayangnya, hingga saat ini ketergantungan pada impor masih sangat besar dan berakibat matinya usaha petani dan menyusutnya jumlah mereka.
Gemerlapnya Kapitalisme
Di saat belahan bumi yang lain kelaparan, masih ada negara yang mengalami surplus pangan. Negara-negara pelaku kapitalis, telah berhasil menggarong kekayaan SDA negara berkembang. Melalui perusahaan-perusahaan yang bercokol di negeri orang, mereka dapat hidup rukun, damai dan terpenuhi kebutuhannya.
Inilah konsep penjajahan gold, glory, and gospel. Para kapitalis akan mengambil kekayaan alam negara sasaran demi membuat dapur negara mereka tetap mengepul. Atas dalih kerja sama atau investasi, para penggarong itu meraup keuntungan. Bagi negara yang diambil SDA-nya, kerusakan lingkungan serta iklim yang mereka dapatkan.
Selain itu, ada juga negara Islam yang kaya karena hasil tambangnya. Rakyatnya hidup dalam gemerlap harta, Beragam fasilitas diberikan kepada penduduknya. Kehidupan yang serba cukup, bahkan berlimpah membuat negara tersebut menjadi negara terkaya di dunia. Sayangnya, di sekelilingnya berdiri negara-negara yang mengalami darurat pangan.
Sekat nasionalisme telah mampu mempengaruhi kemanusiaan untuk mengulurkan bantuan. Padahal mereka sama-sama muslim, tak sedikit pun hati mereka tergerak untuk memberikan bantuan. Mungkin kapitalisme telah berhasil mendidik mereka menjadi individualis. Sehingga mereka berfikir, masalah negara lain bukan tanggung jawabnya, meskipun kepada saudara muslim.
Ketahanan Pangan Negara dengan Sistem Islam
Masalah pangan tak terlepas dari kebijakan negara di bidang ekonomi, seperti di bidang produksi bahan pangan, distribusinya, proteksi negara terkait impor, infrastruktur negara, dan lain-lain. Semuanya tercantum dalam sistem ekonomi Islam yang memiliki prinsip bahwa negara benar-benar memegang kendali, bukan diserahkan kepada swasta.
Negara juga harus berpegang teguh pada ideologi Islam dan syariat Islam yang diambil untuk menjalankan pemerintahannya. Islam dengan ideologinya mampu menangani kebutuhan pangan negaranya dengan tuntas.
Sistem Islam tersebut berbentuk negara Khilafah, memiliki keunggulan yang tak dimiliki ideologi yang lainnya. Potensi sumber daya alam dan energi yang besar yang dimiliki negara Islam akan dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk memutar roda perekonomian dan menyejahterakan rakyatnya.
Sistem ekonomi Islam akan mewujudkan kemandirian ekonomi, melepaskan diri dari jerat utang, investasi asing, maupun perjanjian internasional yang membahayakan. Negara Islam dengan sistem ekonomi Islamnya bertekad mewujudkan swasembada pangan dan menghindari ketergantungan impor.
Dalam hubungannya dengan kebijakan pangan, negara Islam menerapkan politik pertanian dengan kebijakan meningkatkan produksi pertanian melalui intensifikasi pertanian dan ekstensifikasi pertanian.
Intensifikasi pertanian dilakukan dalam rangka penggunaan sarana produksi pertanian yang lebih baik dan membangun infrastruktur pertanian. Dalam hal ini, negara bisa membantu petani secara langsung berupa modal, benih, peralatan, teknologi, dan sebagainya. Juga membantu secara tidak langsung dengan memberikan subsidi kepada petani.
Sementara, ekstensifikasi pertanian dilakukan negara dengan menambah luasan lahan pertanian sesuai dengan konsep Islam. Dalam hal ini, negara akan menggunakan lahan sesuai kondisi dan peruntukannya. Lahan subur diprioritaskan untuk lahan pertanian. Negara juga bisa menghidupkan lahan mati atau membuka lahan baru untuk kemudian diberikan kepada rakyat yang mampu mengelolanya.
Masalah krisis pangan akan bisa diminimalisir jika negara berhasil membentuk ketahanan pangan. Hal inilah yang akan diantisipasi oleh Khilafah sedini mungkin. Ketahanan pangan diperlukan agar negara Islam bisa survive dan dapat melindungi rakyat, baik dalam kondisi damai atau keadaan perang.
Demikianlah sekilas bagaimana sistem Islam mengelola pangan negara, sehingga tidak mengalami krisis pangan atau kondisi buruk yang tidak diharapkan.
Negara Islam sangat memperhatikan kebutuhan pangan (pokok) rakyatnya sesuai dengan ajaran Islam dan sabda Rasulullah saw.qq “Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan dia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR Ahmad, Bukhari). Keseluruhannya dilaksanakan atas sandaran Al-Qur’an dan Hadis.
Post a Comment