Kerusakan Jalan Akibat Pertambangan Diperbaiki, Pastinya Akan Rusak Kembali. Negara Butuh Regulasi Yang Tegas!


Oleh: Siti Rukayah

Akses jalan Muara-Sangasanga, tepatnya di Kelurahan Dondang, Kutai Kartanegara (Kukar) mengalami kerusakan yang fatal dan akibatnya jalan tersebut dalam kondisi patah, hingga menuai kecaman dari beberapa pihak. Diduga hal tersebut terjadi karena adanya aktivitas pertambangan. Bahkan terpampang jelas lubang besar galian bekas dan sisa dari aktivitas tambang tersebut yang kini berubah menjadi danau, dikarenakan memang letak bekas galian tersebut tidak jauh dari pinggir badan jalan. Diperkirakan jaraknya kurang dari 100 meter dari jalan yang rusak tersebut.

Sebelumnya, jalan milik provinsi tersebut menghabiskan biaya dengan APBD Provinsi Kaltim 2021 sejumlah Rp 22,4  miliar, dan bahkan belum berumur genap 1 tahun setelah perbaikan. Dan mengalami kerusakan kembali pada Kamis (1/6/2023) malam, meski tanda-tanda kerusakan sudah terlihat sejak dua pekan sebelumnya. Bahkan didapati kerusakan yang kali ini terjadi, bias saja lebih parah dibandingkan sebelumnya.

Mareta Sari, Dinamisator JATAM Kaltim turut menyayangkan kondisi jalan tersebut yang merupakan sebagai akses penghubung antar kecamatan di kabupaten Kukar.

Mareta Sari yang sering disapa Meta itu menyebut bahwa aktivitas pertambangan tersebut dilakukan oleh CV PM, dengan nomor Izin Usaha Pertambangan (IUP) 540/040/IUP-OP/MB-PBAT/XII/2013. Dengan luasan konsesi seluas 248,40 hektare, dengan izin yang berakhir pada 20 Desember 2023 nanti.

”Dalam konsesi milik CV PM terdapat total 14 hektare lubang tambang yang belum direklamasi, salah satunya berjarak sangat dekat denga titik longsor yang merusak jalan umum yang digunakan oleh masyarakat.” Ujar Mareta Sari (mediakaltim.com).

Komisi III DPRD Kaltim pun juga menuturkan bahwa ia telah melakukan tinjauan lapangan di jalan rusak tersebut dan beberapa temuan. Temuan yang dimaksud tersebut akan menjadi bahan diskusi untuk dievaluasi saat agenda Rapat Dengar Pendapat (RDP) mendatang dengan mengundang OPD teknis.

Problematika yang Berulang
Berulang kali jalan tersebut mengalami kerusakan menunjukkan betapa lemahnya penguasa di hadapan para capital (pemilik modal). Jalan yang mengalami kerusakan seharusnya segera diperbaiki, karena hal tersebut menyangkut kebutuhan masyarakat. Jikalau jalan tersebut diperbaiki, namun pastinya akan mengalami kerusakan kembali jika tambang tersebut masih beroperasi. 

Namun fakta yang diperlihatkan saat ini, masyarakat dihadapkan pada berbagai problem sehingga yang seharusnya menjadi haknya, namun hal tersebut tidak terealisasikan dengan semestinya. Salah satunya adalah terkait jalan rusak yang merupakan akses penghubung dari satu daerah ke daerah lain yang pastinya akan dilalui oleh banyak orang. Namun kini dihadapkan pada akses tersebut terputus, sehingga memberikan mafsadat (kerugian) kepada masyarakat.

Ditambah lagi penyebab terjadinya kerusakan jalan tersebut adalah karena adanya aktivitas tambang yang sekiranya memang memiliki jarak yang dekat dari jalan tersebut. Dapat dipastikan bahwa ini memang merupakan dampak yang akan diterima ketika ada kekeliruan dari segi tata kelola SDAE. Apalagi pengelolaan SDAE tersebut dipindah tangankan kepada pihak asing. Pihak asing yang sekiranya hanya mementingkan materi dan memperoleh manfaat sebanyak-banyaknya tentu tidak akan memperdulikan dampak buruk yang dihadapi oleh Negara yang ia keruk sumberdayanya. Sehingga lagi-lagi masyarakat yang dirugikan.

Semestinya Negara memiliki regulasi untuk menindak tegas terhadap pihak yang menyebabkan jalan tersebut rusak. Namun keadaannya adalah, perusahaan asing yang beroperasi akan turut memberikan persenan keuntungan kepada Negara, sehingga hal itu dapat meluluhkan dan melemahkan pemerintah serta menghambat tindak tegasnya. Sehingga akan lebih memilih opsi memperbaiki jalan kembali dibandingkan memilih untuk menyelesaikan masalah yang menyebabkan hal tersebut bisa terjadi. Dan pastinya hal ini menyebabkan anggaran Negara turut bertambah.

Tata kelola SDAE dalam Islam
Di dalam Islam, tata kelola SDAE yang dihadirkan tentu dengan pertimbangan akan memberikan sebuah maslahat, baik kepada Negara maupun masyarakatnya. Syariat tidak akan menyetujui bahwa jika hal tersebut menyangkut kepemilikan umum (milkiyyah al-‘amah) dipindah tangankan menjadi kepemilikan individu. Apalagi jika individu tersebut adalah pihak asing, maka Islam melarang tegas hal tersebut. Yang sejatinya kepemilikan umum (milkiyyah al-‘amah) merupakan tugas Negara sendiri untuk mengelolanya, dan hasilnya turut dirasakan oleh umat. 

Pada zaman kepemimpinan Khalifah Umar bin Khatthab, beliau merealisasikan beberapa infrastruktur untuk kepentingan umum, seperti memperlancar aliran sungai, perbaikan jalan, pembangunan jembatan dan pastinya hal tersebut membutuhkan dana yang besar. Namun karena Negara di dalam Islam tidak hanya mencukupkan hasil dari pungutan pajak, namun juga dari hasil kelola SDAE yang dilakukan oleh Negara sendiri sehingga anggaran sangat memadai pada saat itu. 

Hal itu dapat terealisasikan karena memang dari segi pembangunan tersebut dirancang dan diperhitungkan terlebih dahulu, bahkan anggaran juga tidak bertentangan dengan syariat yakni Al-Qur’an dan Hadits, sehingga Negara terhindar dari pembangunan yang memberikan kemudharatan kepada masyarakatnya.

Post a Comment

Previous Post Next Post