Kemiskinan Adalah Sebuah Ancaman


Oleh; Naimatul-Jannah 
Aktivis Muslimah Asal Ledokombo -Jember

Kata Faqr (kemiskinan/kefakiran), menurut bahasa maknanya adalah ihtiyaj (membutuhkan). Sedangkan Faqir menurut pengertian syariah, maknanya adalah yang membutuhkan, yang keadaannya lemah dan tidak bisa dimintai apa-apa. Menurut Jabir bin Zaid "Faqir adalah orang yang tidak bisa dimintai apa-apa. Allah SWT berfirman;

 رَبِّ اِنِّيْ لِمَآ اَنْزَلْتَ اِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيْرٌ

Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan (makanan) yang Engkau turunkan kepadaku.(QS al-Qashash:24)
Maksudnya sesungguhnya aku fakir atau membutuhkan kebaikan apa pun yang yang engkau turunkan kepadaku, baik sedikit maupun banyak. Allah SWT berfirman;

وَأَطْعِمُوا۟ ٱلْبَآئِسَ ٱلْفَقِيرَ

 Dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir (QS al-Hajj:28)

Maksud kata ba`-is didalam ayat tersebut adalah tertimpa kesengsaraan dan kemelaratan. Jadi, fakir adalah orang yang menjadi lemah oleh kesengsaraan. 

Makna Faqir Dalam Ekonomi Kapitalisme


Dalam sistem ekonomi kapitalisme, kefakiran(kemiskinan) dianggap sebagai sesuatu yang relatif. Dan kapitalisme menganggap bahwa kemiskinan adalah adanya ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan akan barang dan jasa. Karena kebutuhan berkembang dan makin beragam ketika materi sebagai alat pemuasnya mengalami perkembangan, maka pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut akan mengalami perbedaan, karena adanya perbedaan masing-masing individu dan bangsa. Bangsa terbelakang memiliki kebutuhan yang terbatas pada barang-barang dan jasa yang bersifat primer. Akan tetapi, bangsa-bangsa yang maju secara kebutuhannya banyak dan tidak terbatas, yang membutuhkan barang-barang dan jasa yang lebih banyak. Oleh karena itu dalam pandangan ekonomi kapitalisme standar kemiskinan tentulah berbeda antara bangsa maju dan bangsa miskin. 

Namun anggapan kapitalisme, inilah anggapan yang salan dan keliru, sebab hanya menjadikan makna sesuatu menjadi hanya sekedar anggapan saja, bukan kenyataan. Karena masalah kemiskinan adalah masalah yang hakiki dan bisa dikenali melalui faktanya bukan anggapan yang tidak memiliki fakta.

Makna Islam Terhadap kemiskinan

Islam telah menganggap Maslah kemiskinan manusia dengan standar yang sama, di negara manapun serta kapanpun. Menurut pandangan Islam, kemiskinan adalah tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan primer secara menyeluruh, syariah Islam telah menetapkan kebutuhan primer berupa tiga hal, yaitu: sandang, pangan dan papan. Oleh karena ketika tidak terpenuhinya ketiga tersebut maka dianggap miskin. Jadi, kemiskinan dengan maknanya yang islami adalah tidak terpenuhinya alat pemuas yang bisa dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan primernya, yang bisa menjadi salah satu sebab kemunduran dan kehancuran suatu bangsa. Islam bahkan telah menjadikan kemiskinan sebagai ancaman dari syetan. Allah SWT berfirman dalam surat Al Baqarah ayat 268

اَلشَّيْطٰنُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُمْ بِالْفَحْشَاۤءِ ۚ وَاللّٰهُ يَعِدُكُمْ مَّغْفِرَةً مِّنْهُ وَفَضْلًا ۗ وَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ ۖ

Setan mengancam kalian dengan kemiskinan kepadamu dan menyuruh kamu berbuat keji (kikir), sedangkan Allah menjanjikan ampunan dan karunia-Nya kepadamu. Dan Allah Mahaluas, Maha Mengetahui.


 Data Kemiskinan Terus Meningkat

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Institute for Development of Economics and Finance (Indef) memperkirakan, jumlah orang miskin di Tanah Air akan naik pada Maret 2023. Itu dikarenakan dampak kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pada September tahun lalu. "Kenaikan harta BBM yang tetap dirasakan mulai Oktober sampai Januari 2023. Maka efeknya akan terjadi pada Maret 2023, angka kemiskinan meningkat," ujar Peneliti Indef Abdul Manap Pulungan dalam konferensi pers virtual, Selasa (7/2/2023).

Jika dilihat dari data, angka kemiskinan 2022 mirip seperti 2007, berbeda 220 ribu jiwa lebih rendah. Jumlah tersebut tidak signifikan karena pemerintah juga menggelontorkan dana yang besar untuk memberikan bantuan pada penduduk miskin. Abdul mengatakan angka anggaran perlindungan sosial dari 2013 hingga 2022 meningkat cukup tinggi. Terutama pada 2020 naik hingga 61 persen karena ada pandemi Covid-19. Sementara di 2022 naik 17,27 persen.

 Sebelumnya, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Margo Yuwono menyebutkan, angka kemiskinan nasional pada 2022 sebesar 9,50 persenan. Sementara persentase kemiskinan ekstremnya sebesar 2,04 persen.

Pemerintah menargetkan, angka kemiskinan pada 2024 mendatang turun menjadi tujuh persen. Lalu ditargetkan angka kemiskinan ekstrem pada tahun tersebut bisa menyentuh nol persen. Margo menilai, akan sulit mencapai target itu. "Melihat tren data, sulit capai target, namun demikian perlu ada perbaikan sistematik tata kelola kemiskinan, termasuk tata kelola data," ujarnya dalam Launching Reformasi Birokrasi BPS Tahun 2023 dan Hasil Long Form Sensus Penduduk 2020 di Menara Danareksa, Jakarta, Senin (30/1/2022).



Islam: Solusi Kemiskinan Ekstrem

Dalam pandangan sistem ekonomi Islam, munculnya kemiskinan adalah dampak dari buruknya distribusi kekayaan di tengah masyarakat. Kesejahteraan rakyat dapat terwujud dengan penerapan sistem Islam yang sahih dan keberadaan negara yang menjalankan sistem tersebut. Islam memiliki cara yang khas dalam menyelesaikan masalah kemiskinan. Syariat Islam memiliki banyak hukum yang berkaitan dengan pemecahan masalah kemiskinan, baik kemiskinan alamiah, kultural, maupun struktural. Namun, hukum-hukum itu tidak berdiri sendiri, tetapi memiliki hubungan sinergis dengan hukum-hukum lainnya. Jadi, dalam menyelesaikan setiap masalah, termasuk kemiskinan, Islam menggunakan pendekatan yang bersifat terpadu. Solusi Islam untuk menyelesaikan masalah kemiskinan adalah sebagai berikut:

Islam memberikan jaminan atas pemenuhan kebutuhan pokok dengan menjadikan negara sebagai penjamin pemenuhan kebutuhan pokok tersebut. Selain kebutuhan pokok individu, negara pun menjamin pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat, yakni  kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Jaminan pemenuhan kebutuhan pokok dalam Islam diwujudkan dalam mekanisme sebagai berikut:

 

a) Mewajibkan Laki-laki Memberi Nafkah kepada Diri dan Keluarganya
Islam mewajibkan laki-laki yang mampu untuk bekerja mencari nafkah dalam rangka memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya. Allah SWT berfirman, “Maka berjalanlah ke segala penjuru, serta makanlah sebagian dari rezeki-Nya.” (TQS. al-Mulk [67]: 15).

Dari Abu Hurairah, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Salah seorang di antara kalian pergi pagi-pagi mengumpulkan kayu bakar, lalu memikulnya dan berbuat baik dengannya (menjualnya), sehingga dia tidak lagi memerlukan pemberian manusia, maka itu baik baginya daripada dia mengemis pada seseorang yang mungkin memberinya atau menolaknya.” (HR. Bukhari)

Ayat dan hadis di atas menunjukkan adanya kewajiban bagi laki-laki untuk bekerja mencari nafkah. Bagi para suami, syara juga mewajibkan mereka untuk memberi nafkah kepada anak dan istrinya sebagaimana yang disebutkan dalam surat al-Baqarah ayat 233 dan surat ath-Thalaq ayat 6 di atas. Jadi jelas, kepada setiap laki-laki yang mampu bekerja, pertama kali Islam mewajibkan untuk berusaha sendiri dalam rangka memenuhi kebutuhannya dan keluarganya. Adapun terhadap wanita, Islam tidak mewajibkan mereka untuk bekerja, tetapi Islam mewajibkan pemberian nafkah kepada mereka.

 

b) Mewajibkan Kerabat Dekat untuk Membantu Saudaranya
Realitas menunjukkan bahwa tidak semua laki-laki punya kemampuan untuk bekerja mencari nafkah. Mereka kadang ada yang cacat mental atau fisik, sakit-sakitan, usianya sudah lanjut, dan lain-lain. Semua ini termasuk ke dalam orang-orang yang tidak mampu bekerja. Dalam kasus semacam ini, Islam mewajibkan kepada kerabat dekat yang memiliki hubungan darah untuk membantu mereka. Allah SWT berfirman, “Kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada pada ibu dengan cara yang makruf. Seseorang tidak dibebani selain menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya, dan seorang ayah karena anaknya. Waris pun berkewajiban demikian…” (TQS. al-Baqarah [2]: 233).

Maksud dari ayat di atas adalah seorang waris berkewajiban sama seperti seorang ayah dari segi nafkah. Yang dimaksud waris di sini bukan berarti orang yang secara langsung bisa mewarisi, melainkan yang dimaksud adalah siapa saja yang berhak mendapatkan waris. Jadi, jika seseorang secara pribadi tidak mampu memenuhi kebutuhannya karena alasan-alasan di atas, maka kewajiban memenuhi nafkah beralih ke kerabat dekatnya yang memiliki kelebihan harta. Orang yang tidak memiliki kelebihan harta tidak wajib baginya memberi nafkah. Sebab, memberi nafkah tidak wajib kecuali atas orang yang mampu memberinya.

 c) Mewajibkan Negara untuk Membantu Rakyat Miskin

Dalam kondisi seseorang yang tidak mampu tidak memiliki kerabat atau dia memiliki kerabat  tetapi hidupnya pas-pasan, kewajiban memberi nafkah beralih ke Baitul Mal (kas negara). Negara melalui Baitul Mal berkewajiban untuk memenuhi kebutuhannya. Rasulullah saw. pernah bersabda, “Siapa saja yang meninggalkan harta, maka harta itu untuk ahli warisnya, dan siapa saja yang meninggalkan ‘kalla’, maka dia menjadi kewajiban kami.” (HR. Imam Muslim). Yang dimaksud kalla adalah orang yang lemah, tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai orang tua.

Anggaran yang digunakan negara untuk membantu individu yang tidak mampu, pertama-tama diambilkan dari kas zakat. Allah SWT berfirman, “Sedekah (zakat) itu hanya diperuntukkan bagi para fakir miskin…” (TQS. at-Taubah [9]: 60). Apabila harta zakat tidak mencukupi, maka negara wajib mencarinya dari kas lain dari Baitul Mal.

 

d) Mewajibkan Kaum Muslim untuk Membantu Rakyat Miskin
Apabila di dalam Baitul Mal tidak ada harta sama sekali, maka kewajiban menafkahi orang miskin beralih ke kaum muslim secara kolektif. Allah SWT berfirman, “Di dalam harta mereka, terdapat hak bagi orang miskin yang meminta-minta yang tidak mendapatkan bagian.” (TQS. adz-Dzariyat [51]: 19).

Rasulullah saw. juga bersabda, “Siapa saja yang menjadi penduduk suatu daerah, lalu di antara mereka terdapat seseorang yang kelaparan, maka perlindungan Allah Tabaraka Wa Ta’ala terlepas dari mereka.” (HR. Ahmad)

“Tidaklah beriman kepada-Ku, siapa saja yang tidur kekenyangan, sedangkan tetangganya kelaparan, sementara dia mengetahuinya.” (HR. Bazzar)

Secara teknis, hal ini dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, kaum muslim secara individu membantu orang-orang yang miskin. Kedua, negara mewajibkan dharibah (pajak) kepada orang-orang kaya hingga mencukupi kebutuhan untuk membantu orang miskin. Jika dalam jangka waktu tertentu pajak tersebut tidak diperlukan lagi, maka pemungutannya oleh negara harus dihentikan.

 

Pengaturan Kepemilikan
Pengaturan kepemilikan memiliki hubungan yang sangat erat dengan masalah kemiskinan dan upaya untuk mengatasinya. Syariat Islam telah mengatur masalah kepemilikan ini sedemikian rupa sehingga dapat mencegah munculnya masalah kemiskinan. Bahkan, pengaturan kepemilikan dalam Islam memungkinkan masalah kemiskinan dapat diatasi dengan sangat mudah. Pengaturan kepemilikan yang dimaksud mencakup tiga aspek, yaitu jenis-jenis kepemilikan, pengelolaan kepemilikan, dan pendistribusian kekayaan di tengah-tengah masyarakat.


 Jenis-jenis Kepemilikan


Syariat Islam mendefinisikan kepemilikan sebagai izin dari asy-Syari’ (Pembuat Hukum) untuk memanfaatkan suatu zat atau benda. Terdapat tiga macam kepemilikan dalam Islam, yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara


 Khatimah

Islam sebagai sebuah ideologi yang sahih memiliki cara-cara yang lengkap untuk mengatasi berbagai problem manusia, termasuk problem kemiskinan. Dari pembahasan ini, tampak bagaimana keandalan Islam dalam mengatasi problem kemiskinan. Dengan demikian, persoalan kemiskinan, termasuk kemiskinan ekstrem akan bisa terselesaikan jika Islam diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan. Apabila saat ini kita menyaksikan banyak kemiskinan yang justru melanda umat Islam, hal itu disebabkan mereka tidak hidup dalam naungan Islam. Allah SWT berfirman, “Barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka baginya penghidupan yang sempit dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (TQS. Thahaa [20]: 124).

Wallahu a’lam bishshawwab.[]

Post a Comment

Previous Post Next Post