Oleh: Annisa |
Anak adalah anugrah terbesar yang diamanahkan Pencipta kepada tiap pasangan. Kedatangannya dinanti-nanti, suara dan tingkah lakunya selalu menghiasi hati. Ketika makhluk mungil itu bersedih, sakit dan terluka tentu akan dirasakan oleh orang tuanya. Orang tua akan selalu menjadi garda terdepan untuk membelanya, terlebih lagi ketika ia menjadi salah satu korban pemuas seks. Hati orang tua mana yang tidak teriris melihat anaknya direnggut kesuciannya? Bahkan, tidak ada kata belas kasihan bagi korban, saat pelaku sudah menjelma menjadi iblis membunuh pun tak segan. Na’uudzubillaahi mindzaalik
Seperti kasus seorang siswi SMK di Cianjur, Jawa Barat, yang meregang nyawa di tangan mantan pacarnya dan ditemukan meninggal di sungai karena dibunuh menggunakan senapan angin. Pelaku menembaknya dua kali di kepala. Aksi pembunuhan itu dilakukan karena pelaku tidak mau bertanggung jawab atas kehamilan dari korban.
Kasus sebelumnya belum usai, kini muncul kasus baru yaitu pemerkosaan anak oleh 11 pria di Sulteng. Pemerhati anak dan pendidikan, Retno Listyarti, meminta kepolisian menelusuri dugaan prostitusi anak dalam kasus yang menimpa gadis berusia 15 tahun di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah. Pasalnya, para pelaku melancarkan aksinya dengan cara mengiming-imingi korban mendapatkan pekerjaan dan uang. Hingga Selasa (30/05) Polda Sulawesi Tengah telah menahan lima tersangka dari 11 terduga pelaku dan memeriksa sejumlah saksi. Meski demikian hasil penyelidikan belum mengungkap motif para pelaku.
Kejadian ini membuat korban trauma berat hingga alat reproduksinya terancam diangkat. Salma Masri sebagai pendamping korban mengatakan "kondisi kesehatan anak terus memburuk lantaran alat reproduksinya mengalami infeksi akut dan rahimnya terancam diangkat."(BBC.indonesia, 31/05/2023).
Mirisnya lagi, dari hasil penyidikan 11 orang pelaku pemerkosaan, ternyata beberapa pelaku di antaranya merupakan sosok yang seharusnya mengayomi masyarakat, tetapi justru bertindak biadab. Salah satu pelaku (HST) adalah anggota Brimob dan menduduki jabatan perwira polisi. Pelaku lainnya adalah HR, seorang kepala desa; dan ARH, seorang ASN guru.
Sungguh sangat tragis sekaligus menunjukkan darurat kekerasan seksual yang sudah sangat parah di Indonesia. Padahal sudah terdapat beberapa regulasi, termasuk UU Perlindungan Anak yang telah direvisi hingga dua kali. Nyatanya, regulasi-regulasi tersebut tidak mampu melawan kekerasan seksual terhadap anak, akhirnya para pemuja nafsu bebas melakukan aksinya. Namun, alih-alih akan mengahiri perbuatannya setelah terciduk mereka justru dilindungi, jangankan menjatuhi hukuman proses peradilan saja tidak berjalan.
Fakta ini sejatinya sudah menjadi fenomena gunung es dan menambah daftar panjang kasus kekerasan seksual yang terjadi di tengah masyarakat. Terlebih lagi kasus pemerkosaan ini dilakukan oleh aparat dan aparatur negara yang dipandang tinggi, terididik, dan mampu mengayomi masyarakat. Namun, bukannya memberi contoh yang baik, mereka malah merusak citra negara.
Sebetulnya, banyak deretan kasus pemerkosaan yang terjadi. Namun dikesampingkan dan dianggap remeh, salah satu contohnya adalah anggapan dari Agus Nugroho, Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah atau Kapolda Sulteng, dalam konferensi pers 31 Mei 2023 memilih diksi persetubuhan anak di bawah umur dibanding pemerkosaan terkait kasus pemerkosaan terhadap anak 15 tahun di Parigi Moutong (Parimo). Agus beralasan tidak ada unsur kekerasan maupun ancaman dalam kasus tersebut. "Dalam perkara ini tidak ada unsur kekerasan, ancaman, ataupun ancaman kekerasan termasuk juga pengancaman terhadap korban," kata Irjen Agus. (nasional.tempo, 04/06/2023).
Padaha jelas-jelas tindakan tersebut adalah pelecehan dengan unsur kekerasan. Tidak mungkin korban yang masih berusia 15 tahun mau disetubuhi oleh 11 orang jika tanpa dipaksa dan diancam hingga korban mengalami trauma dan kerusakan alat reproduksinya. Sekali lagi, hati orang tua mana yang tidak teriris ketika anaknya menjadi korban pemuja nafsu laki-laki dan kasusnya dipandang sebelah mata?
Kejahatan keji ini jelas akan terus menerus terjadi karena sistem Sekularisme Kapitalisme dijadikan sebagai asas kehidupan. Akibatnya kesenangan dunia menjadi tujuan utama mereka hidup. Bahkan, dengan menghalalkan segala macam cara, tidak peduli apakah itu akan mendatangkan kesengsaraan dan murka pencipta, karena mereka hanya mengejar kenikmatan semata. Kebijakan di bidang pendidikan pun kental dengan paham sekuler yang cenderung melemahkan pertahanan agama sebagai pondasi kepribadian, termasuk menjadi asas bagi sikap dan perbuatan seseorang. Alhasil, tidak ada yang bisa diharapkan akan menjadi solusi atas masalah kekerasan seksual kapan pun, dan di mana pun.
Islam sebagai agama yang sempurna yang diturunkan untuk umat manusia tentunya memiliki solusi atas persoalan ini. Sistem Pendidikan dalam Islam akan mencetak pribadi bertakwa yang tidak mudah bermaksiat kepada Allah. Disamping itu, penerapan sistem pergaulan dalam Islam, akan menjadikan pergaulan laki-laki dan perempuan lebih terjaga karena terpisah satu sama lain kecuali ada keperluan yang dibenarkan syariat. Tidak akan terjadi interaksi khusus antara laki-laki dan perempuan nonmahram selain dalam ikatan pernikahan. Praktik prostitusi akan dihilangkan sehingga tidak ada istilah “prostitusi legal”. Media massa akan dikondisikan untuk menyediakan konten-konten edukatif dan mencegah adanya konten-konten pornografi-pornoaksi. Sehingga, tidak ada rangsangan yang dapat mendorong untuk terjadinya kekerasan seksual.
Penerapan sistem ekonomi Islam akan memastikan terpenuhinya kebutuhan pokok warga negara. Sehingga, tidak ada alasan untuk melakukan praktik perzinaan karena alasan kesulitan perekonomian. Adapun perempuan, Islam telah menempatkannya sebagai pihak yang dinafkahi sehingga tidak perlu pontang-panting mencari pekerjaan demi menghidupi dirinya sendiri hingga menempatkannya pada bahaya. Pelaksanaan semua sistem tersebut akan mencegah terjadinya kekerasan seksual, termasuk terhadap anak.
Jika terjadi kasus, negara akan memberikan sanksi tegas yang akan menimbulkan efek jera. Jika pelecehan seksual yang terjadi sampai terkategori zina, hukumannya adalah 100 kali dera bagi pelaku yang belum menikah dan hukuman rajam bagi pelaku yang sudah menikah.
Adapun jika terjadi pemerkosaan, tindakan ini terhitung telah melakukan perzinaan dan pemaksanaan. Imam Ibnu Abdil Barr dalam kitab Al-Istidzkar menyatakan, “Sesungguhnya, hakim atau qhadi dapat menjatuhkan hukuman kepada pemerkosa dan menetapkan takzir kepadanya dengan suatu hukuman atau sanksi yang dapat membuat jera untuknya dan orang-orang yang semisalnya.”
Hukuman takzir ini dilakukan sebelum penerapan sanksi rajam. Adapun ragam takzir dijelaskan dalam kitab Nizhamul Uqubat, yaitu bahwa ada 15 macam takzir, di antaranya adalah dera dan pengasingan.
Demikianlah, hanya dengan penerapan Islam kafah dalam wadah Khilafah, kekerasan seksual terhadap anak bisa tercegah dan tersolusi hingga ke akarnya.
Wallahu a’lam.
Post a Comment