Kasus Pelecehan di Parimo, Cermin Busuknya Sistem Sekuler


Oleh Nining Sarimanah

Sungguh miris, seorang remaja berinisial R berusia 15 tahun menjadi korban pelecehan oleh 11 orang pria di tempat dan waktu yang berbeda di Kabupaten Parigi Moutong (Parimo), Sulawesi Tengah. Kejadian tersebut terjadi pada tahun lalu, bermula saat korban menjadi relawan korban banjir di Parimo. Para pelaku berkenalan dengan korban dan salah satu dari pelaku bernama Arif yang berprofesi guru telah menipu korban dengan diimingi tawaran pekerjaan.

Korban tidak pulang ke rumah setelah membagikan bantuan korban banjir. Kemudian, di salah satu penginapan di Parimo, ia menginap dan mulai saat itulah, satu per satu para pelaku yang berjumlah 11 orang melancarkan aksi bejatnya dengan berbagai imbalan. Bahkan para pelaku membarter korban dengan sabu dan mengancamnya dengan senjata tajam.

Pada Januari 2023, kasus tersebut terkuak saat korban mengeluh sakit di bagian kemaluan dan menceritakan kepada orang tuanya. Kemudian, korban dirujuk untuk menjalani operasi tumor rahim di rumah sakit di Kota Palu. Mirisnya, dari hasil penyelidikan kepolisian di antara pelaku merupakan aparat anggota Brimob dan menduduki jabatan perwira polisi yang berinisial (HST). Pelaku lainnya adalah ARH, seorang ASN guru dan  HR, seorang kepala desa. (News.detik.com, 31/5/2023)

Darurat Kekerasan Seksual  

Selama 2023, kasus Parimo merupakan kasus kekerasan seksual pada anak terberat. Tersebab, banyaknya pelaku pelecehan dan dampaknya terhadap korban. Korban mengalami infeksi akut di bagian alat reproduksinya hingga harus menjalani operasi tumor rahim. Kasus tersebut bukanlah pertama kali terjadi, sebelumnya telah terjadi pemerkosaan oleh delapan orang terhadap korban (12) yang masih duduk di bangku kelas 1 SMP di Banyumas, Jawa Tengah.

Dengan banyaknya kasus kekerasan seksual terhadap anak yang makin merajela membuat Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menyatakan bahwa Indonesia darurat kekerasan seksual pada anak. Hal ini berdasarkan data Kemen PPPA bahwa kasus kekerasan seksual terhadap anak pada 2022 meningkat dratis hingga mencapai 9.588 kasus dari tahun sebelumnya 4.162 kasus.

Jika kita telisik, ada beberapa penyebab pelecehan terhadap anak makin merajela. Pertama, hukuman bagi pelaku pelecehan tidak sampai membuat jera, hanya dipenjara bahkan mirisnya hukuman tersebut realitasnya bisa sangat ringan. Tak dimungkiri banyak kasus jika tidak dikawal oleh publik dengan mudah tenggelam begitu saja.

Kedua, di antara aparat masih terdapat perbedaan persepsi terkait definisi kasus. Hal ini, yang akan memengaruhi penentuan hukuman bagi pelakunya. Tentu ini termasuk kesalahan fatal jika terjadi, jika demikian bagaimana keadilan bisa diwujudkan?
Ketiga, negara tidak mengatur ketat terhadap media massa sehingga konten pornografi-pornoaksi masih bergentayangan di internet. Pada akhirnya mudah diakses oleh siapa pun termasuk anak-anak.

Keempat, sistem pendidikan yang diterapkan saat ini berasaskan sekularisme. Maka, tak heran output-nya adalah anak didik yang jauh dari agama. Halal-haram tidak lagi diperhatikan oleh mereka, segala aktivitas bebas mereka lakukan tanpa peduli terhadap syariat. Akibatnya, masyarakat menjadi liberal sehingga memunculkan berbagai tindakan kejahatan.

Sistem ini nyatanya telah mengubah fitrah manusia. Keburukan dari sistem ini telah menjadikan manusia lebih kejam dan buas dibandingkan hewan. Korban pun tak terkecuali menimpa anak-anak. Selama negeri yang mayoritas beragama Islam ini, menerapkan sistem sekularisme maka persoalan kekerasan seksual akan terus terjadi dan korban pun akan terus bertambah.

Hanya Islam Solusinya

Kondisi ini tentu tidak boleh kita biarkan. Untuk itu, agar rantai kejahatan bisa diputus perlu adanya aksi nyata, yaitu dengan mengganti sistem sekularisme ini dengan sistem Islam. Sistem ini mampu menyelesaikan persoalan yang dihadapi manusia berdasarkan akidah Islam yang diterapkan oleh negara.

Negara akan menerapkan sistem pendidikan Islam sehingga terwujud manusia yang bertakwa dan jauh dari maksiat. Demikian pun, terkait sistem pergaulan Islam yang memisahkan antara laki-laki dan perempuan.  Interaksi di antara keduanya terjadi ketika ada keperluan yang dibolehkan syarak. Sehingga, tidak ada interaksi khusus antara laki-laki nonmahram dengan perempuan kecuali dalam ikatan pernikahan. Segala bentuk kemaksiatan seperti prostitusi baik legal atau tidak, akan dihilangkan karena jelas haram.

Negara dalam Islam akan mengatur secara ketat media massa sehingga akan tercegah beredarnya konten pornografi-pornoaksi di masyarakat. Alhasil, akan terhindar dari rangsangan yang mendorong terjadinya tindakan pelecehan. Sistem ekonomi Islam akan menjamin kebutuhan dasar masyarakat seperti sandang, pangan, dan papan dengan membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya, sehingga perempuan tidak pontang-panting mencari pekerjaan untuk menghidupi dirinya sendiri karena kebutuhannya sudah dicukupi oleh suaminya.

Negara akan menerapkan sanksi tegas jika pelecehan seksual sampai terkategori zina. Bagi pelaku yang belum menikah hukumannya 100 kali dera dan bagi yang sudah menikah hukumannya dirajam. Hal ini, telah ditegaskan dalam hadis riwayat Bukhari Muslim, pada suatu waktu, ada seorang laki-laki yang mendatangi Rasulullah saw.. Laki-laki itu berseru, “Wahai Rasulullah, saya telah berzina.” Rasulullah saw. berpaling tidak mau melihat laki-laki itu hingga laki-laki itu mengulang ucapannya sebanyak empat kali. Nabi pun memanggilnya dan berkata, “Apakah kamu gila?” Laki-laki itu mengatakan tidak. “Apakah kamu sudah menikah?” Ia mengatakan iya. Kemudian Nabi saw. bersabda kepada para sahabat, “Bawalah orang ini dan rajamlah ia.”

Allah Swt. telah menegaskan dalam QS. An-Nur ayat 2 yang artinya, “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera.” Inilah hukuman bagi pelaku zina yang belum menikah.

Adapun terkait kasus pemerkosaan maka bukanlah hanya soal zina tetapi terjadi pemaksaan dari pelaku terhadap korban sehingga perlu ada sanksi tersendiri. Dalam kitab Al-Istidzkar, Imam Ibnu Abdil Barr menyatakan, “Sesungguhnya, hakim atau kadi dapat menjatuhkan hukuman kepada pemerkosa dan menetapkan takzir kepadanya dengan suatu hukuman atau sanksi yang dapat membuat jera untuknya dan orang-orang yang semisalnya.”

Hukuman takzir ini, diberlakukan sebelum diterapkannya sanksi rajam. Dalam kitab Nizhamul Uqubat, dijelaskan bahwa ada 15 macam takzir, di antaranya adalah dera dan pengasingan. Demikianlah, gambaran solusi Islam dalam mengatasi masalah kekerasan seksual terhadap anak. Solusi tersebut tidak akan mampu diwujudkan, jika negeri ini masih menerapkan sistem sekularisme.

Wallahu 'alam bissawab

Post a Comment

Previous Post Next Post