Darurat kekerasan seksual terhadap anak makin parah. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mencatat, jumlah kasus kekerasan hingga tindak kriminal terhadap anak di Indonesia mencapai 9.645 kasus. Itu terjadi sepanjang Januari sampai 28 Mei 2023.
Dari 9.645 kasus kekerasan hingga tindak kriminal terhadap anak tersebut, korban anak perempuan mencapai 8.615 kasus. Sementara jumlah korban anak laki-laki sebanyak 1.832 kasus.
Jika diperinci berdasarkan jenisnya, kasus kekerasan seksual terhadap anak menduduki peringkat pertama dengan 4.280 kasus. Lalu diikuti kekerasan fisik 3.152 kasus dan kekerasan psikis 3.053 kasus.
Berikut ini Media Indonesia telah merangkum jumlah kasus kekerasan hingga tindak kriminal terhadap anak, berdasarkan data dari KemenPPPA selama Januari hingga 29 Mei 2023:
Jumlah kasus : 9.645
Korban perempuan : 8.615
Korban laki-laki : 1.832
Fisik : 3.152
Psikis : 3.053
Seksual : 4.280
Eksploitasi : 112
Trafficking : 74
Penelantaran : 973
Lainnya : 1.211
Terbaru, kasus pemerkosaan terhadap seorang remaja putri berusia 16 tahun di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, menjadi atensi serius bagi Bareskrim Polri. Hal tersebut tentu membuat berang Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo.
Karo Penmas Div Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan mengaku bakal mengusut tuntas kasus pemerkosaan ABG berusia 16 tahun yang dilakukan secara keji oleh 10 pria di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah.
“Polri akan memastikan kasus itu ditangani sampai tuntas," tegas Brigjen Ahmad Ramadhan, dikutip Minggu, 4 Juni 2023.
Ia juga memastikan kasus tersebut akan ditangani secara profesional dan tidak akan ada yang ditutup-tutupi. "Kasus ini akan kami tangani secara proporsional dan profesional. Kami pastikan kasus ini tidak ada yang ditutup-tutupi," jelasnya. Media Indonesia. 4 Juni 2023 08:33 wib
Berbeda pendapat dengan Kapolda Sulawesi Tengah (Sulteng) Irjen Agus Nugroho kasus pemerkosaan terhadap anak baru gede (ABG) berusia 15 di Parigi Moutong (Parimo) yang menyatakan bahwa kasus tersebut bukan tindak pidana pemerkosaan tidak sensitif terhadap gender.
Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto menyoroti pernyataan Kapolda Sulawesi Tengah (Sulteng) Irjen Agus Nugroho kasus pemerkosaan terhadap anak baru gede (ABG) berusia 15 di Parigi Moutong (Parimo). Dia menilai pernyataan Agus yang menyebut kasus tersebut bukan tindak pidana pemerkosaan tidak sensitif terhadap gender.
"Pernyataan itu tidak sensitif gender dan tidak berpihak pada korban tindak pidana kekerasan seksual apalagi korbannya anak di bawah umur," ujar Bambang saat dihubungi Republika, Kamis (1/6).
Bahkan, menurut Bambang, pertanyaan Irjen Agus Nugroho layak dipertanyakan, apakah Kapolda sebagai pimpinan penegak hukum di wilayah Sulteng memahami Undang-undang (UU) 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual atau TPKS. Kapolda juga harus bisa menjelaskan perbedaan antara perkosaan dengan pasal 4 ayat 2 (c) persetubuhan terhadap Anak, perbuatan cabul terhadap Anak, dan atau eksploitasi seksual terhadap anak.
Dengan jumlah yang sangat besar kasus kekerasan seksual terhadap anak ini membuktikan rusaknya sistem kapitalisme dan sekularisme. Anak yang seharusnya dilindungi, mendapatkan pengasuhan, disayangi, diberikan pendidikan yang layak, malah menjadi korban kebuasan dan kebiadaban hawa nafsu yang dilahirkan oleh sistem kapitalisme.
Darurat Kekerasan Seksual pada Anak
Merebaknya kekerasan seksual terhadap anak tak lepas dari sistem yang berlaku di negara ini, yakni sistem sekuler. Sistem dimana peran agama dikebiri hanya untuk urusan pribadi dan ibadah mahdah seperti shalat, puasa, zakat dan haji. Sementara untuk mengatur urusan kehidupan menggunakan aturan produk akal manusia yang lemah dan terbatas. Kebebasan individu merupakan sesuatu yang harus diagungkan. Standar perbuatan adalah manfaat, bukan halal dan haram. Puncak kebahagiaan adalah ketika mendapatkan kepuasan jasmani sebanyak-banyaknya. Maka wajar, untuk melampiaskan hasrat seksual tidak kenal halal haram, yang penting hasratnya terpuaskan.
Setali tiga uang, sistem pendidikan yang dijalankan semata untuk mengabdi pada kepentingan industri. Orientasinya menciptakan tenaga kerja yang siap guna. Sementara pembentukan aspek kepribadian diabaikan. Muncul generasi yang berpikir individualis, pragmatis dan hedonis. Individu yang lebih mengejar materi dan kepuasan jasmani sesaat, miskin visi kehidupan akhirat.
Faktor lain adalah marak dan mudahnya mengakses tontonan pornografi dan pornoaksi, terlebih didunia maya. Negara abai dan kurang peduli dalam melindungi rakyatnya dari konten yang membangkitkan syahwat.
Sebagaimana yang disampaikan Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kemen PPPA, Nahar menjelaskan modus dan faktor penyebab kekerasan seksual terhadap anak beragam, yang paling ia sorot adalah dampak dari kecanduan menonton pornografi (CNN Indonesia, 28/1/3023). Kejahatan ini makin lengkap ketika pelaku punya keberanian menenggak miras.
Terakhir adalah hukuman yang tidak membuat efek jera. Kasus kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur diatur dalam Pasal 292 KUHP yang berbunyi:
Orang yang cukup umur, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sama kelamin, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa belum cukup umur, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. Secara khusus Indonesia memiliki undang-undang tersendiri mengenai perlindungan terhadap anak, yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Perlindungan Anak. Dalam Pasal 81 dan 82 dijelaskan pelaku pelecehan seksual terhadap anak dipidana penjara maksimal 15 tahun.
Hukuman yang sangat ringan dibanding dengan dampak psikis yang harus ditanggung korban. Bahkan faktanya, kasus serupa sering menguap begitu saja ketika tidak dikawal dengan baik. Tidak sedikit, kasus selesai dengan berdamai meski dengan imbalan uang yang tidak seberapa.
Solusi Tuntas Kekerasan Seksual
Maraknya kekerasan seksual terhadap anak hingga level " darurat" membuka mata bahwa dampak tersebut muncul bukan semata masalah budi pekerti. Kerusakan yang muncul secara sistemik akibat penerapan sistem yang rusak dan merusak karena menegasikan peran agama. Solusi yang bisa menuntaskan masalah adalah mengembalikan agama sebagai aturan kehidupan. Dengan kata lain mengganti sistem sekuler liberal dengan sistem Islam yang datang dari Maha Pencipta Yang Maha Tahu kekurangan manusia. Sistem yang dibangun dengan landasan iman dan takwa pada Allah SWT.
Islam datang dengan seperangkat aturan untuk menyelesaikan masalah manusia secara komprehensif, salah satunya kekerasan seksual pada anak. Negara berkewajiban menyelenggarakan sistem pendidikan Islam. Pendidikan yang berorientasi terbentuknya individu yang berkepribadian Islam dan menguasai skill kehidupan. Individu yang mantap dan kokoh akidahnya serta menyelaraskan perbuatannya dengan perintah dan larangan Allah SWT. Standar kebahagiaan ketika mendapatkan ridha Allah.
Islam mewajibkan bagi laki-laki mencari nafkah untuk dirinya dan individu yang berada dalam tanggungannya, termasuk wanita. Sementara wanita tidak wajib mencari nafkah dan berada dalam tanggungan walinya. Dengan demikian perempuan senantiasa terlindungi dan dalam lingkungan yang aman.
Islam juga mengatur kehidupan laki-laki dan perempuan terpisah, tidak bercampur baur. Boleh bertemu ketika ada hajat yang diperbolehkan syarak, seperti jual beli, berobat dan menuntut ilmu. Selain terpisah, Islam mewajibkan pria wanita menutup aurat, menundukkan pandangan, dan tidak berdua-duaan dengan bukan mahram.
Untuk mencegah bangkitnya gairah seksual negara wajib menyaring konten yang membangkitkan naluri seksual. Informasi dan hiburan yang diperbolehkan yang bisa mendekatkan diri pada Allah, bukan yang membangkitkan syahwat dan maksiat. Negara juga melarang segala bentuk usaha memproduksi, mendistribusikan dan memperjualbelikan segala bentuk miras, yang sudah terbukti sebagai induk segala kejahatan termasuk kekerasan seksual.
Dengan penjagaan yang sempurna tersebut, jika masih terjadi pelanggaran, maka Islam mempunyai sanksi tegas yang memberikan efek jera. Pelaku kekerasan seksual, jika sudah nikah (muhson) akan dirajam, jika belum menikah (ghoiru muhson) akan dihukum cambuk 100 kali. Adapun hukuman bagi pemerkosa (ightisabh) lebih berat dari sekedar berzina, karena ada unsur pemaksaan.
Sebelum ditegakkan hukuman zina, maka pelaku pemerkosa diberi sanksi ta'zir, dimana jenis hukuman ditentukan oleh qadi ( hakim). Berat hukuman disesuaikan dengan berat ringannya pelanggaran. Bentuk sanksinya bisa mulai dari yang paling ringan, seperti sekedar nasehat atau teguran dari hakim, bisa berupa penjara, pengenaan denda (gharamah), pengumuman pelaku di hadapan publik atau media massa (tasyhir), hukuman cambuk, hingga sanksi yang paling tegas, yaitu hukuman mati. Teknisnya bisa digantung atau dipancung. Berat ringannya hukuman ta’zir ini disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan yang dilakukan. (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 78-89).
Khatimah
Indonesia darurat kekerasan seksual terhadap anak. Meski berbagai upaya sudah dilakukan, dengan membentuk komisi perlindungan anak hingga UU perlindungan anak, toh belum mampu menekan kejahatan seksual pada anak.
Maka solusinya adalah kembali pada Islam, dengan menerapkan Islam secara kaffah. Sistem yang akan menegakkan syariat Islam secara kaffah sebagai solusi kehidupan. Ketika sistem ini belum tegak, maka kewajiban kaum muslimin bergabung dengan kelompok dakwah ideologis yang berjuang untuk mengembalikan kehidupan Islam.
Post a Comment