Indonesia Darurat Kekerasan Seksual pada Anak, Dikarenakan Sanksi yang Tidak Menjerakan?


Oleh: Siti Rukayah 

Di tengah maraknya kasus pelecehan seksual , Irjen Agus Nugroho yang merupakan Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah atau Kapolda Sulteng menuai sebuah kontroversi. Kontroversi tersebut terjadi dikarenakan pendapatnya mengenai kasus kekerasan seksual  di Parigi Moutong yang menimpa korban inisial R, berusia 15 tahun, menurutnya bukan termasuk pemerkosaan.

Dalam konferensi pers tersebut yang berlangsung pada 31 Mei 2023, ia lebih kepada mengklaim hal tersebut dengan diksi persetubuhan anak di bawah umur dibanding sebagai perilaku pemerkosaan. Ia beralasan bahwa dalam kasus  tersebut tidak terdapat unsur kekerasan maupun ancaman.

“dalam perkara ini tidak ada unsur kekerasan, ancaman, ataupun ancaman kekerasan termasuk juga pengancaman terhadap korban.”

Sementara itu Salma Masri selaku pendamping korban mengatakan bahwa dampak dari kasus pelecehan tersebut mengakibatkan kondisi kesehatan anak tersebut semakin memburuk. Hal itu dikarenakan alat reproduksinya mengalami infeksi akut bahkan rahimnya terancam diangkat. Selain berefek pada fisik, psikis korban turut terganggu. Sehingga hal tersebut memperparah kondisi kesehatannya yang juga semakin memburuk. Oleh karenanya pihak korban belum bisa digali lebih jauh terkait kronologi kejadian tersebut. Hal tersebut dituturkan secara langsung oleh Patricia Z Yabi yang merupakan Kepala Unit Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) provinsi Sulawesi Tengah.

“Melihat kondisi saat ini korban anak tidak memungkinkan kami asesmen. Jadi kami tunda bertanya sebenarnya apa yang terjadi. Kami prioritaskan kesehatannya supaya bisa bicara lebih baik,” ujarnya kepada wartawan Eddy Djunaedy yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Selain itu, Salma Masri juga menerangkan dalam banyak kasus kekerasan seksual yang dialami anak, kasusnya cenderung mengalami keterlambatan untuk dilaporkan. Sebab korban tidak memiliki keberanian untuk menceritakan apa yang telah dialami. 

Kasus Pelecehan Semakin Parah
Tak elak jika dikatakan kasus pelecehan semakin parah dan terus meningkat dari waktu ke waktu. Berdasarkan data Kemen PPPA (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak), pada 2022, kasus kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia mencapai 9.588 kasus, dan meningkat drastis dibandingkan dengan tahun sebelumnya yakni sebanyak 4.162 kasus. Dan akhir-akhir ini, kasus yang menimpa korban dengan inisial R ini adalah termasuk kasus yang terberat selama 2023 dikarenakan banyaknya pelaku dan besar dampaknya kepada korban.

Jika kita analisa, akan didapati sejumlah aspek yang menyebabkan kasus pelecehan seksual tersebut semakin parah. Diantaranya aspek penetapan sanksi yang tidak memberikan efek jera. Ancaman hukuman yang diarahkan kepada pelaku pelecehan seksual terhadap anak tidak sampai pada hukuman mati, bahkan hanya dipenjara, selain itu bisa saja realisasinya bisa sangat ringan.

Berdasarkan UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak, setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul. Setiap orang yang melanggar ketentuan tersebut di pidana dengan pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp. 5 Miliar (Kompas, 6-1-2022)

Aspek kedua adalah terdapat perbedaan persepsi di antara para aparat terkait definisi kasus, dimana hal tersebut berpengaruh pada penentuan hukum bagi pelaku. Ketiga, pengaturan media massa yang buruk. Pornografi-pornoaksi masih beredar luas di internet, terlebih lagi hal tersebut mudah diakses melalui ponsel.

Keempat, sistem pendidikan yang dianut masih terdapat kekeliruan. Kurikulum pendidikan saat ini sangat jauh dari agama (sekuler) sehingga menghasilkan orang-orang yang mengabaikan agama. Sehingga tidak memperdulikan hukum halal-haram.

Solusi Tegas dalam Islam
Di dalam Islam, sistem pendidikan yang dibangun akan berpengaruh pada pribadi yang menjadi bertakwa sehingga mencegah untuk bermaksiat. Sistem pergaulan antara laki-laki dan perempuan pun diatur secara terpisah, kecuali pada aspek yang dibenarkan oleh hukum syara’.

Selain itu, media massa dalam Islam tidak akan memberikan kesempatan pada tampilan -tampilan yang berbau pornografi dan pornoaksi sehingga mencegah terjadinya rangsangan yang dapat mendorong terjadinya kekerasan seksual. Dan dari segi ekonomi, perempuan adalah posisi orang yang dinafkahi sehingga ia tidak perlu bersusah payah bekerja memenuhi kebutuhan hidup hingga kepada hal tersebut dapat mengancam keselamatannya.

Ditambah lagi, sanksi di dalam Islam untuk pelaku pezina bersifat memberikan efek jera. Jika pezina dalam posisi belum menikah maka sanksi yang didapat berupa didera 100 kali. Sedangkan yang sudah menikah, pezina tersebut dihukumi rajam (dibenamkan di dalam tanah hingga leher, lalu dilempari batu oleh setiap orang yang lewat hingga mati). Melihat sanksi tersebut, tentunya seseorang yang berkeinginan berbuat maksiat seketika akan berpikir dua kali untuk melakukan hal tersebut. Wallahu a’lam.

Perempuan yang tidak bisa merasakan sakit, stres, atau takut akibat mutasi gen langka

Post a Comment

Previous Post Next Post