Harga Telur Terus Meroket


Oleh Ummu Muthya
Ibu Rumah Tangga

Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) menyoroti kenaikan harga telur ayam yang kini tembus Rp32.000/kg sampai Rp40.000/kg. Menurut Wakil Ketua BPKN RI M Mufti Mubarok, kenaikan tersebut disebabkan oleh permainan dari tengkulak atau agen telur saat permintaan meningkat. Menurutnya jika kenaikannya 10% sampai 20% masih wajar, tetapi kalau lebih dari itu konsumen tentu akan bereaksi.

Kenaikan harga telur diakibatkan banyaknya permintaan dan penawaran yang  tinggi, saat menjelang hari raya idul adha, dan momen dimana kebutuhan terhadap telur meningkat sehingga harga telur terus naik. Untuk itu Badan Perlindungan Kosumen Nasional (BPKN) akan meminta pemerintah untuk melakukan secara langsung memantau kelapangan mengenai harga telur, sebab telur merupakan kebutuhan pokok yang cukup terjangkau oleh masyarakat. (Detikfinance.com. 25/5/2023)

Naiknya kebutuhan pokok masyarakat memang kerap dipengaruhi  berbagai faktor. Bisa karena ulah tengkulak, ada praktik kecurangan, penimbunan atau karena tingginya permintaan terhadap satu barang tertentu sementara stok terbatas/langka. Naiknya harga telur ini tentu berimbas sangat berarti terhadap masyarakat, karena telur ini salah satu protein yang mudah diperoleh dan terjangkau. Terutama ketika kasus stunting terus meningkat, protein inilah yang banyak dicari masyarakat. Protein hewani sendiri adalah salah satu zat gizi pembatas yang menjadi parameter dalam penentuan status stunting pada anak. Jika kebutuhan protein hewani tercukupi, maka stunting bisa dihindari. 

Naiknya harga telur disinyalir karena mahalnya pakan ayam dan bahan baku ternak seperti jagung padahal negeri ini dulu berhasil swasembada pangan termasuk jagung. Saat ini, jangankan swasembada pangan meningkatkan ketahanan pangan saja pemerintah seolah enggan. Tiap kali ada masalah kelangkaan solusinya adalah impor. Impor jagung mungkin bisa menjadi solusi, tetapi jika dilakukan terus menerus akan menyebabkan Indonesia jadi negara yang sulit mandiri. Selamanya bergantung pada hasil negara luar. Selain itu, ketergantungan pada impor akan memandulkan tanggung jawab negara untuk mengelola pertanian dan peternakan yang menjadi sumber pokok masyarakat.

Belum lagi dengan pengaruh korporatokrasi. Kewenangan negara tak akan lepas dari bayang-bayang pengusaha yang  ingin memonopoli aset ekonomi. Kondisi ini tentu saja bisa menghancurkan para peternak kecil/lokal yang modalnya tidak sebanding dengan jejaring konglomerat. Bahkan untuk korporasi besar biasanya telah memegang lisensi impor bahan baku sehingga sulit mewujudkan kemandirian pangan.

Akibatnya rakyat bisa kehilangan sumber protein hewani yang murah jika  harga pokok produksi meningkat seiring dengan peningkatan kenaikan harga pakan pabrik. Alhasil, pemerintah tidak akan mampu mengatasi gejolak harga di pasaran. 

Meroketnya harga telur sejatinya adalah bagian dari liberalisasi pangan. Sebab  pakan ternak yang sebagian besar berasal dari negara asing (impor) bukan saja telah membebani peternak dari sisi modal, benih dan persaingan. Juga menyebabkan kelangkaan telur di pasaran akibat ada 'permainan'. Ketidakstabilan harga telur saat ini tidak lepas dari penguasaan industri peternakan oleh korpirasi dari hulu hingga hilir.

Inilah dampak dari penerapan sistem kapitalisme neoliberalisme. Sistem ini memberikan dominasi kepada para pemodal yaitu perusahaan besar yang telah nyata mematikan usaha para peternakan lokal, pemerintah yang menerapkan sistem ini telah mengabaikan hak rakyat, sekaligus tanggung jawabnya sebagai pengurus urusan rakyat. 

Jika persoalan harga telur disebabkan oleh bahan baku pakan ternak yang masih impor serta permasalahan distribusi di tengah masyarakat, maka negara berperan penuh untuk mengendalikan harga telur sekaligus menjamin distribusi berdasarkan skala prioritas kebutuhan kalangan masyarakat. Negara memiliki data akurat mengenai kemiskinan serta kebutuhan pangan dan gizi setiap keluarga, sehingga penanggulangan stunting dan kelaparan bisa tepat sasaran.

Saatnya umat membutuhkan negara yang menjamin kesetabilan harga, dan memastikan setiap individu mampu mengakses kebutuhan pangan dengan mudah, murah, bahkan gratis. Negara tersebut yaitu negara yang menerapkan sistem Islam, pemimpinnya akan menjamin sepenuhnya kebutuhan rakyat, Rasulullah saw.  bersabda: "Imam/pemimpin itu adalah pengurus, dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya." (HR Muslim)

Islam memandang,  semua tanggung jawab berkaitan pemenuhan pangan masyarakat, mulai dari ketersediaan pangan, dan keberangkatan harga pangan oleh masyarakat, hingga terpenuhinya gizi masyarakat berada di tangan penguasa. Sebab penguasa ditetapkan oleh syariat Islam untuk menjadi pengurus bagi rakyatnya, salah satunya akan menerapkan sistem ekonomi Islam, dan juga akan mengatur usaha peternakan dengan menggunakan paradigma syariat Islam.

Islam tidak akan membiarkan dominasi pengusaha dan perusahaannya seperti dalam sistem kapitalisme, apalagi jika sampai mengendalikan harga pasar. Negaralah yang bertanggung jawab untuk menjamin agar sarana dan prasarana produksi peternakan bisa didapatkan dengan mudah dan dengan harga terjangkau.

Islam juga akan membangun infrastruktur yang mendukung usaha peternakan tanpa unsur komersialisasi, sehingga para peternakan dengan mudah mengangkut produk tanpa terbebani biaya angkut.  Negara akan meningkatkan pengawasan dan melakukan penindakan secara tegas kepada para pelaku yang curang, seperti melakukan penimbunan barang.

Demikianlah pentingnya peran negara dalam sistem Islam kaffah, sehingga persoalan harga telur tidak harus membuat polemik. Penguasa dalam Islam menyadari pentingnya pemenuhan pangan sebagai kebutuhan primer individu rakyat. Ini karena syariat Islam juga mengarahkan individu agar menjadi pribadi sehat dan kuat di samping memiliki bekal terbaik untuk beribadah kepada Allah Taala.
Wallahu a'lam bish shawab

Post a Comment

Previous Post Next Post