Hanya Islam yang Mampu Mewujudkan Ketahanan Pangan

Oleh Ummu Syifa

Pemerhati Perempuan dan Generasi


Ketahanan pangan merupakan perkara penting yang menjadi pilar kedigdayaan sebuah negara. Betapa tidak, bagaimana sebuah negara akan bisa menjadi kuat dan mampu mencetak peradaban yang tinggi, jika sumber daya manusianya tidak didukung dengan amunisi (asupan Makanan) yang berkualitas?


Baru-baru ini, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementrian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu mengatakan, bahwa pemerintah akan menggelontorkan dana sebesar Rp104, 3 triliun-Rp124, 3 triliun untuk menaikan hasil produk pangan domestik pada 2024 mendatang melalui program penyediaan, kemudahan akses, dan konsumsi pangan berkualitas. Pemerintah pun melalui Badan Pangan Nasional/ National Food Agency (NFA) berupaya mewujudkan peningkatan keberagaman konsumsi produk pangan dan keterpenuhan gizi masyarakat dalam rangka penurunan angka stunting dengan diterbitkannya Peraturan Badan Pangan Nasional (Perbadan) Nomor 11 Tahun 2003 tentang Pola Pangan Harapan (PPH). (nomi.republika.co.id, 4/6/2023).


Namun, kebijakan itu sepertinya belum cukup untuk mendukung ketahanan pangan. Karena di dalam mewujudkan ketahanan pangan  membutuhkan penyiapan sumber daya manusia yang ahli di bidang pertanian, perkebunan, kelautan,  perikanan, geologi, mitigasi, dan sebagainya. Hal itu, hanya bisa didapat jika negara memberikan keleluasaan kepada rakyatnya di dalam meneliti, mengembangkan teknologi dan inovasi dalam bidang pangan. 


Selain itu, dibutuhkan juga industri besar  strategis yang mendukung seperti industri pengelolaan hasil pangan, industri mesin-mesin berat yang mempermudah produksi pangan, lahan yang luas dan segala aspek yang mempercepat teknologi industri pangan yang handal. Termasuk tersedianya sarana dan prasarana, kemudahan bagi rakyat, serta  kebijakan holistik dari negara yang akan mendukung arus kemandirian sebuah negara dalam mengatasi kebutuhan pangan rakyatnya. 


Di dalam sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini, rakyat (petani, nelayan dan sebagainya) sebagai subjek pelaku penyedia pangan tidak diedukasi dengan ilmu pangan yang mumpuni. Misal, petani tidak diperbaharui ilmu  dalam hal menanam, cuaca, dan lain sebagainya. Rakyat juga tidak dipermudah dalam penyediaan lahan, mahalnya benih, pupuk, permodalan yang berbau riba, dan prasarana yang seadanya. 


Dengan seperti itu sangat sulit bagi para petani, nelayan, dan yang lainnya untuk mengoptimalkan kemampuan mereka memproduksi hasil pangan yang melimpah. Jika pun, berhasil dengan panen yang melimpah, hasil itu pun tidak bisa membuahkan keuntungan bagi mereka karena banjirnya produk-produk pangan impor yang membuat harga pangan mereka menjadi jatuh. 


Kondisi ini terjadi setelah Indonesia  meratifikasi seluruh perjanjian di WTO yang berisi liberalisasi perdagangan (Agreement on agriculture) dengan membuka akses pasar, menghapuskan bea masuk impor yang menyebabkan Indonesia banjir produk luar negeri  termasuk di dalamnya produk pangan impor (MMC). Maka gairah para petani, nelayan dan sebagainya untuk meningkatkan produksi pangan akan terus menurun. Oleh karena itu, sistem kapitalis ini telah nyata merugikan rakyat dan tidak akan mungkin mewujudkan ketahanan pangan.


Berbeda dengan Islam. Islam memandang ketahanan pangan adalah sesuatu yang sangat penting dicapai demi memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya. Negara adalah pihak yang akan merealisasikan peningkatan produktivitas lahan dan produksi pertanian dengan cara ekstensifikasi pertananian (perluasan lahan) dengan kebijakan menghidupkan tanah-tanah mati (tanah yang diterlantarkan atau tanah yang tidak diproduktifkan) oleh pemiliknya. Maka siapa saja yang dia mempunyai tanah, maka tanah itu harus diproduktifkan jika tidak diproduktifkan atau diterlantarkan selama tiga tahun maka tanah itu menjadi milik orang yang menghidupkannya atau negara akan memberikan tanah itu kepada orang-orang yang membutuhkannya. 


Rasul saw. bersabda, “Barang siapa yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya”. ( HR. Tirmidzi, Abu Dawud).


Selain itu negara akan melakukan intensifikasi pertanian dengan cara mengembangkan penelitian ilmu dan teknologi untuk mendukung, mengembangkan dan meningkatkan produktivitas hasil pangan, serta mempermudah sarana prasarana yang dibutuhkan oleh rakyat seperti benih yang berkualitas, pupuk atau obat-obatan, fasilitas pendukung untuk budidaya, perahu, kapal-kapal penangkap ikan yang canggih, industri mesin-mesin pembajak tanah, pengelolaan hasil pangan dan lain-lain. Adapun edukasi dan informasi mengenai teknik-teknik peningkatan pangan yang modern kepada masyarakat akan terus dimasifkan agar mereka mengetahui informasi yang diperlukan untuk meningkatkan produktivitas pangan.

 

Ada pun pemberian modal, negara akan memberikan modal dengan cuma-cuma atau meminjamkan tanpa bunga. Dengan ini rakyat akan mudah membeli apapun yang dibutuhkan. Di samping itu negara akan mengatur kebijakan ekspor dan impor sesuai kebutuhan rakyatnya, melihat surplus atau tidaknya produksi pangan di dalam negeri. Jika produksi pangan tertentu melimpah maka akan dibolehkan untuk mengekspor hasil pangan kita kepada negara lain dan jika kekurangan akan memperbolehkan impor dari negara lain dengan kuota yang dibutuhkan agar tidak mendominasi produk pangan dalam negeri.(As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla,  karya Abdurrahman Al-Maliki rahimahullah) 


Dengan begitu rakyat akan bersemangat untuk mewujudkan ketahanan pangan, karena segala sesuatunya dipermudah oleh negara. Maka dari itu, ketahanan pangan hanya akan terwujud dengan diterapkannya sistem Islam secara kafah yang akan membawa kaum muslimin kepada kesejahteraan dan kedaulatan pangan.


Wallahu a’lam bishshawab

Post a Comment

Previous Post Next Post