Pelajar dan Aktivis Dakwah
Aturan baru mengenai penetapan harga gas LPG yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Bandung, nyatanya membuat masyarakat makin resah. Peraturan Bupati Bandung Nomor 52 Tahun 2023, yang berisikan harga jual dari tingkat agen ke tingkat pangkalan termasuk pajak pertambahan nilai (PPN), margin agen, ongkos angkutan atau biaya operasional telah ditetapkan sebesar Rp16.600 Sementara bagi konsumen yang digunakan untuk kebutuhan rumah tangga dan usaha kecil berkisar Rp19.600 (prfmnews.id, Kamis 01/06/2023)
Penetapan harga Eceran Tertinggi (HET) terbaru ini secara otomatis akan berdampak pada kenaikan harga penjualan. Pemerintah sendiri memberikan keleluasaan kepada para penjual untuk menetapkan HET nya masing-masing, karena kondisi tiap daerah pasti berbeda-beda. Intinya kenaikan menyesuaikan dengan daerah masing-masing.
Di tengah kelesuan ekonomi yang belum pulih pasca pandemi, ditambah PHK massal, tentu saja penetapan kenaikan gas LPG menambah beban, terutama bagi masyarakat ekonomi rendah. Bukan hanya beban bagi ibu rumah tangga, juga bagi para pedagang semisal pedagang gorengan, lauk pauk, dan jajanan lainnya. Membuat mereka dilema untuk memasarkan harga produk yang ditetapkan. Karena, mereka ragu untuk menaikkan harga barang mengingat daya beli masyarakat yang rendah. Dinaikkan takut pelanggan berkurang, tidak dinaikkan keuntungan makin tipis. Padahal sebelumnya harga pangan juga sudah naik.
Keputusan sudah diketok, seolah tidak ada jalan lain kecuali harus naik walaupun rakyat kecil makin tercekik. Penderitaan rakyat makin bertumpuk, kerja sulit karena lapangan kerja sempit, sudah bekerja kena PHK. Tidak ada jaminan bagi terpenuhinya kebutuhan hidup sekalipun kebutuhan perut.
Di sisi lain pembangunan terus berlangsung, menghabiskan banyak dana. Padahal hasil pembangunan tidak mungkin bisa dinikmati seluruh masyarakat. Kebutuhan pokok seharusnya menjadi perhatian utama. Kurang gizi, stunting, sebagai gambaran betapa hanya sekedar memenuhi kebutuhan perut saja banyak yang kesulitan. Sebagian rakyat mengalami stress dipicu oleh kesulitan ekonomi. Namun hal ini tidak menjadikan pertimbangan bagi sebuah kebijakan. Rakyat tetap dibiarkan menanggung beban akibat kenaikan.
Inilah buah diterapkannya sistem kapitalisme sekular. Sistem yang menciptakan hubungan penguasa dan rakyat ibarat penjual dan pembeli, bukan pengurus dan yang harus diurus. Kebijakan yang ditetapkan, tolok ukurnya adalah untung rugi. Negara tidak mau dirugikan, maka rakyatlah yang menanggung banyak beban. Karena disamping sulitnya memenuhi kebutuhan hidup, pajak tetap menjadi kewajiban yang tidak bisa ditawar. Maka wajar kesejahteraan yang seringkali di gembar-gemborkan saat kampanye makin jauh dari bayangan.
Berbeda halnya dengan sistem Islam, yang sangat memperhatikan sekecil apapun kebutuhan rakyatnya. Penguasa dalam Islam diposisikan sebagai pengatur dan pengurus bagi seluruh rakyatnya tanpa kecuali.
Gas LPG dalam pandangan Islam termasuk kepemilikan umum yang tidak boleh diperjualbelikan. Tetapi harus dirasakan manfaatnya oleh masyarakat umum. Negara hanya mengelola selanjutnya disalurkan kepada rakyat baik dalam bentuk gas itu sendiri, atau dengan mekanisme dijual dengan harga serendah-rendahnya, hasilnya dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk lain, semisal pendidikan dan kesehatan gratis juga untuk pembangunan fasilitas umum.
Rasulullah saw. bersabda: " Kaum muslimin berserikat dalam 3 hal: air, api, dan padang rumput".( HR. Abu Dawud dan Ahmad )
Yang dimaksud "api" menurut para ulama bisa gas, listrik, batu bara, dan yang lainnya. Inilah yang membedakan pengaturan kepemilikan dalam Islam dengan kapitalisme. Kapitalisme hanya membedakan kepemilikan pada 2 jenis, yaitu kepemilikan negara dan individu, sementara dalam Islam, ada 3 jenis kepemilikan, yaitu kepemilikan negara, kepemilikan umum, dan kepemilikan individu. Pemilahannya diatur oleh syariat bukan hawa nafsu manusia.
Maka wajar sepanjang sejarah kejayaan Islam tercapai satu masa dimana tidak ditemukan rakyat yang berhak menerima zakat, yaitu di masa kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz. Zakat menjadi tolok ukur pada masa itu untuk mengukur tingkat kesejahteraan. Bandingkan dengan saat ini, pembangunan terus berlangsung, sisi lain banyak rakyat yang kesusahan.
Kesimpulannya, ketenteraman, keamanan dan jaminan kehidupan hanya bisa tercapai dalam sistem Islam yang menerapkan aturan Allah Swt. secara kafah (menyeluruh) di setiap aspek kehidupan. Hal di atas bukan hanya dirasakan oleh umat muslim semata, tetapi juga oleh mereka yang non-muslim.
Wallahu a'lam bi ash-Shawwab
Post a Comment