Oleh: Nur Afifah
Mahasiswi Politeknik Negeri Jakarta
Dikutip dari video MMC yang
mengutip dari CNN Indonesia, Seorang warga sipil telah melakukan aksi
penembakan terhadap kantor MUI (02/05/2023). Selain melakukan penembakan,
pelaku yang dikenal dengan nama Mustofa (60 tahun) ini bahkan mengakui dirinya
adalah wakil nabi, Astagfirullah...
Menurut keterangan saksi dari Kementerian Agama, pelaku memanfaatkan momen ini untuk menyebarluaskan dirinya sebagai wakil nabi, Husni yang merupakan saksi, menyatakan demikian, usai mempelajari surat-menyurat yang pernah dikirimkan Mustofa ke MUI. Namun, ketika ingin dimintai keterangan lebih lanjut, pelaku telah tewas.
Sebelum kasus ini terjadi, kasus yang mirip juga pernah ada, bahkan menurut guru besar UIN Sunan Kalijaga Profesor Al Makin, di Indonesia pada awal 2010-an sekurang-kurangnya terdapat 600-an pihak yang mengaku sebagai nabi mendapat wahyu ataupun reinkarnasi Bunda Maria. Dikutip dari ABC News.
Sebenarnya, fenomena seorang yang mengklaim diri sebagai nabi, bukan hal yang baru. Sejak zaman Rasulullah SAW dan masa khalifah sesudahnya fenomena ini bahkan sudah pernah ada. Tokoh yang mengaku nabi seperti Al Aswad Al Ansi, Tulaihah Ibn Khuwailid Al Asadhi, Musailamah Al-Kadzab, Sajah Binti Al-Harits At-Taghlabiyah, Al Muchtar Ibn Abi Ubaid Tsaqaff, Al Haris Ibn Said Al Kadzab. Mereka semua dikenal sejarah sebagai nabi palsu pada masa lampau.
Seharusnya, fenomena ini tidak seharusnya dipandang sebagai masalah yang remeh, sebab, dapat menimbulkan dampak yang luar biasa bagi tengah-tengah umat, khususnya kaum Muslimin. Keberadaan nabi palsu, membuat kaum Muslimin yang kurang pemahaman agamanya semakin tersesatkan. Bahkan tak jarang mereka meminta para pengikutnya untuk mengorbankan harta benda ataupun keluarga dalam rangka menjalankan praktik-praktik ajaran sesatnya.
Miris, dampak mengerikan ini tidak begitu dipedulikan oleh pemimpin sistem sekularisme kapitalisme. Ajaran sekularisme kapitalisme yang memisahkan agama dengan kehidupan, membuat manusia tidak boleh menuding kesalahan dalam beragama sebagai kesesatan. Karena dalam sistem ini tidak ada kebenaran mutlak, atas nama toleransi.
Pemimpin sekularisme kapitalisme hanya menghukum pelaku sekedarnya tanpa memberi efek Jera padahal secara jelas apa yang dibawa oleh orang tersebut melanggar aturan agama. Dalam syahadatain kaum Muslimin mengakui bahwa nabi terakhir adalah Rasulullah SAW. Maka, ketika ada kaum Muslimin yang mengklaim dirinya sebagai nabi, bisa terkategori perbuatan menistakan agama.
Hidup dalam sistem sekuler kapitalisme memang membuat manusia rentan dalam kesesatan dalam beragama, karena menurut sistem ini urusan agama diserahkan kepada individu masing-masing, bukan tanggung jawab negara. Akhirnya umat Islam yang lemah imannya mudah goyah dan mengikuti ajaran yang sesat. Nauzubillahiminzalik…
Sangat berbeda halnya dengan sistem khilafah ketika menghadapi fenomena nabi palsu. Khilafah akan menganggap fenomena ini adalah perkara yang besar dan genting sehingga secepatnya harus segera diselesaikan. Alasannya, keberadaan nabi palsu akan menyesatkan banyak orang, hingga mengganggu stabilitas negara. Seperti kasus nabi palsu Musailamah Al-Kadzab pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar.
Musailamah al-Kadzab adalah seorang pendusta yang mengaku dirinya menerima wahyu dalam kegelapan dan ia membuat opini yang menyesatkan yakni pembayaran zakat itu kepada Muhammad sedangkan Muhammad sudah meninggal, maka tidak ada lagi kewajiban untuk membayarnya.
Opini sesat ini kemudian menyebar luas dan menyebabkan beberapa daerah khilafah, tidak mau membayar zakat. Goncangan opini ini akhirnya menggoncang stabilitas negara. Maka Khalifah Abu Bakar yang pada masa itu menjadi pemimpin negara khilafah memutuskan untuk memerangi Musailamah. Khalifah Abu Bakar tidak memberi kompromi apa pun kepada pihak yang telah memisahkan zakat dengan syariat lainnya dan keputusan Khalifah Abu Bakar ini kemudian menyelamatkan kaum Muslimin. Sikap Khalifah Abu Bakar adalah wujud keberadaan negara khilafah sebagai pelindung bagi rakyatnya termasuk melindungi akidah mereka dari hal-hal yang merusaknya.
Rasulullah SAW, bersabda, “Imam atau khalifah itu, tidak lain laksana perisai, dia akan dijadikan perisai di mana orang akan berperang di belakangnya dan digunakan sebagai tameng” (HR Bukhari dan Muslim).
Makna Al-Imam junatun, imam atau khalifah itu laksana perisai, dijelaskan oleh Imam an-Nawawi maksudnya ibarat tameng karena dia mencegah musuh menyerang menyakiti kaum Muslim, mencegah masyarakat satu dengan yang lain dari serangan melindungi keutuhan Islam. Dia disegani masyarakat dan mereka pun takut terhadap kekuatannya begitu juga frasa berikutnya “dia akan dijadikan perisai, di mana orang akan berperang di belakangnya dan digunakan sebagai tameng bermakna bersama imam atau khalifah para pelaku kerusakan dan kezaliman secara mutlak akan diperangi.
Selain sikap tegas, khilafah juga akan melakukan beberapa langkah agar warga negaranya terhindar dari penyimpangan akidah. Khilafah akan mengedukasi warganya melalui sistem pendidikan Islam. Dari pendidikan ini, khilafah akan memastikan setiap warga negaranya mendapat pemahaman akidah yang benar. Selain itu, khilafah juga akan melarang setiap propaganda yang menghina simbol dan ajaran Islam, termasuk penyebaran pemikiran sesat baik yang dilakukan oleh organisasi ataupun individu.
Media massa khilafah dilarang menyiarkan berita dan program apa pun yang bertentangan dengan akidah Islam. Terakhir ketika muncul kasus penyimpangan akidah, khilafah akan mendakwahi pelaku terlebih dahulu sebelum memberikan sanksi tegas, jika tetap tidak mau kembali pada Islam ia akan terkena sanksi sebagaimana orang murtad. Seperti inilah khilafah memberikan perhatian yang begitu besar terhadap penjagaan akidah warga negaranya.[]
Post a Comment