Di Balik Ambisius Proyek IKN, untuk Siapa?


Oleh Nur Fitriyah Asri
Penulis Ideologis Bela Islam Akademi Menulis Kreatif

Serapat-rapat menyimpan bangkai pasti tercium juga, artinya sepandai-pandainya menutupi kejahatan, pasti akan diketahui pula. Tampaknya peribahasa tersebut lebih tepat untuk menggambarkan rezim saat ini, seolah merakyat ternyata lebih memihak konglomerat.

Proyek Ibu Kota Nusantara (IKN) masih hangat untuk diperbincangkan lantaran jadi isu sentral. Pasalnya, IKN dianggap sebagai megaproyek warisan Jokowi yang paling top tetapi menuai kontroversial. Sebagaimana tujuan awal IKN, dengan anggaran jumbo Rp466 triliun di antaranya untuk pemerataan ekonomi supaya tidak terpusat di Jawa guna mengurangi ketimpangan di daerah-daerah. Kini, secara terbuka IKN ditawarkan kepada Singapura. Bagaimana dengan nasib rakyat dan apa dampaknya terhadap kedaulatan negara? 

Dalam acara Ecosperity Week 2023 yang digelar di Singapura, Rabu (7/6/2023), Presiden Jokowi pidato di hadapan peserta yang hadir di forum, menawarkan kepada pengusaha Singapura bahwa IKN cocok untuk hunian tempat tinggal dan investasi yang menjanjikan.Tentu saja hal ini menimbulkan polemik di publik.

Lebih lanjut, dalam rapat kerja dengan Komisi VI DPR RI, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada (9/6/2023), pemerintah kembali menegaskan dan mengeklaim proyek IKN akan tetap jalan dan perkembangannya cukup positif. Dengan adanya peraturan pemerintah terkait kemudahan investasi dan insentif di IKN, sudah ada 228 perusahaan dalam dan luar negeri yang selesai menandatangani Letter of Intent (LOI). (Tempo.com, 11/6/2023)

Sementara, mantan Menko Perekonomian, Rizal Ramli, meragukan bahwa proyek IKN bakal terwujud. Menurutnya, publik sering kali dibohongi banyak investor yang masuk di IKN, padahal data-datanya nihil adanya. Anehnya kata Rizal, Jokowi membujuk investor dan warga Singapura untuk pindah ke IKN yang belum jelas. Mana mungkin akan mau, IKN tidak menarik dari segi bisnis opportunity. Justru, yang terjadi IKN berpeluang menjadi kota satelit Cina yang diketahui memiliki ambisi teritorial. Karena IKN kosong, maka berpotensi akan diisi oleh Cina. (diskusi virtual program crosscheck by medcom.id, 11/6/2023)

Paradoks Kebijakan

Kebijakan yang tidak bijak tengah dipertontonkan oleh rezim secara terang-terangan. Banyak pihak menilai ambisi pindah ibu kota (IKN) merupakan agenda terselubung dan bukan pilihan yang tepat. Hal tersebut, bertolak belakang dengan pencitraan Jokowi yang merakyat, apalagi menjadi petugas partainya wong cilik, sungguh aneh. Padahal, rakyat dalam kondisi prihatin di tengah kesulitan hidup menghadapi pandemi Covid-19 yang mengakibatkan tingginya angka pengangguran, banyaknya PHK, dan meningkatnya angka kemiskinan. Mirisnya lagi, utang luar negeri membengkak. Akibatnya, rakyat harus menanggungnya dengan cara dipalak membayar pajak.

Ironis memang, APBN yang seharusnya digunakan untuk menyejahterakan rakyat malah 54% digunakan untuk pendanaan IKN. Lalu, untuk siapa sebenarnya IKN jika pada akhirnya ditawarkan ke Singapura? Padahal, menurut data milik Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), sebanyak 81 juta penduduk Indonesia kelompok milenial (usia 24-39 tahun) tidak memiliki rumah. Hal ini nyata benar kalau rezim lebih mengutamakan para pemodal dan tenaga kerja asing (TKA) seperti yang selama ini terjadi, sudah ada dua juta lebih TKA Cina. 

Bahkan, Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan, atas persetujuan presiden telah memutuskan untuk mengawasi proyek IKN dengan memakai tenaga asing. Maklum, Luhut berambisi sekali karena di Kalimantan Timur kekayaannya berupa tambang batu bara saja sebanyak 6000 hektare.

Bisa dibayangkan, apa yang bakal terjadi jika pusat pemerintahan dikelilingi oleh para pemodal, TKA, dan terlebih oligarki, yakni kekuasaan yang dikendalikan oleh segelintir kaum kaya, tentu sangat mengerikan. Ketika ibu kota masih di Jakarta saja sudah banyak "aturan pesanan". Apalagi jika IKN sudah pindah, tentu para oligarki akan lebih masif mengontrol dan mendikte kebijakan pemerintah. Bisa jadi IKN menjadi kota satelit Cina itu jadi kenyataan. Miris, sungguh negara makin tidak berdaulat.

Demokrasi Lahirkan Oligarki 

Penyebab semua itu karena negara mengadopsi demokrasi sekuler berasaskan sekularisme, yakni sistem yang memisahkan agama dari kehidupan. Sistem yang menghalalkan semua cara, karena tolok ukur perbuatannya bukan haram dan halal. Melainkan, asas manfaat dan memandang materi (uang) di atas segalanya. 

Bukan rahasia lagi, mahalnya biaya politik pemilu merupakan salah satu faktor lahirnya oligarki. Sebab, hanya orang berduit saja yang bisa ikut kontestan pemilu, jika kurang dana mereka akan merangkul pemilik modal. Di sinilah awal terjadinya akad batil dan dil-dil politik. Pada akhirnya, penguasa dalam sistem ini hanya berperan sebagai regulator yakni membuat undang-undang yang memihak pada pemilik modal dan oligarki. Contohnya, UU Cipta Kerja, UU Penanaman Modal, dan proyek-proyek strategis nasional lainnya termasuk IKN. Justru, DPR-lah yang mengesahkan semuanya itu, mengapa? Karena menurut hasil penelitian Marepus Corner, sebanyak 318 orang atau 55% anggota DPR adalah pebisnis.

Di sisi lain, proses pemenangan ditentukan oleh mayoritas suara terbanyak. Karena itu, mereka disibukkan mencari koalisi yang sevisi untuk bagi-bagi kursi, "Saya mendapatkan apa?" Lumrah, jika dalam sistem demokrasi semua keputusan politik merupakan hasil kompromi berbagai kepentingan elite politik rasa pengusaha. Mereka inilah sejatinya oligarki yang ikut menjadi bagian dalam pengambilan keputusan. Akibatnya, oligarki di Indonesia sudah menggurita memasuki level yang sangat ekstrem. Alhasil, demokrasi hanya melahirkan oligarki untuk kepentingan elite politik, para pemilik modal (konglomerat), bukan untuk rakyat. Masihkah demokrasi sekuler dipertahankan?

Butuh Islam

Islam tidak hanya sekadar sebuah agama, tetapi merupakan aturan yang lengkap mengatur di semua aspek kehidupan. Termasuk mengatur hubungan politik dalam dan luar negeri.

Dalam pandangan Islam, negara (Khilafah) harus mempunyai politik luar negeri dan politik ekonomi yang kuat. Tidak boleh memberi peluang kepada negara lain untuk menguasai umat Islam dalam bidang apa pun. Oleh sebab itu, haram hukumnya menjalin kerja sama dengan negara mana pun yang ingin menguasai negeri muslim, baik ekonomi, politik, budaya, pertahanan dan keamanan. Terlebih jika negara tersebut secara terang-terangan memusuhi Islam dan kaum muslimin (negara kafir harbi) seperti, Amerika Serikat, Cina, termasuk Singapura. Sebab, hubungan asal dengan kafir harbi adalah hubungan perang, bukan hubungan diplomasi.

Dalam konsep Islam, pemindahan ibu kota hukumnya mubah. Namun, kesejahteraan rakyat menjadi prioritas, harus memberikan rasa aman dan menjamin keamanan untuk bangsa dan negara. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.:

“Sesungguhnya seorang imam (khalifah) itu laksana perisai. Dia akan dijadikan perisai, di mana orang akan berperang di belakangnya, dan digunakan sebagai tameng. Jika dia memerintahkan takwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan adil, maka dengannya, dia akan mendapatkan pahala. Tetapi, jika dia memerintahkan yang lain, maka dia juga akan mendapatkan dosa/azab.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Pada hakikatnya fungsi khalifah adalah melaksanakan syariat Islam untuk mewujudkan kemaslahatan dunia dan akhirat bagi umat. Bukan menyerahkan SDA kepada swasta terlebih ke asing dan aseng, ini membuktikan negara melepaskan tanggung jawabnya.

Oleh karena itu, Islam mengharamkan semua transaksi berbasis riba, contohnya utang riba, investasi, dan lainnya. Hal ini akan menguatkan hegemoni oligarki dan korporasi sehingga menjadikan negara tidak berdaulat.

Saatnya kita kembali kepada Khilafah, sistem pemerintahan yang menerapkan syariat Islam secara kafah. Sebab, hanya Khilafah, yang akan melindungi umat dan negara, tidak hanya urusan di dunia saja, tetapi juga akhiratnya. 

Wallahualam bissawab.

Tulisan ini juga telah tayang pada media mkm.com

Post a Comment

Previous Post Next Post