Oleh Datin Hasana Bidari, S.Pd.
(Praktisi Pendidikan Kota Palembang)
Fenomena yang menjadi ancaman masa depan, bukan hanya semakin meroketnya utang negara, bukan juga tentang resesi ekonomi, namun yang tak kalah penting adalah fenomena stunting. Tidak hanya menyebabkan pertumbuhan anak secara fisik menjadi tidak normal, namun juga mempengaruhi kecerdasan akal dan kesehatan raga seorang anak.
Menurut WHO, hal yang mendasari seorang anak dapat mengalami stunting adalah kurangnya asupan gizi pada periode 1000 hari pertama kehidupan, sejak masih janin sampai menginjak usia dua tahun.
Berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022, sebesar 21,6 persen persentase stunting bayi di bawah lima tahun (balita) di Indonesia pada tahun 2022. Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi provinsi dengan balita stunting terbanyak yaitu 35,4 persen pada 2022. Jauh dari target WHO bahwa angka stunting tidak boleh lebih dari 20 persen. (Kompas.com, 18 Mei 2023).
Cukup banyak solusi yang ditawarkan pemerintah untuk mencegah stunting di Indonesia. Namun solusi yang ditawarkan hanyalah bersifat teknis, seperti penyuluhan dan pendampingan kepada calon pengantin, dan juga ibu yang sedang hamil. Hal teknis lainnya berupa edukasi agar tidak terlalu banyak memiliki anak, usia efektif untuk memiliki anak tidak kurang dari 20 tahun dan tidak lebih dari 35 tahun, dan kerapatan jarak kelahiran minimal tiga tahun.
Padahal, penyebab utama stunting adalah kurangnya gizi. Bukan hanya karena minim edukasi, namun juga disebabkan karena minimnya materi untuk membeli makanan yang bergizi. Tingginya angka kemiskinan di Indonesia, mahalnya biaya kebutuhan pokok, didukung massifnya angka pengangguran yang begitu fantastik, membuat rakyat tidak mampu memenuhi gizi anak-anaknya. Hal ini dikarenakan liberalisasi ekonomi di negara Indonesia, tidak ada jaminan pemenuhan kebutuhan pokok dari penguasa, sehingga rakyat berjuang sendiri mencari rezeki untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.
Faktanya, Indonesia adalah negara yang kaya dengan sumber daya alam, hasil perkebunan melimpah ruah, aneka kekayaan laut bagaikan surga dunia, kaya juga akan sumber daya alam seperti tambang, emas, batubara, minyak bumi, gas alam, dan sebagainya. Tapi mengapa banyak rakyatnya yang kelaparan, busung lapar, gizi buruk, ataupun stunting?
Sungguh sangat disayangkan, kekayaan tersebut tidak bisa dinikmati rakyat secara optimal. Pasalnya, negara ini menganut sistem ekonomi kapitalis liberal, negara hanya berpihak kepada korporasi asing, sehingga yang diuntungkan adalah para kapitalis. Distribusi harta hanya berputar di antara orang-orang kaya saja.
Berbeda dengan Islam yang merupakan agama dengan seperangkat aturan sempurna. Tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan kecuali dalam Islam. Setiap permasalahan-permasalahan manusia, Islam pasti punya solusi yang mampu memuaskan akal, sesuai fitrah manusia serta menentramkan jiwa. Islam tidak semata mata mengurus masalah ritual ibadah saja, namun juga dalam hal ini mengurus urusan rakyatnya dalam hal pangan.
Sistem ekonomi Islam yang sangat khas dalam urusan distribusi harta agar berputar di seluruh rakyat, yaitu dengan adanya kewajiban zakat memastikan bahwa delapan asnaf wajib menerimanya, salah satunya fakir dan miskin. Kemudian, dalam hal kepemilikan harta yang begitu khas, sistem Islam menjamin harta kepemilikan umum dikembalikan kepada rakyat, bukan dikuasai oleh individu apalagi asing. Sebagaimana sabda Rasulullah, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api". (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
Selain itu, dalam sistem Islam, pemimpin mendorong rakyatnya untuk memenuhi kebutuhan pokoknya dengan jaminan lapangan pekerjaan, tidak ada rakyat yang menganggur, memastikan bahwa setiap individu terpenuhi kebutuhan pokoknya.
Kemudian jaminan kesehatan, sistem islam memberikan layanan kesehatan yang maksimal dan gratis, serta dapat diakses semua lapisan masyarakat, sehingga para ibu hamil dan menyusui dapat memantau tumbuh kembang bayi dan balita dengan layanan kesehatan yang optimal dan gratis. Sebagaimana dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khattab pada saat berkuasa. Ia membuat kebijakan nasional untuk memberikan santuan dari Baitul Mal bagi bayi yang baru lahir jika orang itu berasal dari keluarga miskin.
Islam memiliki paradigma bahwa pemimpin adalah pelayan selayaknya pengembala bagi rakyatnya. Sebagaimana Rasulullah saw. bersabda, “Imam laksana pengembala (pelayan) dan dia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap urusan rakyatnya.” (HR. Imam Bukhari).
Alhasil, masalah stunting dapat diselesaikan dengan tuntas, karena ada jaminan kebutuhan pokok dari negara, dan layanan kesehatan gratis, sehingga tidak ada kasus anak-anak kekurangan gizi, semua ini bisa diselesaikan jika negeri ini menerapkan Islam secara kafah.
Wallahu a'lam bishawab
Post a Comment