Hiruk pikuk pencalonan caleg menunjukkan betapa posisi sebagai anggota dewan sangat menggiurkan hingga serta merta mengalahkan amanah yang telah diemban. Bak yang sedang dilanda puber kedua, lupa akan jerih payah yang dilakukan demi mendapatkan cinta pertama bahkan berbagai janji manispun ditebar bukan kepalang. Belum juga semua janji ditepati, kini mau pindah ke lain hati.
Begitupun yang melanda beberapa kepala daerah ketika diminta nyaleg (menjadi calon legislatif), mereka ramai- ramai mengundurkan diri. Selayaknya Kepala daerah adalah pemimpin yang dipilih rakyat untuk menjalankan kepemimpinan dalam waktu tertentu. Mereka dipercaya untuk mengatur, mengurus, dan melindungi rakyat dari berbagai hal. Maka seorang kepala daerah harus memenuhi tanggung jawabnya hingga masa jabatannya selesai.
Manajer Riset dan Program The Indonesian Institute, Arfianto Purbolaksono menyampaikan bahwa hal ini tidak lepas dari situasi politik dan upaya memanfaatkan situasi tersebut. Menurutnya, ini merupakan bagian dari strategi parpol dimana parpol akan mengarahkan kader terbaik yang sudah mengikat hati rakyat untuk dapat meraup suara sebanyak-banyaknya di pileg.
Dikutip dari tirto.id (21/05/2023), dari ribuan nama dan beragam latar belakang yang didaftarkan, terdapat deretan kepala dan wakil kepala daerah. Mereka antara lain: Bupati Lebak Iti Jayabaya dan Wali Kota Palembang Harnojoyo dari Partai Demokrat. Lalu, Wali Kota Parepare Taufan Pawe dari Golkar, Wali Kota Lubuklinggau SN Prana Putra Sohe dan Wakil Wali Kota Ternate Jasri Usman dari PKB. Kemudian ada Wali Kota Jambi Syarif Fasha dari Partai Nasdem, Wakil Bupati Lingga Neko Wesha Pawelloy dari Partai Perindo, Bupati Tanah Laut Sukamta, Bupati Merangin Mashuri dan Wakil Bupati Merangin Nilwan Yahya, serta Wakil Wali Kota Serang Subadri dari PPP.
Perilaku tidak bertanggungjawab dan merugikan rakyat ini nyatanya dilindungi oleh undang-undang. Berdasarkan aturan pemilu Pasal 182 huruf k dan Pasal 240 Ayat (1) huruf k menyebutkan, "Mengundurkan diri sebagai kepala daerah, wakil kepala daerah, aparatur sipil negara, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan pada Badan Usaha Milik Negara dan/atau Badan Usaha Milik Daerah, atau badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara, yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali."
Inilah kesalahan dalam memaknai politik. Politik hanya dianggap sebagai perjuangan untuk mendapatkan, mempertahankan, dan memperbesar kekuasaan. Sedang kekuasaan hanya dianggap sebatas kemampuan (otoritas) untuk mempengaruhi pihak lain. Jabatan publik dipakai untuk loncatan keuntungan orang-orang yang memiliki modal besar.
Hal itu pula yang mengakibatkan tidak adanya ikatan batin antara rakyat dan wakilnya (wakil rakyat). Rakyat merindukan hadirnya pemimpin yang memaknai politik sebagai pengaturan urusan mereka secara adil dan manusiawi, sedang wakilnya malah menjadikan ajang persaingan untuk mendapatkan kekuasaan saja. Lebih pantas disebut sebagai wakil partai, karena wakil rakyat seharusnya merakyat.
Islam menjadikan amanah sebagai satu hal penting yang harus ditunaikan karena ada pertanggungjawaban dunia akherat. Rasulullah Saw. mencontohkan tentang menjadi pemimpin yang baik. Teladan itu kemudian diikuti oleh para sahabat dan penerus sesudahnya. Sejarah juga membuktikan bahwa para sahabat tidak berhasrat menduduki kursi kepemimpinan. Mereka paham betapa berat tanggung jawab dan konsekuensinya.
Islam tidak akan membiarkan kepentingan pribadi di atas kepentingan rakyat. Islam juga tidak akan mengizinkan orang yang serakah atau tidak taat syariat menjadi seorang pemimpin. Islam membuat aturan sempurna untuk menjadi seorang pemimpin. Visi misinya pun adalah meraih ridha Allah SWT. bukan harta, jabatan, atau popularitas.
Sebagai rakyat mari cerdas berpolitik dengan memilih pemimpin yang mau diatur oleh aturan Allah mulai bangun tidur hingga bangun negara agar tidak patah hati untuk yang kesekian kali.
Wallahu'alam bishshawab.
Post a Comment