Oleh: Rina Ummu Riefa
(Aktivis Muslimah)
Bak Drakor yang selalu dinantikan tiap episodenya, may day pun tak kalah menjadi momen yang terus dinantikan setiap tahunnya. Meskipun bedanya, Drakor selalu berganti konflik yang endingnya indah, sementara May day masih setia dengan konflik yang sama dan endingnya tetap kecewa. Meskipun dalam setiap aksinya melibatkan banyak massa dari kalangan buruh, dan bahkan difasilitasi dengan libur nasionalnya untuk memberikan ruang bagi mereka menyampaikan tuntutannya, nyatanya nasib buruh tidak pernah berubah, bahkan makin susah. Tidak terkecuali di bulan Mei 2023 kemarin, Buruh melakukan aksinya, bahkan mengancam akan mengerahkan ribuan massa dalam aksinya untuk menuntut hak-hak mereka.
Seperti yang diberitakan oleh TEMPO.CO, Presiden Partai Buruh Said Iqbal mengatakan sebanyak 50 ribu massa akan menghadiri peringatan Hari Buruh Internasional alias May Day pada Senin, 1 Mei 2023. Said menyebut massa bakal menggelar aksi di depan Istana Negara dan Gedung Mahkamah Konstitusi. Tak hanya berpusat di Jakarta, Said mengatakan aksi May Day turut digelar di sejumlah provinsi. Ia mengklaim sebanyak 38 provinsi sudah mengkonfirmasi bakal menggelar aksi May Day serempak.
“Massa buruh yang hadir pada May Day 2023 ini merupakan gabungan dari sejumlah kelompok buruh di Indonesia,” kata Said dalam keterangannya, Sabtu, 29 April 2023. Said menjelaskan, kelompok buruh ini di antaranya Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), serta Serikat Petani Indonesia.
Namun sayangnya, meskipun setiap tahun aksi may day berlangsung, nyatanya ketidakadilan bagi buruh seakan tidak pernah bisa hilang. Seperti penyaluran THR (Tunjangan Hari Raya) misalnya, masih saja terjadi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Perusahaan.
Berdasarkan data dari tirto.id - Partai Buruh Gugat Parliamentary Threshold ke MK. Angka Pengaduan THR Naik Terus, Perempuan Terabaikan, Masalah kewajiban membayar THR yang dilanggar oleh perusahaan adalah persoalan tahunan. Dan sayangnya, angkanya makin naik. Setidaknya, dua tahun terakhir, angkanya naik drastis di atas 2.000 aduan.
Ia menyoroti lambannya gerak lembaga Menteri Ida dalam menindaklanjuti aduan. Per 15 April lalu, Kemnaker menerima sebanyak 938 aduan. Angka naik dua hari setelahnya, 17 April, menjadi 1.394 aduan. Namun, kata Timboel, aduan yang ditindaklanjuti baru 36 kasus per tanggal 17 April tersebut. Kata Timboel, hal tersebut tidak sebanding dengan jumlah pengawas yang dimiliki Kemnaker sebanyak 1.694 orang se-Indonesia. “Baru 2,5 persen yang ditindaklanjuti. Dengan melakukan nota baru 1,” kata Timboel. “Laporan 1.394 kenapa tidak ditindak langsung? Kenapa hanya 36? Harusnya terima aduan, langsung follow up, datangi.” “Kita akan berhadapan dengan cuti bersama, perusahaan sudah tutup, artinya dari kasus yang dilaporkan tidak bisa dijamin THR akan didapat sebelum hari raya. Akhirnya dibiarkan setelah hari raya,” tambahnya. Dalam rilis resmi Kemnaker, per 28 April 2023, baru 375 aduan yang ditindaklanjut. “Penanganan tidak profesional. Ini kejadian berulang tiap tahun,” kata Timboel. Wartawan Tirto telah mencoba menghubungi Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Afriansyah Noor dan Sekretaris Jenderal Kemnaker, Anwar Sanusi untuk menjawab kritik soal lambannya penindaklanjutan perusahaan-perusahaan yang melanggar THR. Namun, hingga artikel ini rilis, belum ada jawaban.
Membaca Akar Problem
Peringatan Hari Buruh Internasional berawal dari aksi unjuk rasa serikat buruh di AS pada 1 Mei 1886. Aksi ini berlanjut pada tahun-tahun berikutnya dan tidak jarang memakan korban jiwa. Oleh karenanya, pada Konferensi Internasional Sosialis 1889, ditetapkanlah 1 Mei sebagai Hari Buruh Internasional.
Dengan demikian, hingga sekarang, perjuangan para pekerja sudah berjalan lebih dari 137 tahun. Akan tetapi, cita-cita mereka tampaknya tidak kunjung tiba. Terbukti, selebrasi tahunan tetap saja menyuarakan isu yang sama, yakni mereka ingin hidup layak sebagaimana seharusnya.
Masalahnya, problem kesejahteraan bukan hanya soal relasi kelompok buruh dengan para pengusaha. Nyatanya, beban hidup mereka pun tidak lebih baik dari rakyat seluruhnya. Kemiskinan bahkan menjadi potret bersama, sedangkan negara justru kerap menjadi sumber kesengsaraan bagi rakyatnya.
Kebijakan negara meliberalisasi berbagai bidang kehidupan, termasuk layanan publik, seperti pendidikan, kesehatan, dan transportasi, juga kapitalisasi dan privatisasi pengelolaan sumber-sumber ekonomi strategis, seperti listrik, BBM, air bersih, dan sejenisnya; jelas-jelas telah membuat rakyat, termasuk buruh, sulit mengakses dan harus membayar mahal kebutuhannya.
Ditambah dengan tingginya harga-harga sembako akibat pemerintahan yang hobi impor. Juga adanya berbagai jenis pungutan pajak yang membuat beban ekonomi rakyat makin bertambah berat.
Kondisi ini memang tidak bisa dihindari akibat umat hidup dalam sistem kapitalisme yang destruktif dan eksploitatif. Sistem yang tegak di atas landasan sekularisme ini memang menjadikan pemilik modal sebagai sentral kekuasaan. Bahkan, kekuasaan beserta segala sumber daya strategis yang sejatinya milik rakyat, justru menjadi ajang bancakan bagi para pemilik modal.
Tidak heran jika penyelenggaraan negara diatur selayaknya sebuah perusahaan. Selain berorientasi keuntungan, kebijakan yang dikeluarkan pun sarat kepentingan para penguasa yang berkolaborasi dengan para pemilik modal.
Adapun pengurusan negara atas rakyat dalam sistem ini memang harus minimal. Bagi rakyat jelata, hidup sejahtera hanyalah utopia. Sampai kapan pun, nasib kaum buruh akan selalu berhadapan dengan kepentingan para pengusaha. Sedangkan negara, cenderung cuci tangan atas tugas utama menyejahterakan rakyatnya. Bahkan, dalam pemikiran pendek para penguasa, solusi mengatasi problem buruh justru dengan menggenjot investasi melalui memanjakan para pengusaha!
Perjuangkan Islam Saja!
Yang disebut problem buruh sejatinya tidak pernah muncul dalam sejarah peradaban Islam. Islam menetapkan negara bertanggung jawab penuh mengurus dan menyejahterakan rakyatnya. Bahkan, pemimpin Islam akan ditanya tentang urusan rakyat per kepala. Bukan hanya urusan kesejahteraan mereka di dunia saja, tetapi juga soal keselamatan mereka di akhirat.
Paradigma ruhiyah nan agung ini ditopang seperangkat aturan Islam yang meliputi seluruh aspek kehidupan. Mulai dari sistem politik, ekonomi, pemerintahan, sosial, hankam, sistem sanksi, dan sebagainya. Termasuk sistem politik ekonomi Islam yang menekankan kewajiban negara menjamin kesejahteraan orang per orang.
Dalam kasus perburuhan, Islam memberi solusi komprehensif dan mendasar. Untuk urusan yang menyangkut kontrak kerja, semisal upah, beban kerja, hak dan kewajiban pekerja, syariat menempatkannya sebagai urusan murni antara buruh dan majikan atas dasar rida keduanya.
Urusan jaminan kesejahteraan pekerja dan rakyat seluruhnya, seperti soal menciptakan peluang kerja, membangun iklim kondusif untuk berusaha, menyediakan layanan publik yang berkualitas dan murah, termasuk memastikan tidak ada kezaliman dan sejenisnya, Islam menetapkan semua itu sebagai kewajiban asasi negara (Khilafah Islam).
Penerapan sistem ekonomi dan keuangan Islam sangat memungkinkan bagi negara mewujudkan kesejahteraan hingga taraf yang menakjubkan. Negeri-negeri Islam semacam Indonesia punya modal besar bagi negara menyejahterakan rakyatnya. Bukankah kita punya SDM dan SDA yang begitu melimpah ruah?
Jika semua potensi ini dikelola sesuai aturan syariat, niscaya beban ekonomi rakyat tidak akan seberat sekarang. Negara pantang menyerahkan harta milik rakyat kepada asing dan semua pihak yang tidak berhak. Kas negara tidak perlu diisi dari sumber-sumber pajak yang mencekik leher rakyat. Negara pun tidak perlu mengemis dana bantuan atau investasi yang faktanya justru menjadi jalan penjajahan.
Walhasil, sistem Islam inilah jawaban jitu bagi seluruh problem perburuhan, bahkan bagi problem umat secara keseluruhan. Saat umat jauh dari sistem hidup Islam dan menerapkan sistem hidup produk akal pikiran, berbagai krisis multidimensi justru terus bermunculan. Kehidupan umat benar-benar jauh dari ketenteraman dan keberkahan.
Arah perjuangan para buruh semestinya selaras dengan arah perjuangan umat secara keseluruhan, yakni menegakkan semua aturan Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Aturan inilah yang pasti mampu mewujudkan kesejahteraan hakiki dan mengundang keberkahan.
Sungguh, berkutat pada isu-isu pragmatis dan parsial tanpa menyentuh akar persoalan hanya akan memperpanjang umur kerusakan dan mengukuhkan hegemoni kapitalisme global. Sedangkan jalan perjuangan kaum buruh—yang juga sudah banyak memakan korban—tidak akan berujung pada kemenangan.
Post a Comment