Mampukah RUU Kesehatan Tuntaskan Problem Kesehatan?


Oleh: Ninis 
(Aktivis Muslimah Balikpapan)

Carut marut sistem kesehatan masih dirasakan oleh masyarakat. Baik itu terkait fasilitas, birokrasi, minimnya jumlah tenaga ahli, bahkan pelayanan kerap dikeluhkan masyarakat. Sehingga seolah-olah negara butuh RUU kesehatan sebagai solusi. 

Menurut Ketua Badan Legislasi DPR RI, Supratman Andi Agtas, tujuan utama dari RUU Kesehatan Omnibus Law adalah meningkatkan akses terhadap layanan kesehatan, meningkatkan kualitas kesehatan, dan menurunkan biaya kesehatan di Indonesia. Rancangan UU ini juga akan membentuk kerangka regulasi baru untuk sektor kesehatan, termasuk pembentukan badan asuransi kesehatan nasional.


*Draf Krusial dalam RUU Kesehatan*

Beberapa waktu Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI) dan Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). Organisasi profesi itu menggelar aksi damai terkait RUU kesehatan. Ketua Bidang Hukum Pembelaan dan Pembinaan Anggota (BHP2A) Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Beni Satria merinci alasan penolakan RUU Kesehatan (8/5/2023).
Setidaknya, ada tujuh poin IDI tolak RUU Kesehatan, mulai dari masalah Penghapusan Anggaran hingga Aturan Aborsi. Poin-poin ini adalah:

Pertama, draf yang IDI pelajari dan kaji terkait pelayanan kesehatan justru menghilangkan unsur-unsur lex specialis di dalam Undang-Undang Profesi. Kedua, Dalam draf ada penghapusan anggaran yang sudah ditetapkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM).  

Ketiga, seluruh undang-undang yang mengatur dokter, dokter gigi, perawat, bidan, tenaga kesehatan, rumah sakit dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Keempat, Pemerintah menghapuskan satu-satunya unsur organisasi profesi.

Kelima, Terkait pasal aborsi, tadinya diatur maksimal 8 minggu. Dalam RUU ini, aborsi dibolehkan hingga 14 minggu di mana janin sudah terbentuk.  Keenam, Terkait legalisasi tembakau dan alkohol.  Ketujuh, kriminalisasi tenaga kesehatan. Dalam RUU ini, banyak pasal terkait pemidanaan tenaga kesehatan. 


*Transformasi Kesehatan ala Omnibus Law*

Sebelumnya, transformasi kesehatan telah dirumuskan oleh Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin untuk memperbaiki sistem kesehatan. Transformasi tersebut setidaknya terdapat enam pilar transformasi yang diinisiasi Kemenkes melalui RUU Kesehatan:  Pertama, transformasi layanan primer yang berfokus pada layanan promotif dan preventif. Kedua, transformasi layanan rujukan, berkaitan dengan bagaimana mengelola kuantitas dan akses rumah sakit.  

Ketiga, transformasi sistem ketahanan kesehatan, baik obat-obatan, vaksin, dan alat kesehatan. 
Keempat, transformasi sistem pembiayaan kesehatan, yaitu memastikan BPJS selalu mampu menanggung beban kesehatan masyarakat. 

Kelima, transformasi SDM kesehatan, yaitu memastikan dokter, dokter spesialis, perawat, perawat spesialis cukup jumlahnya dan baik kualitasnya untuk melayani 270 juta rakyat Indonesia yang tersebar di 17.000 pulau. Keenam, transformasi teknologi kesehatan, yaitu memastikan layanan kesehatan masyarakat Indonesia adalah layanan kesehatan paling berkualitas dan modern yang dilakukan secara efektif dan efisien.

Namun, mampukah keenam pilar ini menyelesaikan problem kesehatan? Faktanya sistem kesehatan kita belum optimal dalam upaya promotif dan preventif. Layanan rujukan juga cukup berbelit-belit. Poin sistem ketahanan kesehatan juga masih lemah sebab obat-obatan, vaksin, alat kesehatan dikuasai oleh industri. Apalagi ternyata tidak semua penyakit dicover oleh BPJS.

Jumlah SDM kesehatan masih belum memenuhi standar 1:1.000 orang sulit diwujudkan sebab mahalnya biaya pendidikan di fakultas kesehatan. Layanan kesehatan yang berkualitas dan modern kian jauh terkendala biaya.

Ditambah lagi dengan adanya RUU Kesehatan akan menggabungkan 13 UU yang berkaitan dengan kesehatan. Pembahasan RUU pun terkesan terburu-buru dan menganggap persoalan serius. Tak ayal jika menimbulkan tanda tanya di kalangan IDI dan organisasi profesi lain. Pihak IDI mempertanyakan, apakah draf tersebut merupakan inisiasi pemerintah atau DPR. Sebab, RUU Omnibus Law Kesehatan telah masuk Prolegnas 2022-2023. Langkah tersebut dianggap mirip dengan UU Omnibus Law Cipta Kerja. 

Pasalnya, RUU ini disusun menggunakan metode omnibus law atau sapu jagat. Yakni dengan prinsip penyederhanaan sejumlah regulasi yang dinilai panjang dan tumpang-tindih menjadi satu regulasi yang mengatur seluruhnya. Sebab, RUU ini disinyalir akan membuka keran investor dan liberalisasi kesehatan. Hal ini yang berbahaya dan harus ditolak. 


*Transformasi Kesehatan dalam Islam*

Dalam Islam negara berfungsi sebagai pelayan umat. Dengan perspektif Islam, negara sebagai penyelenggara sistem kesehatan dan sebagai penjamin kebutuhan dasar masyarakat. Berikut ini mekanisme sistem kesehatan dalam Khilafah:

Pertama, kesehatan adalah kebutuhan pokok rakyat.  Negara bertanggung jawab penuh dalam mewujudkan jaminan kesehatan tiap individu rakyat. Mulai dari aspek pembiayaan kesehatan, penyedia dan pelayanan kesehatan, penyelenggaraan pendidikan SDM kesehatan, penyedia sarana dan fasilitas kesehatan.

Kedua, pembiayaan sektor kesehatan bersumber dari pos-pos pendapatan negara, seperti hasil hutan, barang tambang, harta ganimah, fai, kharaj, jizyah, ‘usyur, dan pengelolaan harta milik negara lainnya.

Ketiga, birokrasi sistem kesehatan Khilafah berpedoman pada administrasi yang sederhana, cepat dan profesionalisme.

Keempat, upaya promotif dan preventif berbasis Islam. Pola hidup dan pola makan yang sesuai dengan yang diajarkan dalam Islam. Seperti memerhatikan kebersihan diri, lingkungan,  makanan yang halal dan toyyib, istirahat yang cukup. 

Dengan demikian, akan terwujud masyarakat dengan kontrol emosi yang sehat, pola makan dan hidup sehat, lingkungan bersih. Demikianlah jaminan kesehatan Khilafah yang terlaksana secara solutif dan aplikatif.

Kehadiran Islam (Khilafah) adalah urgent dengan karakternya sebagai negara pelayan umat (Riayah). Negara menjamin tiap individu mudah mengakses pelayanan kesehatan gratis berkualitas. Pada saat yang sama, kesejahteraan dokter dan insan kesehatan akan terjamin, harkat dan martabatnya pun akan terpelihara. Wallahu A'lam.

Post a Comment

Previous Post Next Post